View Full Version
Ahad, 05 Feb 2023

Pelaku Pemerkosaan Anak, Bukti Sistem Sekuler Merusak

 

Oleh: Sunarti

 

Mengerikan. Ini sungguh fenomena yang mengerikan. Mungkin bisa dikatakan mengenaskan dan sungguh-sungguh mengenaskan. Bagaimana tidak miris jika tersebar kabar yang tidak enak didengar di telinga. Yaitu kabar kasus perkosaan bocah Taman Kanak-kanak (TK) di Mojokerto yang diduga telah menjadi korban perkosaan tiga anak Sekolah Dasar (SD).

Dalam Liputan6.com, dikabarkan jika korban perkosaan tersebut mendapatkan perlakuan tak senonoh secara bergiliran dan dugaan kasus ini sudah ditangani aparat kepolisian setempat. Kepala Satuan Reserse Polres Mojokerto Ajun Komisaris Polisi Gondang Prenggodhani membenarkan bahwa pihaknya menerima laporan kasus tersebut.

Dalam laman lain, www.kemepppa.go.id juga mengabarkan hal yang sama. Dalam laman tersebut dituliskan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyesalkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh siswi taman kanak-kanak (TK) berusia 5 tahun di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur yang para pelakunya masih berusia anak. KemenPPPA melalui tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Timur dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Mojokerto. KemenPPPA berkomitmen akan mengawal dan memperhatikan pemenuhan hak-hak korban.

Munculnya Perilaku Sek Bebas pada Anak-anak

Bermunculan berbagai macam kasus yang menimpa anak-anak bisa disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, pola asuh orang tua yang tidak mendasari anak dengan akidah Islam yang kuat. Kedua, serangan pemikiran yang berasal dari gadget. Ketiga, filter yang lemah dari negara terhadap konten-konten yang ada di dunia maya. Keempat, sistem pendidikan yang tidak memberikan pendidikan yang paripurna bagi output pendidikan yang taat kepada Sang Pencipta, tangguh serta generasi penerus yang berpikiran cemerlang. Kelima, sistem hukum yang lemah yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku zina.

Pola asuh orang tua yang tidak bisa membekali anak-anak dengan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan adalah salah satu dari sekian banyak munculnya problematika pada anak. Fenomena saat ini menunjukkan orang tua lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan hajat dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan ruhani bagi anak-anaknya. Orang tua seolah mencukupkan pendidikan pada pihak sekolah.

Sebagaimana dikutip dari Bestmom.id, menurut survei yang dilakukan oleh Institute for Social and Economic Research membuktikan jika kedua orangtua yang sibuk bekerja dapat memberikan dampak buruk yang membuat anak seakan-akan hidup sendiri.

Tak hanya itu, penelitian tersebut juga memaparkan data bahwa anak dari ibu yang sibuk berkerja mengalami penurunan kemampuan dalam mengikuti ujian sekolah sebesar 20%. Bahkan lebih parahnya lagi, anak usia 5-10 tahun yang ibunya sangat sibuk bekerja mengalami stres mental sehingga menimbulkan reputasi buruk di sekolah bila dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya di rumah untuk membantu mereka belajar.

Hasil penelitian yang sama juga menyebutkan anak-anak dari orangtua yang lebih terlibat dalam pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler cenderung lebih cerdas dan aktif.

Mencari Akar Masalah

Semua poin di atas menjadikan orang tua tidak lagi merasa butuh untuk membekali anak-anaknya dengan akidah Islam yang kuat. Karena dorongan perekonomian yang menjadi alasan utama. Benarlah demikian dikarenakan sistem sekular-kapitalis membawa penghuninya sebatas memenuhi kebutuhan hajat. Sedang kebutuhan iman, dirasa cukup hanya dengan hafalan Al Qur'an, melakukan aktivitas ibadah shalat, puasa zakat serta hal-hal sunah yang lain seperti infak dan sedekah. Untuk urusan pergaulan dan muamalah yang lain tidaklah dirasa penting sebagai bekal anak-anak mereka.

