View Full Version
Ahad, 26 Apr 2020

Peran Muslimah dalam Pingitan (Refleksi Hari Kartini saat Wabah)

Oleh: Tari Ummu Hamzah

Kata pingitan berasal dari bahasa Jawa, yaitu pingit, yang artinya dikarantina untuk tujuan tertentu hingga masa yang telah ditentukan. Seiring dengan perkembangan zaman, aktifitas ini sudah tidak relevan bagi perempuan-perempuan Jawa. Sebab perlahan kebebasan aktivitas perempuan di masa pasca perang dunia, mulai memiliki tempat di ruang publik. Peran mereka pun terlihat bagi masyarakat.

Tapi jika melihat kondisi dunia saat ini, mau tidak mau masyarakat harus tetap diam di rumah, termasuk para muslimah. Akankah perempuan kembali dipingit seperti dahulu kala?

Sebenarnya perempuan terutama muslimah tetap memiliki peran di saat seperti ini. Contohnya, mereka tetap bisa mengkaji islam dan mendakwahkannya. Sarana yang ada saat ini mempermudah kita untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi. Tapi banyak juga yang berspekulasi, para pengemban dakwah hanyalah orang-orang yang hanya berani bicara tanpa ada aksi nyata. Peran mereka dipandang sebelah mata. Benarkah demikian? Apakah saat memainkan peran, kita harus selalu berada di ruang publik?

Coba kita ingat kembali bagaimana RA. Kartini memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi para kaum perempuan. Selama ada dalam pingitan, beliau rajin berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa. Beliau Mengkaji seperti apa peran wanita Eropa di ruang publik di masa itu. Kartini mendapati bahwa salah satu peran perempuan yang paling penting adalah mendapatkan pendidikan, karena ini adalah hak dasar setiap orang.

Aktivitasnya dalam mengkaji peran wanita beliau lakukan dalam masa pingitan. Beliau aktif membaca buku berbahasa Belanda dan berlangganan majalah Hollandsche Lelie. Tak lupa beliau juga aktif menulis artikel dan dimuat di majalah tersebut. Semua beliau lakukan di rumah.

Bahkan ketika cita-citanya didukung oleh suaminya, di awal-awal masa perjuangannya, Kartini mengajarkan baca tulis kepada perempuan-perempuan muda di rumahnya. Ini membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi tenaga pendidik, memberikan edukasi dan informasi.

Jelas bahwa ketika perempuan di rumah saja, tetap mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat. Tak terkecuali para muslimah pengemban dakwah. Aktivis mereka yang biasanya sebelum pandemi di luar rumah untuk menuntut ilmu dan bedakwah, kini harus diubah menjadi di dalam rumah. Meskipun begitu, mereka tetap mampu memberikan peran lewat dakwah secara on-line, mengkaji islam lewat media sosial. Jadi bukan berarti tidak ada peran, bukan?

Jika aktivitas seperti yang dilakukan Kartini tidak membawa dampak, maka sejarah tidak akan menuliskan namanya sebagai pahlawan nasional. Dan jika aktivitas muslimah pengemban dakwah tak mampu membawa perubahan, tentu tak akan dihalangi oleh rezim untuk terus berdakwah. Sebab apa yang dilakukan para pengemban dakwah adalah bagian dari membangkitkan pemikiran masyarakat. Dan ini harus tetap dilakukan tak peduli di masa pandemi seperti sekarang ini. 

Membangkitkan ini dimaknai sebagai meningkatkan taraf berfikir masyarakat, dari berfikir jahiliyah menuju pemikiran Islam yang cemerlang. Mengapa demikian? Sebab manusia tidak akan mampu menjadi mulia kehidupannya, tanpa kebangkitan berfikir dengan Islam.

Inilah yang harus segera disadari oleh masyarakat kita. Bahwa di masa pandemi seperti saat ini, manusia tak memiliki pilihan lain kecuali menginstal ulang pemikiran mereka (terhadap kehidupan) dengan Islam. Sebab kapitalisme tinggal menunggu lonceng kematiannya. Sosialisme yang diwakili oleh China saat ini, juga telah gagal. Jadi apakah kita mau mengulang kembali kondisi peradaban manusia saat ini?  Yang bobrok dan tak mampu mengurus rakyat? Apakah tawaran syariat islam yang digaungkan oleh para muslimah pengemban dakwah harus ditolak?

Manusia jelas menginginkan ketentraman dalam kehidupannya, tentram berarti kita kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. Hanya Islamlah yang mampu memberikan jaminan ketentraman hidup. Sebab syari'at Islam akan mengubah tatanan masyarakat dari jahiliyah menuju kemuliaan. Dari kesengsaraan menuju kesejahteraan. Maka dari itu masihkah kita menolak Islam? Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version