View Full Version
Selasa, 03 Sep 2019

Ketika Manusia Dipermainkan oleh Permainan

 

Oleh:

Faris Ibrahim

Mahasiswa Jurusan Akidah- Filsafat Universitas al- Azhar Kairo

 

DI TENGAH maraknya produk- produk game yang semakin jauh dari hakikatnya sebagai sarana hiburan, mereka‒ para korban kejamnya revolusi industri‒ yang kehilangan kedaulatan diri, pada akhirnya dipermainkan oleh game-nya sendiri. Tuan modal tidak lagi memikirkan dampak baik dan buruk. Yang ia pikirkan, sederhana: semakin candu orang- orang memainkan game yang dibuatnya, semakin banyak bilangan yang akan bertengger di rekeningnya.

Ketika baik dan buruk luput dari perhatian, akhirnya game tak ubahnya seperti cerita- cerita misteri. Detail- detail di dalamnya lebih mirip seperti tutorial melakukan tindak kriminal dengan cara yang elegan‒ penuh intrik, berbelit- belit, sulit dipecahkan. Pecandu misteri mungkin tidak menyadarinya; nyatanya mereka memang sedang dimabukkan oleh semacam obsesi menerjemahkan kejahatan- kejahatan yang dibacanya dalam sebentuk aksi nyata yang adialami penuh perencanaan. 

Kecanduan seperti itulah yang selanjutnya ambil bagian. Mereka yang sudah terbiasa menembak di dunia permainan, dikabutkan saat menonton aksi keji Brenton Tarrant di masjid. Alih- alih mengutuknya sebagai penjahat, mereka mungkin malah bertanya kebingungan: “apa sih dosa si Brenton ini?” Toh, Brenton hanya sedang berburu burung Sintaran di tengah pematang sawah. Pikir mereka, Brenton tidak lebih hanyalah karakter ber-username yang digerakkan oleh seseorang di balik monitor.   

Hari ini para saudagar kaya mempermainkan orang lewat game yang mereka buat. Bukanlah tidak mungkin, di masa depan, (saking kayanya) mereka tidak lagi butuh game untuk bisa mempermainkan orang. Tragedi demi tragedi di film The Hungers Game satu persatu menjadi kenyataan. Mereka yang hari ini bermain game sampai jatuh miskin, di suatu hari akan diketuk pintunya oleh saudagar- saudagar kaya‒ diseret ikut serta dalam game yang mereka buat, untuk jadi salah satu karakter di dalamnya.

Pada hari di mana kejadian seperti itu benar- benar terjadi, barulah mereka sadar: ternyata game- game yang mereka nikmati dulu, sambil menyeruput kopi, bukanlah semata- mata sarana hiburan, melainkan juga sarana penjajahan. Seperti kata Mālik bin Nabī, banyak orang- orang yang tidak menyadari bahwa sebenarnya “mereka hidup di dunia yang telah dipetakan (fī ālam mukhottoth).” Bukanlah tidak mungkin, kalau dunia yang dimaksudnya itu barangkali salah satunya adalah dunia game.  

Permainan- permainan yang tak terkendali, cepat atau lambat memang akan mengendalikan pemainnya. Lee Sendon‒ juara dunia Go asal Korea Selatan‒ akhirnya dipecundangi oleh kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh Google Deep Mind. Manusia akhirnya dikalahkan game-nya. Game adalah ciptaan manusia. Harusnya manusia maha kuasa mempermainkannya. Namun apa jadinya kalau game yang mereka buat itu, akhirnya jadi anjing yang menggigit tuannya sendiri.

Oleh karenanya, adalah suatu keharusan melahirkan kembali game- game yang membantu manusia untuk bisa jadi pemenang dalam kebaikan, bukan malah mengubur potensi mereka dalam kesiaan. Game- game yang menyuburkan mental layak dijajah (al- qābilīah lil isti’mar) harus dilawan dengan game- game yang menentang penjajahan. Ketimbang yang mengajarkan pembunuhan, manusia hari ini lebih butuh game- game bergiziyang mengajarkan arti penting kehidupan.

Kalau memang ada game yang mengajarkan makna luhur kehidupan, mungkin Harvest Moon adalah salah satu yang paling menyentuh pemaknaannya sampai yang terdalam. Anak- anak 90-an pasti punya kesan menarik pernah memainkan game ini. Bagi mereka yang pernah terluka di jeruji penguasa, Harvest Moon adalah penawar yang paling mujarab mengobati kerinduan mereka‒ merasakan segarnya nafas kebebasan, nikmatnya hidup dalam nuansa berkeadilan.  

