View Full Version
Rabu, 18 Aug 2021

Apa Salahnya Menikah Lagi?

 

Oleh:

Keni Rahayu || Influencer Dakwah Millenial

 

SOSOK masyhur Alvin Faiz, putra alm. Ustaz Arifin Ilham resmi bercerai dengan muslimah mualaf, Larissa Chou, 2 bulan lalu. Yang mengejutkan adalah, Alvin seolah dengan mudah berpindah ke lain hati dengan menikahi wanita lain. Wanita itu kerap disapa Henny Rachman. Lebih mengejutkan lagi, ternyata Henny adalah mantan istri Zikry Daulay, sahabat karib Alvin (Tribunnews, 15/8/21). 

Kisah cinta memang selalu seru untuk dibahas, terlebih kisah tersebut adalah milik pesohor negeri. Alvin adalah putra seorang ulama besar di Indonesia. Maka kehidupan pribadinya seolah menjadi milik publik, termasuk drama percintaannya. 

Bagaimana respon publik? Jangan ditanya. Pro kontra adalah hal wajar, yang abai juga lebih banyak. Yang penting sekarang adalah bagaimana diri kita sendiri menanggapinya? 

Dalam Islam, pernikahan keduanya sah terjadi. Lelaki tak memiliki masa iddah, jadi apa masalahnya? Sehari setelah bercerai atau istrinya meninggal, lelaki boleh saja langsung menikah. Sedangkan pihak perempuan sudah bercerai sejak Januari lalu, berarti masa iddah-nya sudah lewat. Tentu halal jika mereka berdua menikah. 

Terlepas apakah mereka punya hubungan sudah sejak lama, atau seolah tega menyakiti sang mantan, apapun itu. Hey, biarkan saja. Jangan berkomentar apa pun. Kita kan gak ikut bayar WO dan kateringnya. Jadi sekali lagi, biarkan saja. Itu urusan mereka dengan Allah, kita tak punya hak apapun untuk berkomentar. 

Mari kita belajar dari kisah cinta mas Alvin. Ketika kita sadari ini semua terjadi, apakah sebab ia menikah di usia muda? Tentu saja tidak. Usia bukan standar kematangan seseorang, apakah ia siap menikah atau tidak. Usia matang pun banyak juga yang bercerai. Usia matang bercerai, usia muda bercerai, lalu apakah solusinya tidak menikah sama sekali? Tentu tidak demikian juga.

Kematangan dibentuk dari kesiapan, kesiapan dibangun oleh ilmu. Ilmu ditanam dalam majelis-majelis ilmu. Inilah salah satu kekurangan kita. Sistem pendidikan kita tidak menyiapkan individu matang sebagai seorang suami sekaligus ayah dan juga istri sekaligus ibu. Padahal semua orang pasti akan menjalani pernikahan. Kesalahan sistem pendidikan kita adalah sebab tidak menggunakan Islam sebagai asasnya, melainkan sekularisme. 

Allah berfirman: Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. (QS. Ali Imron:36) 

Ayat di atas Allah menyatakan dengan jelas bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan. Ketika Islam adalah asas sistem pendidikan kita, tentu kurikulum laki-laki berbeda dengan perempuan. Sistem pendidikan Islam akan mempersiapkan seorang perempuan sebagai calon istri dan ibu dengan kecakapan rumah tangga. Islam menyiapkan lelaki sebagai calon imam, pembimbing dan penunjuk jalan biduk rumah tangga. Islam juga menyiapkan mental lelaki untuk siap bekerja.

Namun, lihat saja hari ini. Anak lelaki lulus sekolah, kerja tak cukup skill, menikah tak cukup bekal. Para perempuan dididik hedonis dan hura-hura tanpa disiapkan bahwa ia calon tonggak peradaban bangsa. Sistem pendidikan ala sekuler melahirkan individu yang setengah matang. 

Mengiringi hal setengah matang ini, ada kejamnya jempol netizen yang maha benar. Mereka berlaku sebagai sanksi sosial, namun asasnya juga semau mereka. Mereka menuduh, menilai, sesuka hati mereka tanpa filter tanpa berpikir positif kepada targetnya. Sanksi sosial dalam Islam tentu saja ada, namun asasnya juga sesuai Islam. Cibiran baik dan buruk bukan asas argumen pribadi, melainkan standar Ilahi. 

Bagaimana sanksi sosial bisa berjalan sesuai syariat Islam? Tentu saja jika individu-individu yang menyusun sosial adalah individu yang paham Islam. Pemahaman Islam terbentuk hanya dengan jalan pendidikan. Maka balik lagi, sistem pendidikannya harus berdasarkan Islam. 

Ada lagi masalah urgen yang mengiringi pernikahan. Meski mungkin masalah ini bukan menjadi masalah dalam pernikahan mas Alvin, tapi ini isu sentral juga bagi pasangan menikah kebanyakan. Isu tersebut adalah isu ekonomi. 

Islam mengajarkan nafkah adalah bagian dari hak istri dan kewajiban suami. Maka suami wajib bekerja untuk memenuhinya. Kita lihat kondisi pandemi hari ini banyak suami tak bisa bekerja sebab lingkungan tak memadai. PPKM diperpanjang, pergerakan dibatasi. Kemudian bagaimana para ayah bisa bekerja menyediakan sepiring nasi? Adalah fakta, perceraian meningkat di era pandemi sebab suami tak lagi bisa menafkahi. 

Siapa punya peran dalam hal ini? Tentu saja negara. Negara berperan besar dalam ketersediaan lapangan pekerjaan. Negara berperan dalam menjamin pangan dengan harga terjangkau dan stoknya aman. Negara menjamin kebutuhan rumah tangga seperti listrik, air, rumah, pakaian, pendidikan keluarga bisa tercukupi. Sayangnya, negara yang begini mustahil kalau tidak berdasarkan Islam. Betul kan? Wallahu a'lam bishowab.*


latestnews

View Full Version