View Full Version
Rabu, 18 Sep 2019

Pendidikan Seks, Harusnya Bagaimana?

 

Oleh:

Lailin Nadhifah, Praktisi Parenting Edukasi

 

KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) (SNPHAR 2018). Hasil Survei menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.

Satu dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. Selanjutnya, 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik. Dapat disimpulkan, bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.

Hasil SNPHAR 2018 juga menunjukkan anak tidak hanya menjadi korban kekerasan, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Faktanya, 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan emosional dan kekerasan fisik adalah teman atau sebaya.

Data yang lain menyebutkan bahwa berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak, sejauh ini terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran hak terhadap anak, di mana sebanyak 58 persen merupakan kejahatan seksual.

Bahkan, pelaku kekerasan seksual baik kontak ataupun non kontak paling banyak dilaporkan adalah teman atau sebayanya (47%-73%) dan sekitar 12%-29% pacar menjadi pelaku kekerasan seksual.

Sebagian kalangan menegaskan bahwa pendidikan seks sejak dini adalah solusi menekan tingginya data kriminalitas kekerasan seksual. Kalangan ini meyakini bahwa pendidikan seks menjadikan anak memiliki pertahanan untuk berkata tidak terhadap tindak pelecehan.

Mengutip pernyataan Wakil Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila, berpendapat pendidikan seks bagi anak penting agar anak mengenal tubuh dan fungsinya. Pendidikan seks juga dinilai penting agar anak tahu mana sentuhan yang wajar dan yang melecehkan.

"Jangan disalahartikan pendidikan seks berarti mengajarkan anak melakukan hubungan seks. Pendidikan seks sangat penting diberikan sejak usia dini," kata Laila saat konferensi pers di Komnas HAM, Jakarta.

Walaupun ada sebagian kalangan lain yang kontra, dengan alasan merasa ‘ngeri’ dengan konten pendidikan seks yang dianggap justru memicu keinginan anak untuk mempraktekkan. Terlebih didukung kemudahan mengakses konten porno diberbagai media dan aplikasi, diibaratkan dengan tutup ketemu mulut botol, pas sekali.Menurut kalangan ini, mencari akar persoalan sehendaknya diutamakan dibanding dengan solusi jangka pendek yang justru membuat persoalan semakin pelik.

Kenyataannya, sejak pendidikan seks ini di gulirkan oleh lembaga lembaga Internasional seperti UNICEF, WHO dalam konferensi Internasional dan berikutnya mewajibkan bagi negara anggota untuk meratifikasi hasil konferensi khususnya keputusan perlunya pendidikan seks yang kemudian memunculkan regulasi berupa kebijakan pemerintah. Namun, angka tindak criminal kekerasan seksual ini justru semakin tinggi. Mengapa?

Memang benar pendidikan seks tidak melulu berbicara tentang hubungan seksual. Selain itu, seharusnya pendidikan seks tidak terpisah dengan keseharian tumbuh kembang anak.

Bahkan, seks edukasi ini harus didukung dengan kebijakan negara, salah satunya kontrol terhadap bertebarannya media media porno berikut aplikasi seperti game misalnya, yang justru mendorong terangsangnya keinginan atau syahwat yang kemudian berujung pada tindak pelecehan bahkan kekerasan seksual.

Bukankah hampir setiap hari berkeliaran berita pelecehan dan kekerasan seksual? Ngerinya, pelaku melakukan kekerasan tersebut,dipicu oleh tontonan porno. Selain itu, beredarnya minuman keras di sekitar lingkungan remaja hal yang juga berkonstribusi terhadap keberanian pelaku melakukan kekerasan seksual.

Tingginya angka kekerasan seksual dari tahun ke tahun seharusnya tidak hanya dibebankan kepada keluarga. Butuh peran optimal dari pemerintah sebagai institusi yang memegang kendali laju kehidupan rakyat. Sekaligus negara adalah pengayom yang mendatangkan kenyamanan kehidupan rakyat agar jauh dari kehidupan yang mengancam keamanan.

Kebijakan yang dibuat oleh negara selayaknya tidak kontra produktif dengan kebijakan pendidikan seks. Diantaranya, mengontrol ketat bahkan menutup media yang memuat konten konten porno, mencabut legalisasi miras, dan kebijakan produktif lainnya.

Untuk keluarga, setidaknya ada 11 langkah pendidikan seks yang diintregasikan  seiring dengan tumbuh kembang anak dan berkesinambungan :

1. Menanamkan rasa malu pada anak

Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Dan membiasakan anak untuk selalu menutup auratnya.

2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.

Berikan pakaian yang sesuai dengan jenis kelamin anak, sehingga mereka terbiasa untuk berprilaku sesuai dengan fitrahnya.

Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata:

Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR al-Bukhari).

3. Memisahkan tempat tidur mereka

Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya.

Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Dengan pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.

4. Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu)

Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Dengan pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan etika yang luhur.

5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.

Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet training).

Dengan cara ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.

6. Mengenalkan mahram-nya

Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati.

Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang bukan mahram-nya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak.

7. Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata

Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar, film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.

8. Mendidik anak agar tidak melakukan campur baur antar lawan jenis

Ikhtilât adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa adanya keperluan yang diboleh-kan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Karena itu, jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.

9. Mendidik anak agar tidak pacaran

Dinamakan khalwat jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya mereka memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk menghindari perbuatan semacam ini. Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak ber-khalwat.

10. Mendidik etika berhias

Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan yang dilakukan secara berlebihan, sehingga menimbulkan godaan bagi lawan jenisnya. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak untuk perbuatan maksiat.

11. Ihtilâm dan haid

Ihtilâm adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig. Adapun haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilâm dan haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Jika terjadi ihtilâm dan haid, Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi.

Demikianlah seharusnya pendidikan seks sejak dini yang terintegrasi dalam pendidikan yang ditanamkan oleh orang tua. Berikut, penjagaan oleh negara, sebab tumbuh kembang anak tidak saja dalam keluarganya, namun juga di lingkungan masyarakat yang diatur oleh tatanan kebijakan negara.*


latestnews

View Full Version