View Full Version
Selasa, 11 May 2021

Anakku Investasi Akhiratku

 

Oleh:

Putri || Ibu Rumah Tangga

   

SETIAP pasangan mendambakan hadirnya anak. Entah itu laki-laki atau perempuan. Kehadirannya menjadi penyempurna sebuah rumah tangga. Tak lengkap rasanya bila sebuah keluarga tak dilengkapi dengan keceriaan anak-anak. Ianya menjadi qurrata a’yun, penyejuk mata bagi kedua orang tuanya.

Tak heran apapun dilakukan oleh pasutri untuk memiliki seorang anak. Kalau dalam jangka waktu lama belum juga mendapatkan kehamilan, maka tumbuh kegelisahan. Apapun akan dilakukan mulai dari tindakan medis ataupun non medis. Saat tiba anak lahir, membuncahlah kebahagiaan kedua orang tua. Sang ibu melahirkan dengan susah payah (taruhan nyawa) pun terbayarlah sudah.

Begitu berharganya keberadaan anak, sehingga setiap orang tua akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan dan kesuksesannya. Bila perlu orang tua akan banting tulang. Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Berpeluh, memeras keringat untuk anak-anak yang dicintai dan diharapkan akan menjadi kebanggaan orang tuanya kelak. Maka, dalam hal ini Allah telah memperingatkan kepada hamba-Nya untuk menjaga dan mempersiapkan sebaik-baiknya anak mereka sebagai generasi penerus yang kuat, kokoh, tidak lemah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S. Annisa ayat 9 yang artinya,

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Ayat ini berisi peringatan bagi para orang tua untuk sebisa mungkin menyiapkan anak-anak mereka sebagai generasi penerus yang kuat, tidak lemah dan takut. Hal ini tidak hanya menyangkut masalah materil, tetapi juga immateril. Yaitu berupa akhlak, kecerdasan, dan berbagai macam keahlian dan keterampilan lainnya.

Mengapa anak begitu penting dan berarti bagi orang tua?

Anak adalah investasi bagi orang tua baik di dunia maupun di akhirat. Betapa tidak, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa apabila orang tua yang ditinggal oleh anaknya kemudian dia ridho dan mengucapkan hamdalah serta beristirja’ maka Allah menyuruh kepada malaikat-Nya untuk membuatkan rumah di surga, dengan nama Baitul Hamdi (Rumah Pujian). Pun, ketika sang anak meninggal dalam kandungan ataupun meninggal di saat masih bayi. Kemudian apabila sang anak tumbuh menjadi dewasa, dan kemudian menjadi anak yang sholeh hasil didikan dari orang tuanya, maka ianya akan menjadi investasi yang tiada terputus bagi kedua orang tuanya sampai di akhirat kelak.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi,Nasa’i dan Ahmad:

“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo’akannya”

Anak sholeh/ah yang mendoakan kedua orang tuanya menjadi garansi tidak terputusnya pahala orang tua meskipun mereka sudah tidak bernyawa. Maka siapatah orang tua yang tidak menginginkan investasi jangka panjang (akhirat) seperti ini? Untuk investasi dunia, sudah jelaslah seorang anak yang sholeh akan berterima kasih dan berbakti kepada kedua orang tuanya dengan segala macam cara. Ia tidak akan membiarkan air mata kedua orang tuanya tertumpah. Jangankan menyakiti secara fisik, hanya sekedar mengucapkan kata “ah”, “uff” dan sejenisnya menjadi sesuatu hal yang sangat tabu.

Bagaimanakah caranya supaya bisa mendidik dan membentuk anak yang sholeh?

