View Full Version
Senin, 28 Oct 2024

Menyikapi Penyakit A’in Perspektif Qadha

 

Oleh: Desti Ritdamaya

Ada yang percaya dan tidak terkait penyakit a’in. Bagi yang percaya mengaitkannya dengan dalil berupa hadits Rasulullah SAW.  Bagi yang tidak percaya, beralasan penyakit ini tak terdeteksi oleh medis dan tak ilmiah. Bagaimana menyikapinya? Hadits yang menjelaskan tentang penyakit a’in termasuk hadits ahad yang bernilai shahih dan hasan. Bagi seorang muslim, untuk hal selain akidah hadits ahad dapat dijadikan sebagai panduan dalam beramal.

Rasulullah SAW bersabda :

العَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ القَدَرَ لَسَبَقَتْهُ العَيْنُ

Artinya : Penyakit ‘ain (mata hasad) ini benar, dan kalau saja ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, maka ‘ain inilah yang akan mendahuluinya (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits mulia di atas sumber penyakit ‘ain dari pandangan hasad. Maksudnya pandangan yang tidak suka pada kenikmatan orang lain dan menginginkan kenikmatan tersebut hilang disertai dengan keburukan jiwa. Penyakit a’in dari jenis ini hanya menimpa orang lain bukan diri yang hasad.

Dalam hadits dari Abu Umamah bin Sahl, ia berkata:

اغتسل أَبِي سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ بِالْخَرَّارِ، فَنَزَعَ جُبَّةً كَانَتْ عَلَيْهِ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ يَنْظُرُ، قَالَ: وَكَانَ سَهْلٌ رَجُلاً أَبْيَضَ، حَسَنَ الْجِلْدِ، قَالَ: فَقَالَ عَامِرُ بْنُ رَبيعَةَ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ وَلا جِلْدَ عَذْرَاءَ، فَوُعِكَ سَهْلٌ مَكَانَهُ، فَاشْتَدَّ وَعْكُهُ، فَأُتِي رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم فَأُخْبِرَ أَنَّ سَهْلاً وُعِكَ وَأَنَّهُ غَيرُ رَائِحٍ مَعَكَ يَا رسول الله، فَاَتَاهُ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ سَهْل بالَّذِي كَانَ مِنْ شَأنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم -: عَلاَمَ يَقْتُلُ أًحَدُكمْ أَخَاهُ؟ أَلا بَرَّكْتَ؟، إِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ، تَوَضَّأْ لَهُ. فَتَوَضَأَ لَهُ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ، فَرَاحَ سَهْل مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

Artinya : Suatu saat ayahku, Sahl bin Hunaif, mandi di Al Kharrar. Ia membuka jubah yang ia pakai, dan ‘Amir bin Rabi’ah ketika itu melihatnya. Dan Sahl adalah seorang yang putih kulitnya serta indah. Maka ‘Amir bin Rabi’ah pun berkata: “Aku tidak pernah melihat kulit indah seperti yang kulihat pada hari ini, bahkan mengalahkan kulit wanita gadis”. Maka Sahl pun sakit seketika di tempat itu dan sakitnya semakin bertambah parah. Hal ini pun dikabarkan kepada Nabi SAW, “Sahl sedang sakit dan ia tidak bisa berangkat bersamamu, wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW pun menjenguk Sahl, lalu Sahl bercerita kepada Rasulullah tentang apa yang dilakukan ‘Amir bin Rabi’ah. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Mengapa seseorang menyakiti saudaranya? Mengapa engkau tidak mendoakan keberkahan? Sesungguhnya penyakit ‘ain itu benar adanya, maka berwudhulah untuknya!”. ‘Amir bin Rabi’ah lalu berwudhu untuk disiramkan air bekas wudhunya ke Sahl. Maka Sahl pun sembuh dan berangkat bersama Rasulullah SAW   (HR. Malik).

Berdasarkan hadits mulia di atas, penyakit a’in juga bersumber dari pandangan penuh kagum atas kenikmatan tanpa mengingat Allah. Maksudnya mengagumi makhluk secara berlebihan tanpa menyandarkan kenikmatan tersebut adalah karunia dari Allah. Pandangan kagum ini bisa ditujukan pada diri sendiri maupun orang lain. Sehingga penyakit a’in dari jenis ini bisa menimpa diri sendiri maupun orang lain.  

Merujuk kasus pada zaman Rasulullah SAW dan banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat, nampak penyakit ini berbahaya. Karena kemunculannya tak disadari dan sering tiba-tiba. Medis tak mampu mengungkap penyebab penyakitnya. Tapi berdampak sangat buruk pada korban bahkan menyebabkan pada kematian.

 

Penyakit A’in Qadha Allah?

Yang harus dipahami, realitas perbuatan manusia terkategori dua yaitu musayyar/mujbar dan mukhayyar. Musayyar maksudnya perbuatan manusia yang dipaksa terjadi tanpa ada pilihannya. Misalnya manusia lahir di dunia kapan, berjenis kelamin apa, bentuk fisik bagaimana; manusia meninggalkan dunia kapan dan dimana; manusia tak bisa berjalan di atas air atau terbang di udara tanpa alat bantu; manusia tertimpa bencana alam atau kecelakaan mendadak di luar kuasanya dan sebagainya. Mukhayyar maksudnya perbuatan manusia yang terjadi atas pilihannya sendiri. Misalnya manusia memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya sesuai dengan aturan (syari’at) yang dipilihnya.

Musayyar terjadi dalam area yang menguasai manusia dan Allah yang menetapkannya. Hal inilah disebut qadha. Di akhirat, dalam musayyar manusia tak diminta pertanggung jawaban oleh Allah. Sebaliknya dalam mukhayyar, manusia diminta pertanggung jawaban oleh Allah. Karena Allah telah menganugrahkan akal yang dapat membedakan khair (kebaikan) dan syarr (keburukan) berstandar syari’at Allah.

Terkait penyakit a’in qadha atau bukan harus diperhatikan dulu. Jika seseorang memiliki kenikmatan duniawi berupa buah hati, harta, kecantikan/ketampanan, jabatan dan sebagainya. Dirinya menyadari semuanya karunia Allah semata. Seraya syukur nikmat baik lisan dan perbuatan. Kenikmatan tersebut tak di-flexing kecuali dengan niat dakwah agar orang lain mengingat kebesaran Allah. Pun seseorang tersebut senantiasa berdzikir dan berdo’a pada Allah agar terhindar dari penyakit a’in. Jika tetap ada yang mata hasad dan penyakit a’in mengenai seseorang tersebut berarti sudah menjadi qadha Allah. Karena penyakit a’in tersebut di luar kuasanya. Yang mata hasad tersebut berdosa karena menyakiti dan menzalimi saudaranya. Sesuai firman Allah SWT :

وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Artinya: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (QS. al Ahzab ayat 58).

Tapi seseorang yang tak menyandarkan kenikmatan duniawi dari Allah, atau kenikmatan tersebut sengaja di-flexing untuk mendapatkan perhatian dan pujian orang lain, atau dzikir dan do’a menghindari penyakit a’in kosong dari dirinya. Jika penyakit a’in menimpa dirinya, bukan terkategori qadha Allah. Karena di dalam hal tersebut ada peran kemaksiatan dirinya. Harus ada  intropeksi diri dan tobat terkait hal tersebut.  Allah SWT berfirman :

 قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Artinya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Az Zumar ayat 53). Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version