View Full Version
Jum'at, 30 Dec 2022

Ibu, ke Manakah Arah Langkahmu Tertuju?

 

Oleh: Tia Damayanti, M.Pd.

 

Tanggal 22 Desember sebagai momen hari Ibu telah berlalu. Tapi tetap, ada banyak yang bisa kita renungi dan introspeksi dalam perayaan hari tersebut. Dalam situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) Republik Indonesia, sejarah diperingatinya Hari Ibu di Indonesia bermula ketika diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama kali pada tanggal 22-25 Desember 1928. Acara ini bertujuan untuk menyatukan perkumpulan perempuan-perempuan Indonesia dalam satu Perhimpunan Perempuan Indonesia. Intinya, hari Ibu adalah sebuah momentum untuk mengenang dan mengobarkan perjuangan para Ibu Indonesia. Berjuang untuk apa? Berjuang untuk meraih kemerdekaan bangsa dan mengisi kemerdekaan tersebut.

Lalu bagaimana dengan momentum peringatan Hari Ibu di tahun 2022 ini? Dilansir dalam situs resmi Kemenppa, bahwa tema utama PHI ke-94 adalah Perempuan Berdaya, Indonesia Maju. Selain tema utama, ditetapkan sub-sub tema untuk mendukung tema utama yang dimaksud. Sub-sub tema tersebut adalah: Sub Tema 1 Kewirausahaan Perempuan: Mempercepat Kesetaraan dan Mempercepat Pemulihan. Sub Tema 2 Perempuan dan Digital Ekonomi. Sub Tema 3 Perempuan dan Kepemimpinan. Dan Sub Tema 4 Perempuan Terlindungi, Perempuan Berdaya.

Dari tema dan sub tema tersebut, nampak bahwa fokus utama peringatan Hari Ibu 2022 adalah pemberdayaan perempuan, termasuk kaum ibu, dalam hal sumber daya ekonomi dan kepemimpinan. Pemberdayaan ekonomi kaum ibu selalu digenjot untuk meningkatkan perekonomian keluarga juga perekonomian negara.

Kantor berita VOA (Voice Of America) seksi Indonesia, dalam rilisnya pada 17 Desember 2022, makin memperjelas pernyataan di atas dengan mengutip pendapat pakar yang menyatakan bahwa perempuan di Indonesia sejatinya adalah tulang punggung ekonomi. Sepintas, pernyataan semacam ini memperlihatkan bahwa perempuan begitu penting untuk mengatasi ekonomi negara saat ini.

Pemberdayakan perempuan secara ekonomi pun menjadi salah satu pembahasan utama dalam ajang G20. Ketua Umum Panitia Nasional Ministerial Conference on Women’s Empowerment (MCWE) G20 tahun 2022, Lenny N. Rosalin, mengatakan, pertemuan G20 mengangkat tema pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi yang merupakan titik awal untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait perempuan dan anak. Lenny mengatakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah memperoleh arahan dari presiden untuk memberdayakan perempuan di bidang ekonomi, khususnya di bidang kewirausahaan. Dia menambahkan bahwa keluarga yang sejahtera akan memberikan pendidikan dan kesehatan yang baik bagi anak-anak serta mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Benarkah langkah memberdayakan perempuan termasuk para ibu secara ekonomi ini akan berdampak baik bagi nasib kaum ibu dan keluarga mereka, bahkan untuk meningkatkan ekonomi negara? Sudahkah terbukti nyata? Jika tidak, lalu apakah yang menjadi masalah utamanya? Lalu bagaimanakah pemberdayaan ibu yang seharusnya?

Ilusi Kesejahteraan Kaum Ibu

Beban berat yang ditanggung perempuan, termasuk ibu saat ini adalah cerminan fakta yang ke sekian kalinya, bahwa berbagai program pemberdayaan perempuan dalam ekonomi telah gagal mewujudkan janji kesejahteraan perempuan. Kondisi ini juga menjadi cerminan fakta peradaban sekuler kapitalistik yang memberi ruang hidup yang buruk bagi perempuan. Kondisi ini tentu tidak lepas dari hilangnya peran negara. Negara berlepas diri dalam menjaga kehormatan perempuan, kemuliaan dan jaminan kesejahteraannya.

Perempuan dalam peradaban sekuler juga akhirnya tidak paham hak-haknya sehingga tuntutannya sering salah arah. Feminisme dan kesetaraan gender telah menipu banyak perempuan sehingga kehilangan peran keibuan, juga membuat bangsa-bangsa kehilangan generasi masa depan yang tangguh. Janji-janji digembar-gemborkan oleh kebijakan kesetaraan gender. Lalu perempuan mengorbankan peran keibuan dan waktu berharga bersama anak-anak mereka dengan keyakinan bahwa ini akan meningkatkan status mereka. Semua ini tidak akan terealisasi meski hanya di aspek ekonomi. Sebagian besar gaji dari seorang ibu yang bekerja saat ini sering kali habis oleh biaya perawatan anak yang sangat tinggi.

Dorongan negara-negara untuk memberdayakan kaum ibu  dalam ekonomi tidaklah tulus dalam rangka meningkatkan kualitas hidup para ibu dan keluarga mereka. Tujuan utama sebenarnya adalah mengamankan keuntungan ekonomi bagi negara. Agenda ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat kerja kaum perempuan demi kepentingan keuangan. Hal ini bisa kita perhatikan dari kalimat Hilary Clinton dalam sebuah konferensi di Peru. Dia mengatakan, “Pembatasan partisipasi ekonomi perempuan membuat kita kehilangan banyak sekali pertumbuhan ekonomi dan pendapatan di setiap wilayah di dunia. Di Asia Pasifik, lebih dari $40 miliar dari PDB yang hilang tiap tahun.”

