View Full Version
Sabtu, 25 Jan 2020

Meluruskan Salah Tafsir Wajibnya Jilbab

 

Oleh:

Irma Setyawati, S.Pd

Aktivis Muslimah Pasuruan

 

JILBAB bukanlah sebuah pilihan, tetapi merupakan sebuah kewajiban yang di perintahkan oleh Allah SWT. Ketika sudah berusia baligh, seorang wanita wajib berjilbab. Tidak ada alasan untuk tidak memakainya. Karena perintah tersebut di sampaikan oleh Allah SWT dengan tegas dan jelas di dalam Al-Qur’an. 

Allah SWT berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab : 59).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam agar dia menyuruh wanita-wanita mukmin, istri-istri dan anak-anak perempuan beliau agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dari kaum wanita jahiliah dan budak-budak perempuan.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Bahkan ancaman bagi wanita yang sudah baligh dan tidak berjilbab juga cukup keras di sampaikan oleh Rasulullah yang juga menjadi bukti bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban bukan pilihan. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128).

 

Upaya Mengaburkan Kewajiban Jilbab

Ketika kita merujuk pada dalil di atas, sungguh apa yang di sampaikan oleh Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab itu sangat tidak berdasar. 

Sinta Nuriyah di YouTube channel Deddy Corbuzier pada Rabu (15/1/2020) menyatakan : “ bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Qu’ran jika memaknainya dengan tepat. Enggak juga (semua muslimah harus memakai jilbab), kalau kita mengartikan ayat dalam Al Qur’an itu secara benar," kata Sinta.

Selama ini ia berusaha mengartikan ayat-ayat Al Qur’an secara kontekstual bukan tekstual. Sinta juga mengakui bahwa kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Al Qur’an karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi.

Dipengaruhi oleh adat budaya setempat, cara berpikir dia juga itu mempengaruhi pemahaman terhadap ayat-ayat agama yang bukan menjadi bahasanya, yang sama bahasanya pun bisa salah juga mengartikannya," kata Sinta. Anaknya, Inayah Wahid yang berada di sebelahnya pun setuju dengan pendapat Sinta. Menurut dia, penafsir memang harus memiliki berbagai persyaratan untuk mengartikan ayat-ayat Alquran. "Enggak boleh orang menafsirkan dengan sembarangan," kata Inayah.

Keduanya pun menyadari setelah berkata demikian akan banyak yang tidak setuju dengan pandangannya hingga mendapatkan perisakan oleh netizen. Namun mereka juga tidak ingin memaksakan orang di luar sana untuk setuju dengan mereka. 

 

Metodologi Memahami Nash Al Qur’an

Al-Quran adalah sumber dan rujukan utama dalam ajaran-ajaran agama Islam sehingga sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk berpegang teguh kepada Al-Quran. Karena jelas, Al-Quran adalah wahyu yang diturukan oleh Allah melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Namun pada praktek penerapannya, kita sangat membutuhkan sebuah metodologi agar dapat menguraikan maksud dari ayat-ayat Al-Quran. Metodologi tersebut adalah tafsir Al-Quran.

Tafsir berasal dari kata fas-sa-ra. Secara etimologis dapat diartikan ‘keterangan atau penjelasan yang menerangkan maksud dari suatu lafazh’. Seperti yang telah disinggung dalam Al-Quran; “Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” [al-Furqaan: 33].

Secara singkat, tafsir dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membantu memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan metode dan aturan-aturan tertentu.

Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, menafsikan Al-Quran haruslah dengan cara yang sesuai dengan Al-Quran itu sendiri. Yaitu dengan tekstual, dan bukan dengan kontekstual (sesuai dengan situasi dan kondisi). Kemudian kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan oleh Al-Quran, yaitu dengan mempelajarinya secara ijmal (garis besar) sehingga hakikat yang dikemukakan oleh Al-Quran itu tampak jelas. Selain itu juga kita harus mempelajari dari segi lafazh dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah SAW. Dan untuk memahami ayat-ayat kauniah, kita juga membutuhkan wawasan khusus tentang ilmu pengetahuan (sains) yang berkembang dari waktu ke waktu.

Karena Al-Quran adalah Risalah Ilahiah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka orang tidak akan mungkin dapat memahami semua isinya secara benar kecuali melalui apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam As-Sunnah (Al-Hadits). Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah bahwa Al-Quran diturunkan kepada Rasul-Nya untuk dijelaskan ayat-ayatnya kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya; “…Dan Kami turunkan az-zikr (Al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan (isi kandungan Al-Quran).” [an-Nahl: 44].

Dengan kata lain orang yang ingin menafsirkan Al-Quran harus menguasai As-Sunnah, yang dalam hal ini adalah memahami sepenuhnya nash (teks) As-Sunnah, memahami setiap ide dan setiap hukum yang terkandung di dalamnya dan mengetahui tujuan yang dimaksud oleh kata-katanya, bukan hanya sekedar hafal susunan kalimatnya.

Tidak hanya sampai di situ. Masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain yang wajib kita ikuti untuk dapat menafsirkan Al-Quran. Seperti mengetahui dan memahami kisah-kisah sejarah di dalam Al-Quran atau berita tentang berbagai umat manusia pada zaman dulu yang bersumber dari Rasulullah. Kemudian kita juga harus mengetahui berbagai ilmu yang mendukung metode tafsir seperti ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu I’rab (gramatika), ilmu Balaghah, ilmu sejarah dan lain sebagainya.

Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Al-Quran yang benar-benar baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan produk dari tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari koridor-koridor ajaran Islam. Sehingga Al-Quran tetap dapat diterapkan di setiap tempat dan zaman (fi kulli makan wa zaman) tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qoth’i dalam Al-Quran.

Termasuk kewajiban jilbab yang dengan tegas di sampaikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang sudah tidak perlu di tafsir ulang, karena hal itu akan membawa bahaya besar bagi pengaburan seruan yang bersifat wajib akhirnya hanya menjadi sebuah pilihan. Tentunya ada bahaya yang lebih besar dari itu adalah akhirnya banyak kaum muslimah yang meninggalkan kewajiban tersebut dan terperosok melakukan dosa besar di hadapan Allah SWT tanpa dia sadari akibat pernyataan-pernyataan salah yang keluar dari mulut orang-orang yang selama ini “ di anggap mengerti agama” , padahal faktanya menjadi perusak ajaran agama itu sendiri.*


latestnews

View Full Version