View Full Version
Kamis, 27 Feb 2020

Menikahkan Si Kaya dengan Miskin, Solusi Pengentasan Kemiskinan?

 

Oleh: Dini Azra

Ibarat "Ayam mati di atas lumbung padi", begitulah nasib rakyat miskin di negeri ini. Negeri yang seharusnya "gemah ripah loh jinawi", namun hingga detik ini kemiskinan masih terpampang jelas di depan mata. Kemiskinan yang sampai pada titik kritis yang paling tragis.

Masyarakat dibuat miris dengan tersebarnya kisah tiga kakak beradik dari Desa Muara Tais ll, kecamatan Angkola Muara Tais, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Mereka adalah Novri (9 tahun), Juliandi (7 tahun), dan Andika (4 tahun). Mereka dikabarkan sering memakan sabun cuci atau deterjen saat kelaparan. Karena di rumah, dimana mereka tinggal bersama sang nenek, Soriani Nasution (80 tahun) dan ayahnya Rosul (45 tahun) tidak didapati makanan. Neneknya yang sudah renta, sudah tidak mampu bekerja. Sedangkan ayahnya hanya bekerja serabutan, bila ada orang yang memintanya untuk mencangkul atau membersihkan kebun, barulah dia bisa pulang membawa uang. Sementara ibu mereka telah lama menikah dengan lelaki lain.

Kisah ini diketahui publik setelah diberitakan oleh media lokal, MedanMerdeka.com Minggu (23/2).  Kebiasaan memakan sabun yang dilakukan Novri dan adik-adiknya, sering dilihat oleh tetangga saat mencuci di sungai. Meski tetangga sering memberitahu untuk berhenti memakannya, tapi mereka beralasan terpaksa karena tidak punya makanan. Tetangga pun sering membantu keluarga mereka namun tidak mencukupi. Sang nenek membenarkan kalau cucunya melakukan hal itu, tapi dia sendiri merasa tak berdaya.

Saat ditanya apakah mereka mendapatkan bantuan berupa Program Keluarga Harapan (PKH) seperti kartu sehat, raskin, atau bantuan sekolah untuk cucu-cucunya, Soriani mengaku belum pernah mendapatkan bahkan baru mengetahuinya. Karena itu dia sangat berharap perhatian dari pemerintah setempat (Suara.com, 24/2).

Kejadian seperti ini hanyalah satu dari sekian banyak potret kemiskinan di Indonesia. Sudah sering kita melihat fakta serupa, yang tak kalah menyedihkan. Kemiskinan memang problem semua negara, bahkan di negara yang paling maju sekalipun, pasti masih ditemukan penduduknya yang miskin. Hanya saja tiap negara akan berusaha mengatasinya. Melalui berbagai program dan kebijakan yang mereka putuskan.

Menengok kondisi kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, angka kemiskinan di Indonesia menjadi 9,41 persen. Sementara menteri keuangan Sri Mulyani m ingin menurunkannya hingga 8,5 persen. Hanya saja hal itu sulit diwujudkan secara nyata. Sebab kelompok berkategori miskin tersebut, adalah kelompok dengan kemiskinan yang ekstrem. Yakni para penyandang disabilitas, janda, lansia, dan orang yang sakit berkepanjangan.

Disamping itu asumsi pemerintah dalam menentukan garis kemiskinan, adalah keluarga yang memiliki pengeluaran dibawah Rp.401.220/bulan (sekitar Rp.13.000/hari). Jauh dibawah ukuran garis kemiskinan ekstrem yang ditetapkan PBB, yang semula 1,25 Dolar AS menjadi 1,9 Dolar AS (sekitar Rp.27.550/hari).

Pengentasan kemiskinan menjadi tantangan terberat bagi pemerintah sampai saat ini. Solusinya bukan sekedar utak-atik angka, untuk menutupi fakta sebenarnya. Bahwa jurang kemiskinan semakin menganga, serta jauhnya ketimpangan antara si miskin dan si kaya. Dan baru-baru ini Menteri Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengusulkan, agar Kementrian Agama mengeluarkan fatwa terkait orang kaya sebaiknya menikah dengan orang miskin.

"Bagaimana supaya yang kaya tidak harus memilih-milih ketika mencari jodoh atau menantu harus sesama kaya. Jadi gerakan moral saja. Fatwa itu anjuran." kata Muhadjir di Istana Kepresidenan, kamis lalu. tirto.id.(24/2)

Tentu saja usulan ini menimbulkan kontroversi, pemerintah seperti kehabisan akal dalam mengatasi kemiskinan hingga berhasrat merecoki ranah pribadi warganya. Pernikahan bagi tiap orang pasti memiliki nilai sakral. Adalah hak setiap orang untuk menentukan pasangan hidup sesuai kriteria yang diinginkan. Sebab pernikahan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan, tentang bagaimana manusia bisa melangsungkan keturunannya. Dan untuk meraih kebahagiaan dan ketentraman. Dalam Islam menikah juga dinilai sebagai ibadah.

Karena itu usul Muhadjir dinilai berlebihan dan tidak masuk akal. Bahkan terkesan menjadikan kemiskinan sebagai bahan candaan. Hingga menjadi sorotan dunia. Menurut hasil penelusuran Suara.com di situs komedi 9gag muncul artikel yang bertajuk, "Minister Calls On The Rich To Marry The Poor To Cut Country's Poverty Rate" menampilkan foto Muhadjir Effendy.

Peneliti Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira berpendapat usulan tersebut sudah keluar dari tugas pemerintah. "Ini menurut saya sudah offside, ya. Apa hak pemerintah mencampuri urusan personal begitu?" kata Bhima kepada detikcom, Kamis (20/2/2020)

Tidak ada jaminan jika orang miskin menikah dengan orang kaya, akan terangkat dari kemiskinannya. Yang terjadi justru angka perceraian akan semakin meningkat karena pernikahan tidak didasari keinginan sendiri. Bhima menyarankan, daripada membuat wacana yang aneh-aneh, seharusnya pemerintah memperbaiki aturan yang sudah ada. Seperti bantuan sosial, BPJS dan kebijakan subsidi nya agar tepat sasaran. detikfinance (20/2)

Pernikahan antara si kaya dan si miskin memang bukan hal yang terlarang, atau haram dalam agama. Apabila didasari keinginan pribadi dan bukan dipaksa dengan alasan memperbaiki ekonomi. Sedangkan dalam mengentaskan kemiskinan, Islam memiliki aturan yang solutif dan komprehensif. Yang bisa diterapkan mulai dari individu hingga negara.

Pertama, secara individual Islam mendorong setiap muslim untuk bekerja mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda : "Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban diatas kewajiban yang lain."(HR. Ath-Thabrani)      

Kedua, secara kolektif (jama'ah). Islam mendorong umatnya untuk saling membantu saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan. Termasuk didalamnya sedekah, infak, juga membayar zakat yang akan didistribusikan oleh negara kepada yang berhak menerima.

Ketiga, Islam mengharuskan penguasa untuk bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya. Termasuk menyediakan kebutuhan pokoknya, seperti bahan pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Juga wajib memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimnya. Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: " Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan dia bertanggungjawab atas rakyat yang diurus."(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Hanya saja, pengentasan secara Islam mustahil terlaksana ditengah sistem kapitalis saat ini. Dimana penguasa akan lebih mementingkan kepentingan korporasi dibanding urusan rakyatnya sendiri. Selain itu, keberkahan suatu negeri bisa terwujud jika penduduknya beriman dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Sebagaimana firman-Nya :ِ

"Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami membuka untuk mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96). Wallahu a'lam bishawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version