View Full Version
Ahad, 25 Sep 2022

KLA (Kota Ramah Anak), Sekadar Predikat atau Solusi Tuntas?

 

Oleh: Rismayanti Nurjannah, S.S

Bagaikan mengurai benang kusut, kasus kekerasan anak masih jadi masalah yang belum terselesaikan. Sebut saja di DKI Jakarta, kasus kekerasan anak mengalami lonjakan dibandingkan tahun 2021. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) pada tahun 2022, sejak awal bulan Januari hingga pertengah Juni terjadi 539 kasus pelanggaran hak anak.

Dari 539 kasus tersebut, 52% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. Selebihnya merupakan kasus eksploitasi seksual komersial, kekerasan fisik, penelantaran anak. Bak fenomena gunung es, jumlah ini pun belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan. Dalam laporannya, Ketua Umum Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menuturkan banyaknya aduan kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2022 menunjukkan Provinsi DKI Jakarta belum ramah anak di usianya yang kini menginjak 459 tahun. (jakarta.tribunnews.com, 22/06/2022)

Rasanya sangat kontradiktif, pada saat yang bersamaan Pemprov DKI justru menyabet 2 gelar sekaligus sebagai Kota Layak Anak (KLA) dari KemenPPA dan KPAI. Jakarta dipercaya mendapatkan penghargaan PROVILA karena dinilai memiliki komitmen yang tinggi dalam mewujudkan lingkungan yang ramah bagi tumbuh kembang anak, memperhatikan pemenuhan hak dan perlindungan anak. Serta berupaya menjadikan seluruh kabupaten/kota layak anak. (megapolitan.okezone.com, 26/07/2022)

Lantas, apa yang sebenarnya jadi indikator keberhasilan sebuah kota berhak menyandang predikat Kota Layak Anak? Apakah hanya sekadar predikat yang bisa diraih dengan narasi-narasi manis, aturan administratif serta pembangunan tata kota ramah anak semata atau memang benar-benar tuntas menyelesaikan permasalahan kasus kekerasan anak?

Melihat fakta di atas, di satu sisi kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Sementara di sisi lain, justru menyabet penghargaan. Tentu ini harus jadi bahan evaluasian pemerintah. Apa sebenarnya yang hendak diraih dari predikat Kota Layak Anak?

KLA Bukan Solusi yang Solutif

Kekerasan terhadap anak akan terus bermunculan walaupun beragam program digalakkan untuk mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak anak. Pasalnya, KLA tidak menyentuh akar permasalahan sama sekali. Justru seolah kontraproduktif dengan kondisi saat ini dimana kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun terus meningkat dan sasarannya pun makin beragam.

Persoalan kekerasan seksual yang terjadi saat ini hakikatnya merupakan buah dari penerapan sekularisme – liberalism, dimana paradigma berpikir masyarakat diarahkan untuk berpusat pada pemenuhan hawa nafsu semata (kebebasan) dan dijauhkan dari tata nilai agama (sekuler). Dalam tataran lebih luas (red: negara) standar halal-haram bukan lagi jadi pegangan, melainkan legal dan illegal yang jadi acuan walaupun bertabrakan dengan syariat agama.

Sistem sekularisme – sistem yang memisahkan agama dari kehidupan- meniscayakan manusia yang tak peduli syariat dan bertindak berdasarkan hawa nafsu semata. Agama hanya dipahami sebatas ajaran ritual saja tanpa berimplikasi pada kehidupan. Di sisi lain pun, negara tak melakukan kontrolnya sebagai penjaga dan pengurus urusan masyarakat. Konten-konten berbau pornografi melenggang bebas di berbagai tayangan dan di berbagai kanal.

Sebut saja kanal Youtube yang mayoritas masyarakat bisa mengaksesnya, banyak tayangan yang justru bisa menjadi wasilah lahirnya kekerasan seksual pada semua golongan. Mustahil rasanya, jika pemerintah tak tahu dan tidak mampu memblokirnya. Alhasil, alih-alih memadamkan api, justru malah menuangkan bensin. Secara faktual, upaya tersebut tak menyelesaikan masalah. Justru permasalahan makin meningkat karena sistem sekuler – liberal kian menggurita.

Islam, Visi Holistik Tuntas Menangani Masalah

Islam sebagai ajaran paripurna memiliki konsep yang utuh dan menyeluruh dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Termasuk dalam masalah kekerasan seksual pada anak. Sebagai sistem yang holistik, Islam memberikan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh semua level, baik level individu, keluarga, masyarakat dan negara.

Pada level individu, setiap individu dibebankan kewajiban untuk mempelajari Islam sebagai guidance bagi kehidupannya. Pada level keluarga, orang tua dibebankan kewajiban untuk membina ketaatan anggota keluarganya, sehingga terbentuk keluarga yang takut untuk melanggar syariat-Nya. “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan sellau mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Pada level masyarakat, Allah telah menetapkan kewajiban untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Saling menyuasankan ketakwaan dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Karenanya, tak ada individualisme dalam Islam sebagaimana sistem sekuler – liberal saat ini yang sarat dengan nuansa individualis. Fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial berjalan dengan paripurna karena sadar akan kewajibannya sebagai seorang makhluk. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Imran: 104)

Negara sebagai level tertinggi yang punya power memiliki tanggung jawab penuh atas rakyatnya. Baik dalam persolan masyarakat hingga individu per individunya. Tanggung jawab tersebut diserahkan kepada kepala negara yang harus melindungi rakyatnya dari berbagai mara bahaya. Karena ini merupakan kewajiban yang harus dijalankannya sebagai bentuk konsekuensi keterikatannya kepada hukum-hukum syariat. Khalifah pun harus menerapkan sanksi yang tegas terhadap pelaku penyimpangan, sehingga kasus serupa tidak kembali berulang.

Islam juga punya konsep sistem pergaulan yang paripurna, yang akan menjauhkan masyarakat dari pergaulan bebas. Dengan penerapan syariat Islam, kemunculan kasus pergaulan bebas akan segera ditindak dengan penerapan sanksi yang tegas serta kebijakan yang mengikat. Sehingga kebijakan yang diturunkan tidak akan kontraproduktif karena semua subsistem saling terintegrasi dengan akidah dan syariat Islam.

Sudah sangat jelas, bahwa KLA tidak akan menyelesaikan masalah. Karena kebijakannya setengah-setengah dan tidak terintegrasi dengan kebijakan lain. Kebijakan yang paradigmanya tidak lepas dari asas sekularisme, sehingga tidak menyentuh akar persoalan. Oleh karena itu, solusi yang paling solutif yakni menjadikan Islam sebagai asas yang diaktualisasikan dalam institusi negara. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version