View Full Version
Sabtu, 09 May 2020

Laki-laki sebagai Imam, Bersinergi bukan Bertukar Peran

 

Oleh: Erika Kartini

Wabah COVID-19 telah mengubah kebiasaan banyak manusia. Tak ketinggalan juga mengubah suasana Ramadhan kali ini. Masjid-masjid ditutup dalam rangka mencegah penyebaran virus corona. Kaum muslim dihimbau agar menjalani ibadah Ramadhan di rumah saja. Aktivitas buka bersama serta tarawih berjamaah yang biasanya ditunaikan di masjid tidak lagi dilakukan. Sedih tentunya, tetapi apa mau dikata. Ikhtiar dalam rangka mencegah wabah semakin meluas harus ditaati.

Shalat wajib serta tarawih yang dilakukan di rumah tentu menjadi kebiasaan baru bagi para bapak-bapak. Mereka mau tidak mau harus menjadi imam bagi keluarganya. Tidak peduli bisa atau tidak, para lelaki tiba-tiba menjadi imam dadakan di rumahnya. Menjadi pemimpin shalat bagi istri serta anak-anaknya.

Ada sebagian lelaki yang terbiasa menjadi imam atau pernah sesekali menjadi imam. Namun ada juga yang belum pernah, karena seumur hidupnya selalu menjadi makmum. Lebih rajin shalat sendiri daripada berjamaah di masjid. Bagi yang sudah terbiasa tidak akan menjadi kendala. Tetapi bagi yang belum, pastinya penuh tantangan. Belum lagi masalah sedikitnya stok hafalan surat pendek yang harus dibaca ketika mengimami shalat. Khususnya shalat tarawih yang rakaatnya lebih banyak dibanding shalat fardhu.

Tidak terbayang bagi para aktifis feminis ketika menyikapi fakta seperti ini. Pasti mereka langsung menggantikan posisi imam suami mereka. Sedang yang mampu saja ditelikung apalagi yang kurang. Ide keseteraan gender dalam segala hal telah membutakan mereka. Bahkan hal-hal yang sakral seperti imam shalat pun tak luput dari serangannya. Seperti apa yang digagas oleh Aminah Wadud yang kini banyak diikuti jejaknya oleh aktifis feminis muslim. Mereka telah melakukan praktek imam shalat bagi suaminya dan para lelaki lainnya.

Pada faktanya ketika para bapak-bapak lupa akan kelanjutan ayat yang dibaca, maka makmum di belakang bisa mengingatkannya. Para ibu yang berdiri di belakang imam mampu berperan juga meluruskan. Seorang perempuan yang faqih terhadap ilmu Islam dapat berperan besar dalam keluarganya. Ia bisa mengajarkan kepada anak-anaknya bahkan suaminya sekalipun. Karena tidak ada larangan seorang istri mengajari suami atau sebaliknya suami belajar kepada istri. Jadi bukan menggantikan posisi imam tapi meluruskannya.

Ditunjuknya laki-laki oleh hukum syara menjadi imam bagi perempuan bukan berarti lantas menjadikan perempuan menjadi tidak berguna. Ada peran masing-masing dalam kehidupan. Ada kodrat dari sang pencipta Allah Swt yang tidak bisa diganggu gugat. Kodrat yang diturunkan dalam rangka kebaikan bagi manusia. Termasuk dalam kehidupan rumah tangga, para ibu yang mencari nafkah statusnya hanya “membantu” bukan “menggantikan”. Kewajiban nafkah tetap ada dipundak laki-laki. Bukan malah bertukar peran dengan alasan peluang kerja bagi perempuan lebih besar atau sederet alasan lainnya.

Seorang perempuan yang tangguh dan hebat dapat menjadi penolong bagi keluarganya tanpa harus bertukar peran serta menyalahi kodrat. Perempuan yang pandai berbisnis dapat menggembleng suaminya untuk menjadi pengusaha sukses. Ia berdiri di belakang suaminya. Terus menyokongnya agar maju ke depan. Dengan dukungan serta doa-doa yang dipanjatkan mereka melangkah bersama menuju kesuksesan.

Sekali lagi tanpa harus bertukar peran; ibu bekerja, bapak mengurus rumah. Bukan seperti itu. Perempuan yang bagus pemahaman Islamnya, bagus bacaan qurannya dapat mengajari suaminya serta anaknya tentang agama bukan malah menjadi imam shalat bagi suami serta anak-anak laki-lakinya.

Allah Swt tidak membeda-bedakan manusia, semua sama dimata-Nya. Yang membedakan hanyalah ketakwaannya saja. Sebagaimana firman-Nya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al Hujurat: 13)

Islam tidak mengenal ide kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan yang menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan tuntutan syariat akan sama-sama mulia dimata Allah Swt. Fokusnya adalah ketakwaan bukan kesetaraan semu yang massif digaungkan kaum feminis. Lelaki dan perempuan dalam Islam akan berlomba-lomba melakukan kebaikan untuk bekal menuju akhirat. Mereka akan saling membantu dalam meraih ketakwaan kepada Allah Swt. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version