View Full Version
Senin, 09 Nov 2020

Melawan Mental Miskin Berjiwa Pengemis

Seorang sahabat yang tinggal di Australia bercerita tentang pengalamannya:

Suatu sore, sesudah menikmati secangkir capucino di Gloria Jeans Café yang capucino-nya paling enak menurut saya- kami mampir ke toko roti.

Kami membeli sebatang roti kismis dan minta kepada si mbak penjaga toko untuk dipotongkan, sehingga nanti di rumah gampang, tinggal comot dan makan.

Selesai dipotong dan dibungkus rapi, lalu diserahkan kepada saya. Langsung saya berikan uang lembaran 10 dollar. Tapi ditolak dengan senyum manis, sambil berucap:

”It's free nothing to pay.”

“Are you sure ?” kata saya.

Gadis remaja yang tugas jualan disana, menjelaskan bahwa kalau sudah ditutup, roti tidak boleh lagi dijual. Boleh diberikan kepada siapa yang mau atau diantarkan ke Second Hand Shop untuk orang yang membutuhkan.

Agak tercengang juga saya dengar penjelasannya.

Terbayang, kalau di Indonesia, wah bisa bangkrut ini, karena orang bakalan menunggu toko tutup supaya dapat yang gratis.

Belum selesai ngobrol dengan si mbak, tiba-tiba ada suami istri, yang juga mau belanja roti. Rupanya mereka tanpa saya sadari sudah mendengar percakapan kami. Si pria adalah orang Australia, sedangkan istrinya adalah tipe orang Asia. Si wanita juga minta roti di mbak, tapi di cegah oleh suaminya, sambil berkata:

"No darling ~ please. We have enough money to buy. Why do we have to pick up a free one? Let’s another people who need it more than us take it."

Wah ... wah, merasa tersindir wajah saya panas...…dalam hati saya bergumam, ”Hmm saya ini juga pengusaha, bukan mau cari gratisan”.

Tapi, syukur cepat sadar diri, gak sampai terucapkan. Karena toh mereka tidak omongin saya langsung.

Hingga menjelang tidur, kata-kata si Suami kepada istrinya masih terngiang-ngiang rasanya.

"We have enough money to buy........why do we have to pick up a free one."

Setelah saya renungkan, saya merasakan bahwa kata-kata ini benar. Kalau semua orang yang punya duit ikut antri dan dapatkan roti gratis, yang biasanya diantarkan ke Second Hand Shop untuk dibagi bagikan gratis, berarti orang yang sungguh-sungguh membutuhkan tidak bakalan kebagian lagi roti gratis.

Pelajaran hidup ini tidak mungkin akan saya lupakan.

Kalau kita sanggup beli. Jangan ambil yang gratis. Biarlah orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkannya. Sungguh sebuah kepedulian akan sesama yang diterapkan dengan kesungguhan hati.

Kini saya baru tahu, kenapa kalau di club ada kopi gratis, tapi jarang ada yang ambil. Mereka lebih suka membeli. Bukan karena gengsi-gengsian.
Tetapi terlebih karena rasa peduli mereka pada orang lain, yang mungkin lebih membutuhkan.

Tuhan sudah memberikan berkah yang cukup untuk kita. Tidak perlu lagi kita mengambil bagian berkah yang diperuntukkan bagi orang lain.

Ketika kita mendengar ada program pemerintah untuk membantu orang miskin, apa yang ada dalam benak kita?

Apa kita akan ikut bersiasat agar mendapat bagian?

Ataukah kita merekayasa data agar kerabat dan saudara kita dapat bagian juga?

Atau kita sok jadi pahlawan dengan mengajukan diri sebagai pendamping program, tapi dalam pikiran kita tersimpan niat busuk untuk memperkaya diri sendiri?

Sahabat, kemiskinan bukan untuk dipolitisir dan dieksploitasi.

Orang miskin dan kemiskinan adalah ladang amal. Keberadaan orang miskin adalah cara Tuhan untuk menguji sejauh mana kepedulian dan keimanan kita.
Sementara kemiskinan adalah mental yang mesti dirubah dan diberantas.

Mental minta-minta, mental gratisan, mental potong kompas, termasuk mental jualan data orang miskin.

Semua itu adalah Mental Pengemis yang membuat bangsa ini rendah dan terhina. Itulah kemiskinan KULTURAL.

Sudah saatnya kita bangkit dan sadar, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Menjaga harga diri lebih baik daripada menjatuhkan kehormatan hanya demi sesuap nasi.

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" [PurWD/voa-islam.com]

**Copas @Setyo Budi Pulungan.


latestnews

View Full Version