View Full Version
Selasa, 15 Oct 2019

Catatan dari Gifu, 3 Hari Pasca Badai Topan Hagibis Melanda Jepang

 

Oleh: Erika Kartini

Badai di Hari Sabtu, 12 Oktober 2019

Chat masuk via media sosial, menanyakan kabar kami masih bermunculan sampai hari ini. Berkat doa-doa dari teman-teman semua, Alhamdulillah kami di Gifu baik-baik saja. Tidak kurang satu apapun. Jazakumullah Khoiron Katsir atas doa-doanya.

Badai Topan Hagibis telah memporak-poranda beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Shizuoka,  Nagano. Banjir melanda Shizuoka tempat lahirnya Chibi Maruko Chan. Hujan deras serta angin kencang menghancurkan gedung-gedung, rumah serta kendaraan. Bahkan Shinkansen, kereta kebanggaan Jepang juga ikut terendam banjir.

Sekitar satu minggu sebelum badai melanda, peringatan bencana sudah massif diberitakan. Pihak berwenang memberikan banyak arahan untuk mengantisipasi datangnya badai. Semua orang bersiap sedia menghadapinya.

Jepang sebagai negara yang rawan bencana memiliki sistem penanganan bencana yang bagus. Baik pra maupun pasca bencana. Mulai dari tempat evakuasi, logistik sampai simulasi-simulasi penanganan korban akibat bencana.

Ada satu cerita tentang simulasi yang selalu terngiang-ngiang. Suatu ketika pernah terjadi penyerangan dengan tongkat yang dilakukan oleh seorang kakek terhadap anak-anak. Kejadian tersebut terjadi di tempat pengungsian dan meninggalkan korban. Mungkin kakek tersebut mengalami depresi sehingga melakukan penyerangan. Akhirnya ketika diprediksi akan terjadi bencana, dibuatlah simulasi seperti kejadian itu. Dan simulasinya mirip seperti kejadian sebenarnya.

Ketika badai topan Hagibis diperkirakan akan melewati Gifu, maka kami pun bersiap-siap. Warga diminta agar menyimpan bahan makanan, menyiapkan uang tunai, senter, baju dan sebagainya. Kami juga dihimbau agar mengisi bak-bak air untuk antisipasi matinya aliran listrik.

Sejak Jumat sore hingga malam, warga sibuk berbelanja untuk menyetok bahan makanan. Supermarket penuh orang. Rak-rak roti, mie instan serta makanan siap saji ludes terjual. Teman saya sampai melongo melihatnya.

Saya dan suami juga sibuk berbelanja. Di rumah kami menyiapkan baju, paspor dan dokumen-dokumen penting lainnya dalam satu tas. Kami sekeluarga sudah membuat kesepakatan bahwa ketika terjadi bencana maka tempat evakuasi yang dituju adalah gedung sekolah sebelah rumah. Di sini tempat-tempat evakuasi sudah diketahui oleh semua orang karena seringnya diingatkan. Biasanya yang menjadi tempat evakuasi adalah sekolah atau universitas.

Karena seringnya tertimpa bencana, warga di sini menjadi terbiasa dengan kondisi tersebut. Mereka mengikuti seluruh petunjuk yang diberikan. Mereka juga tidak marah ketika prediksi bencana yang disebarluaskan ternyata tidak terjadi. Meskipun mereka sudah menyiapkan semuanya. Seperti di Gifu ini yang ternyata tidak dilewati badai. Mereka menyadari betul bahwa sebab-sebab yang mengantarkan kepada akibat harus dilakukan. Upaya-upaya maksimal harus dilakukan untuk meminimalisir dampak terjadinya bencana.

Sebagai seorang muslim kita harusnya mengambil pelajaran dari mereka. Karena sebenarnya dalam Islam juga diajarkan tentang hukum sebab akibat. Sebab-sebab yang mengantarkan kepada akibat harus dilakukan agar hasilnya bisa tercapai. Termasuk tentang penanganan bencana ini. Saya tidak sedang membahas qadha Allah tentang musibah atau kematian karena hal itu di luar kekuasaan kita. Tetapi persiapan yang matang tentu saja lebih baik daripada tidak sama sekali.

Sistem penanganan bencana ini tentu saja dirancang oleh pemerintah atau pihak yang berwenang. Kemudian disosialisasikan secara massif dan berkala kepada rakyat. Karena pemerintah berkewajiban untuk mengurusi rakyatnya agar tidak menderita dan binasa. Wa'allahu a'lam bisshowwab. (rf/voa-islam.com)

 

Gifu 15 Oktober 2019 ( tiga hari pasca badai topan hagibis melanda Jepang)


latestnews

View Full Version