Faktor kedua adalah serangan pemikiran dari gadget. Semenjak pandemi penduduk negeri ini seolah telah dibawa hidup dalam dunia online. Banyak hal dilakukan via online. Tak luput juga anak-anak SD yang berada di posisi yang sama, yaitu dunia maya. Sementara orang tua atau orang-orang di sekitarnya tidak bisa mengawasi anak-anaknya selama dua puluh empat jam. Konten-konten dan situs-situs pornografi bisa saja masuk dengan cepat ke layar HP yang dipegang oleh anak-anak. Dampak buruk yang tidak disadari oleh banyak pihak.

Ketiga tidak adanya filter yang kuat untuk menangkal berbagai macam jenis tontonan yang masuk melalui jaringan internet yang muncul di layar HP anak-anak selama mereka sekolah daring. Yang mana konten atau situs-situs porno bisa membuat otak ketagihan untuk terus melihat dan terus melihat. Alhasil ketika saat ini pembelajaran via daring sudah usai pun, anak-anak seusia SD masih asyik di depan gadgetnya, bahkan telah teracuni untuk melakukan aktivitas seks dengan orang di sekitarnya. Padahal usia mereka masih cukup belia.Dari sini jelas beredarnya tontonan yang tidak mendidik kepada anak-anak yang mendorong anak-anak untuk melakukan hal yang sama.

Keempat adalah tidak ada sistem pendidikan yang mendidik anak-anak menjadi anak-anak yang unggul. Dalam sistem pendidikan saat ini tidak bisa memberikan pendidikan yang paripurna bagi output pendidikan yang taat kepada Sang Pencipta, mencetak generasi tangguh serta generasi penerus yang berpikiran cemerlang. Yang ada adalah generasi yang lemah dan minim adab. Tersebab kurikulum yang berbasis liberal yang mengakibatkan seringnya gonta-ganti kurikulum sesuai kepentingan.

Kelima yaitu sistem hukum yang diterapkan tidak memberikan efek jera. Meskipun anak-anak, alaminya mereka memiliki sifat meniru orang dewasa, entah dari gadget atau dari orang di sekitarnya. Sementara orang dewasa yang melakukan aktivitas seksual yang secara bebas di sosmed maupun di depan anak-anak, sungguh ini akan dengan mudah dicontoh oleh anak-anak.  Mereka melihat dari tontonan di layar HP maupun secara langsung di depan mata mereka. Karena nalar mereka yang belum bisa berpikir sempurna, ditambah dengan pembekalan akidah yang minim hingga tidak ada, maka terjadilah aktivitas yang sebenarnya masih jauh dari mereka. Orang-orang yang melakukan aktivitas sek bebas di negeri ini dibiarkan saja tanpa ada hukum yang memberi efek jera. Dan tidak ada tindakan tegas pula saat mereka mengumbar aktivitas tersebut di muka umum maupun di sosmed yang menjadi konsumsi anak-anak.

Seharusnya negeri ini bisa memberikan hukuman yang memberikan efek jera agar orang dewasa yang melakukan aktivitas yang vulgar tidak dijadikan tontonan di tempat umum layaknya saat ini di sosial media. Mereka harus diberi hukuman yang membuat mereka jera. Apalagi dilakukan bukan dengan pasangan halalnya.

Jika ini semua terkendali maka diharapkan anak-anak yang seharusnya mereka fokus pada kewajiban menuntut ilmu, membekali diri dengan akidah Islam yang kuat, maka kasus-kasus tak selayaknya tidak akan terjadi. Karena dari semua sisi keamanan fisik dan psikis mereka terjaga.

Ini semua juga menjadi bukti bahwa sistem yang tidak diterapkan secara keseluruhan hanya akan membawa kerusakan. Tidak hanya pada para orang tua, akan tetapi juga pada remaja bahkan anak-anak. Sistem saat ini memang tidak meninggalkan Tuhan secara keseluruhan, akan tetapi aturan-aturan baku dari Tuhan justru disingkirkan dari kehidupan sehari-hari. Sementara aturan Tuhan berupa agama (baca Islam) hanya sebatas dipakai pada ranah ibadah saja. Semua membuktikan jika sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, yaitu sistem sekuler adalah sistem rusak dan merusak. Waallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version