View Full Version
Sabtu, 23 Jul 2022

Mending Dinikahi daripada Ditikung?

 

Oleh: 

Keni Rahayu || Penulis Buku Sebab Perasaan bukan Tuhan

 

VIRAL! Sepasang bocah SMP menikah. Setelah dua tahun pacaran, akhirnya sang lelaki memberanikan diri mempersunting kekasih hati. Gayung bersambut, pernikahan terjadi. Meski siri, mempelai pria siap bertanggung jawab dengan menggarap sawah sebagai pekerjaannya.

Alasan MF mantap mempersunting kekasihnya yang sama-sama masih berusia dini, karena takut pujaan hatinya tersebut direbut atau ditikung orang lain. "Mau ka kawin karena saya takut ditinggalkan, jangan sampai nalumbai ki(saya ditikung) orang," kata MF (DetikSulsel, 25/5/22).

Dalam Islam memang tidak ada batasan umur dalam menikah. Selama sudah baligh, maka diperbolehkan. Tapi pertanyaannya, apakah calon mempelai sudah paham betul bahwa menikah tidak seindah drama Korea? Bahwa sejatinya, menikah itu menambah masalah. Itulah mengapa kita harus sudah matang secara personal.

Kita perlu memahami bahwa manusia memang memiliki naluri (gharizatun nau'). Naluri ini menuntut pemenuhan ketika sudah sudah muncul rasa-rasa ingin dicinta. Kalau dia berpegang pada iman, maka ia akan mengendalikan diri. Jika bebas bablas, pilihannya ya pacaran. Apa lagi?

Ditambah, ketika sudah cinta banget dan takut ditikung orang, diikat aja tuh dengan pernikahan. Padahal, menikah tidak sesederhana itu loh, bestie. Menikah adalah ibadah seumur hidup, maka bekalnya juga tidak main-main. Butuh ilmu Islam, agar diri matang dan paham hak-kewajiban sebagai suami/istri dan ayah/ibu nanti.

Beginilah pola hidup kapitalisme. Ketika individu tidak dipersiapkan dengan akidah Islam, pendidikan di sekolah berasas sekuler, maka lahir output berwatak pragmatis. Berbeda dengan sebuah negara yang menjalankan Islam, pemerintah akan menyiapkan para siswa memiliki kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikap Islam. Inilah bekal lahirnya individu matang.

Jahatnya dunia maya hari ini, banyak memuat konten tidak layak. Hal ini membangkitkan naluri generasi muda, yang seringnya mereka tidak matang. Larilah mereka pada pergaulan bebas dan zinah nauzubillah. Sedangkan dalam Islam, negara berperan besar dalam menyaring konten, baik di TV, media sosial, film, lagu dan sebagainya agar isinya tidak membangkitkan gharizatun nau'. Sehingga para pemuda tidak teralihkan fokus dari menyiapkan diri menjadi generasi matang berwatak pejuang. Menikah adalah sebuah opsi ketika ia telah siap menjejaki anak tangga kehidupan dengan amanah yang lebih tinggi. Ia memiliki visi surgawi dalam mengemban amanah pernikahan.

Jika menikah muda (di bawah 19 tahun) hari ini tidak direstui negara, maka berbeda dalam negara berasas Islam. Negara malah memfasilitasi dua anak Adam yang bermaksud melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Dengan catatan, negara telah menyiapkan (jauh sebelumnya) lahirnya dua individu yang sama-sama matang. Baik dari segi fisik, rohani, terutama ilmu, kedua belah pihak sudah memahami betul tugas masing-masing. Sosial, pangan, lapangan kerja, pendidikan, terbalut dalam sistem syar'i sehingga pernikahan bukan hal yang ngeri, melainkan malah semakin mendatangkan rida Ilahi.

Meskipun hari ini hidup penuh dengan fitnah dan sekulerisme, namun ketaatan tetap harus kita tegakkan. Wajar, ketika beban kita semakin berat dalam mempersiapkan dan menjaga diri menjalani hidup hari ini. Sebagai muslim, tentu tidak ada pilihan lain selain taat dan terus  berjuang menegakkan aturan Allah di atas muka bumi. Wallau a'lam bishowab.*


latestnews

View Full Version