View Full Version
Rabu, 08 Oct 2025

Menyambut Israel di Kejuaraan Dunia Senam Artistik Mengkhianati Sikap Indonesia terhadap Pelestina

Oleh: Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat


Indonesia selama ini mengklaim dirinya memiliki posisi moral yang tinggi dalam perjuangan rakyat Palestina. Dalam Sidang Umum PBB baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali komitmen Jakarta terhadap solusi dua negara, mengutuk krisis kemanusiaan di Gaza, dan menegaskan bahwa kemerdekaan Palestina tak terpisahkan dari keadilan.

Namun, hanya beberapa minggu setelah itu, Indonesia bersiap menggelar karpet merah bagi tim nasional senam Israel. Federasi Senam Israel telah mengonfirmasi bahwa para atletnya secara resmi terdaftar untuk berkompetisi dalam Kejuaraan Senam Artistik Dunia di Jakarta pada 19 Oktober. Para pejabat Indonesia, dalam langkah yang sangat berbeda dari kebiasaan selama puluhan tahun, menyatakan bahwa delegasi Israel akan disambut tanpa syarat apa pun.

Waktunya terasa begitu kontras. Saat gambar-gambar kehancuran, pengungsian massal, dan kematian warga sipil dari Gaza terus mengguncang dunia, Indonesia mengambil langkah yang justru merusak prinsipnya sendiri. Menjadi tuan rumah bagi Israel bukan sekadar urusan olahraga; ini adalah tindakan politik, tindakan yang berisiko menormalkan negara yang bertanggung jawab atas apa yang oleh banyak pakar hak asasi manusia, termasuk pejabat PBB, digambarkan sebagai kampanye pembersihan etnis—bahkan genosida.

Selama beberapa dekade, Indonesia telah menarik garis yang jelas. Sejak Asian Games 1962, ketika Israel dan Taiwan dikeluarkan dari Jakarta, pemerintah-pemerintah berikutnya secara konsisten menolak menjamu delegasi Israel. Bahkan ketika globalisasi membawa atlet Israel ke berbagai kompetisi di Asia, Indonesia tetap teguh, memaksa Israel untuk mengalihkan hubungan olahraganya ke Eropa. Sikap itu bukan soal keangkuhan atau isolasionisme, tetapi cerminan keyakinan Indonesia bahwa tidak ada ajang olahraga yang boleh melegitimasi negara apartheid.

Pada 2023, Indonesia kehilangan hak menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA setelah menolak keikutsertaan Israel. Gubernur Bali secara terbuka menolak kehadiran Israel, yang kemudian memicu intervensi FIFA. Di tahun yang sama, Indonesia juga melepaskan hak menjadi tuan rumah World Beach Games** daripada mengizinkan atlet Israel masuk. Meski mahal, keputusan-keputusan itu menunjukkan kejelasan moral: membela hak-hak Palestina lebih penting daripada gengsi menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional.

Mengapa kini kejelasan itu ditinggalkan?

Alasan pemerintah terdengar samar, dibungkus dengan pernyataan umum tentang perlunya “memisahkan olahraga dari politik.”** Pejabat menekankan skala kejuaraan senam kali ini—86 negara, terbesar dalam sejarah—dan pentingnya menunjukkan kemampuan Indonesia sebagai tuan rumah global. Namun olahraga tidak pernah benar-benar terpisah dari politik, terutama di sini. Mengizinkan tim Israel masuk ke Jakarta sementara puing-puing Gaza masih berasap mengirim pesan yang tak bisa disalahartikan: bahwa Indonesia bersedia mengorbankan prinsip luar negerinya yang paling dijunjung tinggi demi kenyamanan dan pengakuan internasional.

Kata-kata Prabowo di PBB kini terdengar penuh kontradiksi. Ia berbicara lantang tentang hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, tentang kewajiban komunitas internasional menghadapi pendudukan dan kekejaman. Namun di dalam negeri, pemerintahnya justru memberi lampu hijau kepada delegasi Israel.
Rakyat Indonesia kini bertanya: Mana kebijakan yang sesungguhnya? Yang disuarakan di aula marmer New York, atau yang dipraktikkan di lantai senam Jakarta?

Ketidakkonsistenan ini bukan sekadar memalukan—ia mengancam kredibilitas Indonesia sebagai pemimpin di dunia Muslim dan negara-negara Selatan Global. Selama puluhan tahun, Jakarta menempatkan diri sebagai suara nurani, menolak hubungan dengan Israel, menggalang solidaritas internasional, dan memosisikan diri sebagai jembatan antarbangsa. Dengan mengizinkan Israel berkompetisi tanpa tantangan, Indonesia melemahkan posisi moralnya di saat dunia paling membutuhkan ketegasan itu.

Tentu saja ada konsekuensi dari sikap tegas: kehilangan hak menjadi tuan rumah memang menyakitkan. Federasi internasional sering menghukum tindakan pembangkangan, dan atlet muda kerap menjadi korban atas batalnya kesempatan berkompetisi. Tapi solidaritas memang tidak pernah mudah. Rezim apartheid Afrika Selatan dulu tidak tumbang hanya karena diplomasi yang sopan; ia diisolasi dari dunia olahraga— dilarang ikut Olimpiade dan ajang lainnya. Isolasi itu memiliki makna simbolis, menegaskan bahwa supremasi rasial tidak punya tempat di masyarakat global.
Lalu mengapa Israel—yang kebijakannya di Gaza dan Tepi Barat mencerminkan, bahkan melebihi kekejaman apartheid Afrika Selatan—harus dikecualikan?

Indonesia kini dihadapkan pada pilihan:
Apakah akan berpegang pada fiksi nyaman bahwa olahraga dan politik adalah dua dunia yang terpisah, atau menegaskan kembali integritas prinsipnya sendiri.
Mengizinkan Israel bertanding di Jakarta sementara Gaza berdarah adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang selama ini diklaim Indonesia bela.

Prabowo mengatakan di PBB bahwa kemerdekaan Palestina tak terpisahkan dari keadilan.
Jika kata-kata itu benar-benar bermakna, maka Indonesia harus meninjau ulang keputusannya.

Dunia tidak akan menilai Jakarta dari seberapa suksesnya menjadi tuan rumah kejuaraan,
melainkan dari apakah Indonesia memilih untuk tetap teguh—atau justru goyah—di hadapan genosida. (MeMo/Ab)

*Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat adalah Direktur Indonesia-MENA Desk di Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta dan Peneliti Afiliasi di Middle East Institute, National University of Singapore. Ia menghabiskan lebih dari satu dekade untuk tinggal dan melakukan perjalanan di berbagai negara Timur Tengah, serta meraih gelar Sarjana (B.A.) Hubungan Internasional dari Qatar University. Setelah itu, ia menyelesaikan gelar Magister (M.A.) dalam bidang Politik Internasional dan Doktor (Ph.D.) dalam bidang Politik di University of Manchester.


latestnews

View Full Version