View Full Version
Rabu, 03 Dec 2014

Antara Sastra Islami & Sastra Dengan Simbol Islam

By Husni Mubarok

Sobat muda voa-islam.com,…

Terkadang orang salah kaprah memaknai sastra atau fiksi Islam. Mereka beranggapan bahwa sastra Islam tak akan pernah jauh dari simbol-simbol yang bernuansa Islam. Sastra Islam tak akan jauh dengan jilbab, masjid, pesantren, al-Qur’an dan simbol-simbol religius lainnya. Padahal sastra Islam tak pernah memposisikan eksistensiya sesempit itu. Justru ada sastra yang tak terlalu bombastis dengan simbol-simbol Islam sarat dengan nilai-nilai islam yang begitu mencerahkan.

Begitu juga sebaliknya, tak sedikit sastra yang mengedepankan simbol-simbol keislaman, tapi justru jauh dari nilai Islam itu sendiri. Islam tak lebih dari sebatas simbol tok, sebatas formalitas untuk bisa dianggap sastra Islami padahal kenyataanya jauh panggang dari api.

Apa Sih Sastra Islam Itu?

Sastra Islam adalah suatu karya seni dalam bentuk prosa yang mengedepankan nilai-nilai Islam dan bersifat universal. Mampu memberi kesadaran akan kebenaran ilahiah dan membawa pesan-pesan dan kesadaran moral. Sastra Islam akan memposisikan perannya sebagai pembawa pesan akan cinta yang hakiki.

Adapun sastra dengan simbol islam adalah karya prosa yang hanya terbatas pada pendeskripsian kultur Islam, mencatut istilah-sitilah Islam, dan bersetting Islam. Kadang kandungan nilai-nilai akan keluhuran ilahiah dinomorduakan atau bahkan diabaikan sama sekali.

Jujur, saya sering membaca novel-novel semacam ini. Di dalamnya begitu kental dengan kultur pesantren, para tokohnya memakai atribut Islam semacam jilbab dan kopiah. apakah hanya sebatas hal itu kita sebut sastra Islam? Tidak. Sama sekali tidak. Karena saya menemukan pesan-pesan dan ideologi yang kontradiktif di dalamnya. Tidak mencerminkan kultur keislaman yang terkandung di dalamnya. Contohnya sang tokoh yang berjilbab itu diposisikan pengarang sebagai seorang yang terkena virus pink. Tapi di sinilah terlihat kedangkalan pemahaman sang pengarang. Seakan-akan itu hal yang tak mempunyai cela untuk dideskripsikan. Adegan yang tak mengindahkan ghodul basyar (menundukkan pandangan,-terj), khayalan-khayalan yang terkesan lebay,surat-surat dan sms cinta yang bikin deg-degan dan sebagainya. Intinya hubungan haram antara dua jenis anak muda yang tak jauh beda dengan novel-novel picisan-picisan yang kita kenal. Bedanya hanya dalam pemakian atribut Islam para tokohnya. Nilai-nilai islamnya? nonsense.

Melihat kenyataan itu saya jadi teringat dengan sinetron-sinetron pesanan (dadakan) bulan Ramadhan. Serta merta dan serentak semua stasiun televisi menayangkan senema-sinema berbau Islam. Lebih tepatnya sinetron-sinetron yang beratribut Islam. Para tokohnya memakai jilbab lengkap dengan gamis. hmmm…kalau begini jadinya, benarlah apa yang diprediksi oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam haditsnya, Islam di akhir zaman hanya sebatas Al-Qur'an sebagai bacaan, masjid tinggal bangunan yang megah, dan sekarang ditambah, baju hanya sebatas formalitas.

Beda dengan sastra Islam. Boleh jadi sastra Islam mengedepankan atribut-atribut keislaman, tapi juga tidak melenyapkan nilai-nilai Islam yang universal. Ambil contoh karya- karya Habiburrahman el Shirazy yang kental dengan nuansa Islam, baik dari segi budaya, karakter tokoh maupun seting ceritanya. Tapi dalam karyanya kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran berharga tentang ajaran Islam.

Kadang ada pula karya sastra yang tidak diembel-embeli sastra Islam. Begitu juga dengan tokoh-tokohnya. Kita tak mendaparkan simbol-simbol Islam di dalamnya. Tapi kita patut untuk menyebut sastra tersebut sebagai sastra Islam. Kenapa? Karena di dalamnya kita bisa mendapatkan kandungan nilai-nilai ilahiah yang universal dan akhlak mulia. Walau pun pengarangnya bukan seorang muslim.

Jadi, tak selamanya sastra bersimbol islami itu bisa dikatakan sastra Islam. sebaliknya tak selamnya sastra yang tanpa symbol islam dan embel-embel sastra Islam bisa dikatakan sastra Non Islam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version