View Full Version
Rabu, 08 Mar 2023

Pembulian di Kalangan Anak-Anak yang Mengancam Nyawa

 

Oleh: Ameena N

Berita sedih baru-baru ini, seorang anak SD yang nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di rumahnya. Polisi menyebut motif bunuh diri korban adalah mengalami depresi karena perundungan atau bully. Korban sering tampak murung setiap pulang sekolah. Korban pun mengaku kerap dirundung karena ayahnya sudah meninggal. Korban sering diolok-olok temannya anak yatim dan tidak punya bapak. Dan ibunya pun mengaku bahwa anaknya ini tidak memiliki teman lantaran anaknya adalah anak yatim.

Pertanyaannya, Kok bisa anak tumbuh menjadi seorang pembuli sedangkan mereka masih sangat kecil, masih kelas 4 SD. Jangan berpikir karena mereka masih kecil, mereka tidak salah, loh ya. Walau memang yang paling bertanggung jawab adalah orang-orang dewasa khususnya orangtua dan guru mereka. Karena anak-anak yang melakukan kejahatan semacam ini sejatinya merupakan korban. Korban dari siapa? Korban dari orangtua dan orang-orang dewasa yang ada di sekitar anak tersebut.

Ini bukan kasus bullying pertama yang berakibat fatal. Banyak kasus semacam ini di sekolah-sekolah lain. Pihak sekolah, bagaimana hal semacam ini bisa lolos dari pengawasan? Dan fakta lapangan menyatakan bahwa ketika para orangtua korban melapor ke pihak sekolah, pihak sekolah hanya menanggapinya sebagai candaan biasa di kalangan anak-anak. Tidak ditindaki, malah dimaklumi. Bahkan tak jarang para guru malah menyalahkan korban dengan alasan bahwa mereka yang tak pandai bergaul, baperan, dan sebagainya. Karena ketidakpekaan semacam inilah yang menimbulkan kasus di atas.

Jangan biasakan berkata, “Halah, namanya jiga anak-anak. Biasalah.” Justru karena masih anak-anak, sedini mungkin mereka harus diberi paham mana yang baik dan mana yang buruk. Agar pemahaman tersebut bisa mereka terapkan sampai mereka besar.

Begitupun, pembulian dengan dalam verbal, fisik, maupun virtual sekalipun, seharusnya tidak boleh ditoleransi. Karena pembulian dalam bentuk apapun dapat menyerang kesehatan mental seseorang. Sebagaimana seperti yang dialami anak yang bunuh diri ini. Memang bentuk buliannya secara verbal, tidak menyakitinya secara fisik, namun secara psikis. Bahkan jika yang terkena serangam itu mental, akibatnya bisa lebih fatal. Tindakan bunuh diri merupakan salah satu dampak fatalnya.

Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.” (QS. Hujurat: 11)

Siapakah yang paling bertanggungjawab?

Guru pertama bagi seorang anak tentu saja orangtuanya, dan lingkungan rumahnya. Apa yang ia dengar, dan ia lihat merupakan contoh baginya untuk berkembang dan tumbuh. Jika lingkungannya baik, maka ia aka tumbuh menjadi baik. Dan apabila lingkungannya buruk, maka itupun akan mempengaruhinya tumbuh kembangnya. Apa yang orangtua berikan kepada anaknya untuk tumbuh? Apakah pendidikan yang baik, atau hanya dibiarkan saja, diberi gadget tanpa pengajaran khusus, tanpa pemahaman mana yang boleh dilihat mana yang tidak boleh? Banyak, loh, orangtua yang memberi anak gadget tanpa pengawasan sehingga anak ini bebas menonton apa saja. Bahkan banyak anak yang melakukan kekerasan fisik ke anak yang lain akibat dari menonton tontonan yang banyak mengandung adegan kekerasan di dalamnya. Dan yang paling penting dari itu semua adalah, bagaimana membangun akhlak yang baik pada diri anak ini. Contoh kasus di atas merupakan contoh bahwa anak ini kurang pemahaman adab dan akhlak dari orang dewasa. Itulah sebabnya dia sama sekali tidak sadar bahwa yang ia lakukan bukanlah hal yang baik.

Selanjutnya adalah pengawasan di sekolah. Sekolah sudah seharusnya mengawasi perilaku anak muridnya. Tidak hanya berperan mengajar, tapi juga mendidik, membimbing, dan melindungi. Bukannya malah bertindak acuh tak acuh seperti bukan urusan pihak sekolah. Padahal tentu saja kerjasama antara guru dan orangtualah yang paling penting dalam masa pertumbuhan seorang anak.

Jika bukan kedua pihak ini yang bertanggungjawab, pada siapa lagi mereka (anak-anak itu) akan bergantung?

Tidak ada yang salah karena menjadi yatim

Padahal anak yatim itu adalah anak yang dimuliakan oleh Rasulullah. Begitu mulianya anak yatim hingga Allah menjanjikan balasan yang istimewa, sebagaimana yang tertuang di dalam hadits berikut ini:

“Aku dan orang-orang yang mengasuh atau memelihara anak yatim akan berada di surga begini,” lalu beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah serta merenggangkannya sedikit.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad dari Sahl bin Sa’d).

Itulah mengapa, sebagaimana yang sudah tertulis di atas, pemahaman agama merupakan hal yang paling penting untuk diberikan kepada anak. Karena nilai-nilai islam merupakan nilai-nilai terbaik untuk menumbuhkan anak-anak yang baik serta berkualitas. Semoga kejadian ini tidak lagi terjadi, tidak ada lagi anak yang menjadi korban akibat dari kelalaian orang dewasa. Aamiin Yaa Rabbal ‘aalamiin. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version