Faktanya, sistem kapitalis mengeksploitasi ide feminisme dan kesetaraan, mempromosikan narasi pemberdayaan perempuan dalam ekonomi. Semua ini demi keuntungan finansial belaka. Upaya ini pada akhirnya  membuat  perempuan kehilangan peran keibuan dan merampok hak-hak anak mereka.

Sistem Islam Menyejahterakan Ibu 

Pemberdayaan ekonomi kaum ibu sejatinya adalah eksploitasi, karena pemberdayaan ibu seharusnya dikembalikan kepada peran utama ibu sebagai pendidik generasi calon pemimpin masa depan. Ibu hebat adalah ibu yang mampu menghasilkan generasi-generai Tangguh, seperti halnya ibu dari Muhammad al-Fatih, ibu dari imam Syafi’i dan masih banyak lagi ibu-ibu pencetak generasi peradaban Islam yang gemilang.

Sejarah sudah membuktikan bahwa semasa Islam berjaya selama hampir 14 abad, kaum ibu hidup dengan penuh  ketenangan dalam mendidik anak-anaknya. Perannya sebagai Ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) benar-benar sempurna dengan terbuktinya ia menjadikan anaknya cinta terhadap agamanya, cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya, sehingga tujuan hidup anak tersebut hanyalah ingin mendapatkan Rida-Nya semata.

Kesabarannya mampu mendidik sang buah hati menjadi pejuang-pejuang agama Allah yang tangguh, tidak ada keraguan dalam berjuang melawan yang batil dan mempertahankan yang haq.

Seorang ibu yang hidup dalam naungan Islam tidak akan disibukkan dengan bekerja mencari nafkah. Karena dalam Islam, bekerja bagi seorang ibu betul-betul hanya sekadar pilihan, bukan tuntutan ekonomi ataupun sosial. Jika dia menghendaki, dia boleh melakukannya. Jika dia tidak menghendaki, dia boleh memilih untuk tidak melakukannya. Bandingkan dengan kondisi sekarang: kaum ibu banyak dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah dan tidak layak karena tidak punya alternatif pilihan yang lain. Dalam Islam, pilihan ini bisa diambil mereka (baca: ibu) secara leluasa. Ini karena Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah ada pada suami/ayah, kerabat laki-laki jika tidak ada suami/ayah atau mereka ada tapi tidak mampu, serta jaminan secara langsung bagi perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya seperti para janda miskin. 

Strategi utama dari sistem Islam dalam menciptakan kesejahteraan rakyat, termasuk para ibu di dalamnya, yaitu menjalankan roda pembangunan ekonomi yang tidak pernah berujung krisis. Berbeda jauh dengan sistem sekuler yang toxic. Terjadi krisis yang berulang dan siklik, menjadi problem laten tak terpecahkan. Harta hanya berputar di segelintir kecil orang kaya. Banyak penduduk bumi mengalami kelaparan sangat parah dan tidak memiliki akses terhadap aset-aset di muka bumi.

Berbagai mekanisme akan dijalankan sistem Islam untuk mengatasi situasi krisis global dengan menyelesaikan problem dari muaranya. Bukan hanya memberi ‘solusi’ sekadar bertahan hidup dengan berbagai pengorbanan ibu dan anak-anaknya.

Pertama, Khalifah (pemimpin dalam Islam) akan mengakhiri semua pembayaran utang berbasis bunga (riba) dari semua pinjaman, karena negara bersifat mandiri tidak bergantung pada bantuan asing mapapun.

Kedua, Khalifah akan menghapus perekonomian rakyat berbasis riba.

Ketiga: khalifah akan melarang semua bentuk penimbunan kekayaan, memastikan bahwa kekayaan beredar di tengah masyarakat dan memberikan insentif pada pembelanjaan dan investasi dalam bisnis.

Keempat: Khalifah akan menstabilkan pasokan uang dan harga dengan memastikan, bahwa mata uang kertas sepenuhnya didukung oleh emas atau perak, mencegah inflasi yang dihasilkan dari manipulasi oleh pemerintah atau spekulan uang kertas yang tidak didukung oleh aset.

Kelima, Khalifah akan menghilangkan segala bentuk pajak. Khalifah akan menerapkan skema pungutan berdasar ketentuan dari syariah Islam.

Keenam, Khalifah akan mengelola semua sumber daya milik umum dan menggunakannya untuk kepentingan umum, sehingga semua merasakan manfaat dari aset-aset penting.

Ketujuh, Khalifah akan meninjau kembali lahan-lahan pertanian, sehingga para pemilik lahan yang mengabaikan tanahnya akan diberi peringatan untuk segera mengolahnya. Jika dalam jangka waktu tiga tahun pemilik tanah masih menelantarkan lahannya, maka Khalifah akan melakukan penyitaan dan diberikan kepada mereka yang bersedia dan mampu mengelolanya. Semua ini akan meningkatkan hasil pertanian dan meningkatkan kepemilikan tanah yang bisa menjadi jalan pengentasan warga dari kemiskinan.

Dengan mekanisne ini, negara bisa mengatasi krisis global dan ibu sebagai pendidik generasi fokus dalam mengemban tugasnya dan tidak dibebani dengan kewajiban mencari nafkah. Wallahu’alam bishsowwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version