View Full Version
Sabtu, 02 Oct 2021

Mama, Jangan Kerja

 

Oleh:

Keni Rahayu || Influencer Dakwah Milenial

 

KITA tak asing dengan istilah fulltime mom. Ia mengabdi di dalam rumah dengan segala amanah agung di dalamnya. Dapur, sumur, kasur adalah medan jihad agung. Tak lupa jobdesc merawat anak bervisi surgawi digenggamnya. 

Di sisi lain, ada ibu yang dilema berada di antara dua pilihan, anak atau karir. Karir adalah wujud eksistensi diri. Lebih dari itu, ilmunya yang tinggi dinanti umat. Maka ia tak ingin ilmunya berhenti bermanfaat di cakupan lingkungannya saja. Di sisi lain anak juga memanggil-manggil memerlukan bantuan ibunda. Dilema. Mana yang sungguh lebih membutuhkannya? 

Resah dan galau. Itulah yang dirasakan ibu ketika menghadapi kenyataan bahwa karir harus terhenti dan banting setir fokus ke aktivitas di dalam rumah. Ada pula ibu yang menganggap bekerja termasuk "me time" yang menjadi obat stres kala suntuk menghadapi aktivitas sehari-hari di rumah. 

Lain ibu lain pula anak. Ibu masih berada di titik dilema, memilih dan memilah mana yang terbaik. Namun di sisi lain anak tak pernah punya pilihan. Jika ibunya bekerja, otomatis ia akan dirawat oleh nenek tercinta. Jika uang berlebih, sang ibu menyewa nany atau menitipkan sang buah hati ke penitipan anak berkedok sekolah dini. Anak jelas tak bisa memilih. Toh kalau dia sudah besar, dia bisa memilih di rumah sendirian. Terlepas ia nanti main ke rumah teman atau mengajak teman main ke rumahnya. 

Sejatinya tidak ada larangan dalam Islam jika ibu harus bekerja keluar rumah. Syaratnya sederhana. Berikut kita kupas bersama. 

1. Mendapat rida wali. Secara umum, wanita berada di bawah tanggung jawab wali. Sebelum menikah, tanggungan itu di tangan ayah. Setelah menikah, amanah itu dilimpahkan ke suami. Suami bertanggung jawab penuh atas kehidupan sang istri dan juga anak. Makanya Allah beri ia wewenang untuk memberi izin atau tidak apakah sang istri diizinkan berkarir. 

Ada suami yang memberikan kepercayaan pada sang istri bekerja di luar rumah. Ada yang yang mengizinkan bekerja tapi harus di dalam rumah. Ada pula yang tak mengizinkan sama sekali, sebab sang suami tak mau membebani sang istri. Sungguh diizinkan atau tidak, suami pasti memiliki pertimbangan yang matang. Sebab ia bertanggung jawab langsung kepada sang Ilahi. 

Izin suami nantinya akan dipengaruhi dua hal berikut ini. Mari kita lanjutkan membaca. 

2. Kebutuhan anak sudah terpenuhi. Jika anak masih butuh ASI eksklusif, adalah kewajiban ibu untuk memenuhinya. Sayang sungguh sayang jika anak melewatkan masa itu. Sebab susu formula semahal apapun tak akan mampu menandingi formulasi ASI. ASI adalah produk murni buatan Ilahi. Maha Besar Allah dengan segala ciptaannya, termasuk betapa ajaibnya ASI untuk pertumbuhan sang bayi. 

Jika ibu harus meninggalkan rumah, pastikan anak dirawat oleh yang mumpuni. Kalau bisa kerabat yang dekat dengan kita ya. Karena kalau titip ke orang asing tuh serem. Mereka kerja demi uang. Takutnya memperlakukan anak kita setara dengan uang yang ia dapat. Lagian, kita sekolah tinggi-tinggi masa anak kita dirawat orang yang pendidikannya tidak lebih tinggi sih. Think again.

3. Tidak melalaikan tugas utama sebagai istri dan ibu. Ini poin pentingnya. Jangan lupa bahwa tugas utama kita sebagai istri adalah mendampingi suami. Jangan sampai izin yang diberikan suami melalaikan kita. Karir kita melejit, anak-anak kita lari terbirit-birit. Mereka tak kenal masakan ibunya. Mereka lebih lengket ke nenek daripada ke ibunya. Mereka gak belajar banyak dari ibunya. Hey, yang dipanggil "ibu" kan kamu, bukan dia atau dia. 

Menjadi ibu pekerja harus siap mempersempit waktu istirahat. Sebab jatah "me time" kita sudah kita habiskan di luar rumah. Jangan sampai di dalam rumah kita masih sibuk dengan HP dan mengabaikan anak kita. Bu, anak kita itu cepat besarnya. Jangan sampai kita menyesal sebab mereka telah dewasa, tapi kita belum sempat mendidik apa-apa. 

4. Tahu prioritas. Akan ada masanya karir kita berbenturan dengan kebutuhan anak. Jika tidak ditemukan solusi yang solutif untuk perkembangan anak, maka ibu harus siap meninggalkan pekerjaannya menuju pemenuhan hajat anaknya. Sebab bekerja itu mubah, namun merawat anak itu wajib. Ini bisa berlaku sementara waktu sampai anak siap ditinggal lagi. Tanyakan pada hatimu. Jika kau resah, bisa jadi ada sesuatu yang salah. 

Islam tidak pernah mengkerdilkan peran wanita di ranah publik. Wanita melahirkan pasti lebih nyaman dengan dokter kandungan perempuan. Pasien rumah sakit pun, lebih nyaman kalau susternya perempuan. Kita juga senang dengan adanya guru perempuan. Meski judes, tapi itu yang selalu dirindu dibandingkan cueknya guru laki-laki. 

Ibu, komunikasikan dengan anakmu. Bacalah hati mereka melalui matanya: apakah mereka berkenan ditinggal kerja olehmu? Sampaikan kepada mereka betapa penting peranmu di tengah-tengah umat. Insyaallah mereka akan mengerti. 

Pertimbangkan usia mereka. Mereka juga egois ingin punya mama yang selalu ada. Itulah mengapa mereka lebih suka berkata, "mama, jangan kerja." Wallahu a'lam bishowab.*


latestnews

View Full Version