View Full Version
Ahad, 19 Jan 2020

Jilbab Ga wajib? Fix, Anda Liberal!

 
Oleh:
 
Ana Nazahah, Revowriter Aceh
 
 
BENARKAH Jilbab tak wajib? Benarkah jilbab hanya budaya Arab, Kardun? Ga cocok dipakai oleh wanita Nusantara yang nota bene berkebaya, bersanggul merupakan pakaian adatnya? 
 
Bukan ga mungkin masyarakat awam bertanya seperti ini,  seiring pernyataan kontroversial dari istri mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sinta Nuriyah yang mengatakan bahwa Muslimah tak harus memakai jilbab.
 
Dia menyampaikan pernyataan itu saat acara bersama Deddy Cobuzier yang diunggah ke YouTube pada Rabu, 15 Januari 2020. Di acara itu, ia juga mengatakan bahwa suaminya juga sependapat dengannya. Karena itu anak dan istri Gusdur tidak mengenakan jilbab secara syar'i.
 
Sebenarnya berjilbab atau tidak, itu hak keluarganya bu Sinta Nuriyah. Dan yang bertanggungjawab juga yang bersangkutan dengan Allah. Namun karena beliau adalah istri tokoh agama, dan setiap tindak tanduknya disorot khalayak, maka jelas ini menjadi polemik dan kontroversi.
 
Mayoritas masyarakat Islam tentu menolak. Sejauh ini, tak ada ulama yang lurus yang menyatakan jilbab tidak wajib. Bahkan sebagiannya malah mewajibkan cadar. Aneh saja, jika ada tokoh yang merasa lebih paham dari ulama Islam sendiri. 
 
Namun, tidak sedikit yang menganggap pernyataan ini bak angin segar. Para liberalis tentunya. Mereka merasa semakin di atas angin. Pasalnya pernyataan istri salah satu mendiang tokoh Nasional ini sejalan dengan pemikiran yang mereka usung.
Kaum liberalis sudah sejak lama melakukan de-jilbab-isasi, dari mulai munuduh pemakai jilbab kurang vitamin D, jilbab menghasilkan limbah, hingga tuduhan kontekstual bahwa jilbab ga sesuai zaman. 
 
Begitu pun masyarakat yang sekuler, tentu menyambut baik pernyataan ini. Terlebih mereka memang alergi dengan syariat Islam. Mereka yang beranggapan jilbab bukan bagian dari budaya mereka sehari- hari. Jilbab yang kardun alias ke Arab-araban, pendapat mereka seolah diaminkan. 
 
Tak bisa dipungkiri, ini adalah bagian dari pemikiran radikal yang berbahaya. Dengan mempropagandakan hijab, sama saja menistakan paham mayoritas umat bangsa ini. Inilah yang wajib diwaspadai.
 
Dalam Islam aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu‘anha, beliau berkata,
 
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
 
“Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah SAW dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah SAW pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya, kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Daud 4140, dalam al-Irwa [6/203] al-Albani berkata: “Hasan dengan keseluruhan jalannya”) 
 
Jilbab itu lambang kehormatan Muslimah. Wajib dikenakan bagi wanita Muslim saat keluar rumah, sebagai tanda pengenalnya bahwa dia seorang wanita mukmin, dan dia tidak diganggu (al-Ahzab : 59). Mengkampanyekan bahwa jilbab tidak wajib berarti mengajak muslimah untuk sesat dari agamanya sendiri.
 
Kaum liberalis memang sudah biasa menframingkan ajaran Islam sesuka hati, dengan akal- akalan mereka. Tidak lain agar Islam semakin jauh dari kehidupan. Jadi yang diambil hanya nilai- nilai Islam saja. Semacam jilbabin hati, atau salat eling- eling.  Dengan pola yang sama, membenturkan syariat Islam dengan budaya.
 
Sehingga ayat- ayat Allah yang indikasinya wajib ditaati mereka anggap sebaliknya boleh dilanggar, setelah makna tekstual dan kontektualnya dipelintir sesuka hati. Sesuai dengan hawa nafsu mereka, jilbab yang sejak ribuan tahun lalu diwajibkan atas muslimah, mereka sebut tidak wajib. 
 
Mereka mengatakan tafsir modern, tafsir kontekstual, tafsir budaya dengan bahasa yang diilmiah- ilmiahkan. Agar umat percaya. Dan mengikuti pemikiran rusak mereka. Padahal siapa yang berhak diikuti selain perintah Allah dan RasulNya? 
 
Dari Abu Dzar, ia berkata, ”Dahulu saya pernah berjalan bersama Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Sungguh bukan Dajjal yang aku takutkan atas umatku.” Beliau mengatakan tiga kali, maka saya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah selain Dajjal yang paling Engkau takutkan atas umatmu?” Beliau menjawab, para tokoh yang menyesatkan”. [Musnad Ahmad (35/222)]
 
Oleh karena itu, berhati- hatilah dalam merujuk sebuah pemahaman, apalagi terkait syariat Islam. Salah- salah hidup bisa berujung sesat. Sudah sesat, menyesatkan pula. Tak ada yang didapat selain kecelakaan di dunia dan akhiratNya. 
 
Masih banyak ulama lurus yang bisa dijadikan rujukan. Caranya? Carilah ulama yang hanif. Mereka yang senantiasa memperbaiki apa- apa yang dirusak hari ini. Mereka dibenci kafir, musuh- musuh Allah, semata karena takut kebenaran yang disampaikan akan diterima umat. 
 
Sedang mereka yang selalu bernarasi tentang toleransi, namun dengan mencampurkan hak dan batil. Tentang radikalisasi, namun dengan menistakan ulama dan ajaran Islam. Tentang Islam modernisasi tetapi dengan menginjak- injak paham Islam itu sendiri. Maka jauhi mereka! Sembari berdoa semoga Allah selalu menjaga aqidah kita dari serangan pemikiran rusak yang dihembuskan oleh musuh- musuh Allah. Wallahualam.*

latestnews

View Full Version