Pertama: Bentuklah dan didiklah anak sholeh 5-10 tahun sebelum ia dilahirkan. Maksudnya, untuk mendidik antak membentuk anak yang sholeh, maka sebuah keharusan, orang tuanya sholeh terlebih dahulu. Seorang anak yang sholeh dan hebat, mesti lahir dari orang tua yang sholeh dan hebat pula. Banyak contoh dan teladan yang telah ditunjukkan oleh generasi sahabat dan salaf ash-shaleh terdahulu. Usmah bin Zaid, panglima Islam termuda di usia 17 tahun, dididik dan ditempa oleh seorang ayah yang sholeh dan mulia, Zaid bin Haritsah. Imam Syafi’i, seorang ulama mujaddid terbesar di zamannya sampai saat ini, lahir dari seorang ayah yang sangat wara’ yang menjaga perutnya dari harta yang haram. Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin Islam par exellance yang mampu menhadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya kala itu, lahir dari nenek buyut yang wara’ dan begitu takut terhadap Allah, Tuhannya. Maka, membentuk atau mendidik anak yang sholeh, mestilah dimulai dari orang tuanya terlebih dahulu, membentuk pribadi-pribadi yang sholeh dan mulia.

Kedua: Berilah anak nama yang baik yang mencerminkan nilai-nilai luhur dan mulia. Nama yang baik bisa berupa nama Nabi, Sahabat, Ulama, nama-nama baik dalam Al-Qur’an dan yang lain. Nama adalah sebuah do’a dan harapan. Dengannya, mudah-mudahan seorang anak akan termotivasi oleh nama yang baik yang dia punya.

Ketiga: Upayakan maksimal untuk mendidik anak yang sholeh dengan cara mendekatkan mereka dengan Al-Qur’an. Cara ini bisa dimulai ketika anak berada dalam kandungan dengan memperdengarkan bacaan ayat suci Alqur’an terutama yang dibacakan sendiri oleh ayah ataupun ibunya. Dengan upaya mendekatkan Alqur’an sedini mungkin, maka insya Allah nur Ilahy akan senantiasa menyertainya. Alqur’an akan menjaganya, ketika mereka menjaga Alqur’an. Maka apabila kita teliti, anak-anak yang begitu dekat dengan Alqur’an maka akan terlihat berbeda dibandingkan anak sebayanya. Ia akan terlihat lebih dewasa dan matang. Perilakunya terjaga dibanding anak-anak yang lain.

Keempat: Berilah pendidikan dan lingkungan yang baik dan tepat. Tentunya peran orang tua sangat besar dan signifikan dalam memberikan pendidikan dan lingkungan yang baik dan tepat. Jangan sampai salah dalam menentukan kedua hal ini. Keduanya sangat berperan besar bagi masa depan anak. Lingkungan dan pendidikan yang salah, akan membentuk generasi anak yang salah pula. Mereka bisa menjadi materialis, hedonis, apatis dan lain sebagainya.

Kelima: Berikan perlindungan dari pengaruh dan budaya-budaya destruktif dan negatif. Pengaruh-pengaruh destruktif ini bisa berasal dari lingkungan terdekat seperti televisi, film, internet, bacaan dan teman pergaulan. Anak akan terjerumus ke dalam pola dan perilaku destruktif yang pbertentangan dengan apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Alhasil anak-anak terlibat perilaku kekerasan, obat-obatan, atau menjadi korban kejahatan seksual sebagaimana yang ramai diberitakan di media.

Sekali lagi, anak adalah investasi jangka panjang dunia akhirat bagi kedua orangtuanya. Maka, memuliakannya adalah sebuah keharusan. Memuliakan anak dengan cara mendidiknya menjadi anak yang sholeh, sebagaimana yang dilakukan oleh Luqman terhadap anak-anaknya. Memuliakannya denga cara memberikan suri tauladan yang baik, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim terhadap Ismail dan Ishaq. Memuliakannya dengan cara menyayangi dengan kesungguhan sebagaimana yang diberikan oleh Nabi Ya’qub terhadap anak-anaknya. Memuliakannya dengan cara mengingatkan ketika mereka berbuat kesalahan sebagaimana Nuh terhadap anaknya Kan’an.

Selebihnya, setelah kita maksimal dalam berbuat, kita serahkan semuanya kepada Allah, agar Ia melindungi buah hati kita. Karena Ia pemilik segalanya, termasuk anak-anak kita.*


latestnews

View Full Version