Betapa berharganya kebebasan bagi suatu masyarakat yang punya semangat hidup berperadaban. Harvest Moon ingin mengajarkan nilai berharga semacam itu yang sudah sedikit banyak dilupakan manusia modern. Tersebab oleh penitik beratan fungsi homo faber yang mengeksploitasi manusia menjadi abdi industri, sepertimana dijelaskan oleh Rene Guenon di The Crisis of the Modern World: manusia jadi lebih mirip seperti mesin berhati dingin, ketimbang makhluk ciptaan Tuhan.  

Manusia bukan mesin. Manusia adalah pemelihara alam yang diberi mandat langsung oleh Tuhan. Lewat kampanyenya kembali ke alam (back to nature), Harvest Moon ingin mengukir kembali aksara suci itu; bahwa ketika pohon terakhir telah tumbang, sungai- sungai keracunan, ikan- ikan sekarat, barulah manusia tahu bahwa uang ternyata tidak bisa dimakan. Harvest Moon ingin mengurai kekeliruan yang menjangkiti pemahaman manusia, untuk dapat berlaku arif memelihara alamnya.

Cabaran masalah internal yang Syed Naquib al- Attās petakan akhirnya terurai: Kekeliruan ilmu, hilangnya adab, dan pemimpin palsu. Penduduk desa di Harvest Moon berhasil menyelesaikan masalah itu. Makanya mereka dikaruniai pemimpin bijak. Walikota mana di dunia yang pagi- pagi sudah berkeliling menyapa masyarakatnya, menanyakan kabar, memberi masukan tentang tata cara pengolahan lahan. Boleh jadi, Mayor Thomas adalah jelemaan paling nyata, navigator kapal yang Plato ilustrasikan di Republic-nya.

Seberapa banyak even- event berkumpul yang dimiliki suatu masyarakat, sebanyak itulah kebahagiaan yang mungkin dirasakannya. Berkumpul adalah ekspresi alami sifat manusia yang tidak bisa hidup tanpa sesamanya dalam memenuhi kebutuhan. Ketika kebutuhan terpenuhi, manusia bahagia. Makanya Kata al- Fārābi di bukunya al-Madīnah al-Fādhilah: “Negeri yang memaksudkan perkumpulan di dalamnya tolong menolong untuk memperoleh kebahagiaan adalah negeri yang ideal.”  

Bisa dihitung, berapa banyak festival yang diselenggarakan penduduk desa di Harvest Moon, banyak sekali. Dari mulai festival thanksgiving, festival panen, festival kembang api, festival masak, sampai festival pacuan kuda. Seandainya industri game sudah mulai gandrung di abad ke- 9, mungkin murid- murid al- Fārābi akan sepenuh hati merakit game semacam Harvest Moon untuk mengedukasi muda- mudinya, agar lebih akrab mengenal canggihnya teori madīnah fādhilah yang dijabarkan oleh guru mereka. 

Berkumpul memang melekatkan solidaritas sosial. Di Harvest Moon, setiap individu saling tolong menolong menutupi kebutuhannya. “kullun ya’malu alā syākilatihi,” tidak ada gengsi profesi. Penduduk desa menghormati Rick si tukang ayam dengan hormat yang sama teruntuk dr. Trent. Elli tidak pernah mencela Karen walaupun pengangguran. Mungkin, suasana seperti itulah yang membuat gadis seperti Ann selalu terlihat ceria bahagia di kesehariannya membersamai penghuni desa.

Mereka yang sudah muak dihinakan oleh tuan- tuan permainan, merindukan kejayaan Harvest Moon mengemuka kembali. Hari- hari penuh kabut berkebun di warung playstation, terasa lebih manusiawi dibanding berjam- jam membunuh orang dengan ragam kaliber senjata di depan monitor. Kalau hari ini, orang- orang membisu ketika hak- hak petani diberantas, sedang tidak pula tergerak emosinya mengutuk aksi keji yang Brenton Tarrant langsungkan, mungkin masalahnya ada di game.

Oleh sebabnya, di momen hijrah yang mulia ini, ada baiknya muda- mudi mulai mengingat kembali petuah Rasulullāh shalallāhu alaihi wa sallam untuk “tarku mā lā ya’nīhi.” Mengambil yang bermanfaat, menyangsikan yang tidak mengandung maslahat. Utamanya dalam memilih game. Cari game yang menghidupkan, bukan mematikan. Tentang game, ingat selalu senandung Raihan tentang hiburan: “berhibur tiada salahnya karena hiburan itu indah, hanya pabila salah memilihnya membuat kita jadi bersalah.” Allahu A’lam.*


latestnews

View Full Version