View Full Version
Kamis, 04 May 2023

Pelajar dan Tugas Generasi Muda dalam Gerakan Keadilan Iklim (1)

Parid Ridwanuddin

(Eksekutif Nasional Walhi, Anggota LHKP PP Muhammadiyah, PB PII 2008-2010)

Tanggal 4 Mei selalu diperingati sebagai hari bangkit Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi yang dibentuk pada tanggal 4 Mei 1947, tepat dua tahun setelah Indonesia merdeka, terpaut hanya beberapa bulan setelah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan. Tahun ini, usia PII genap 76 tahun. Mengutip Yudi Latif dalam buku Intelegensia Muslim dan Kuasa, kelahiran PII memiliki proyek yang bertujuan untuk melakukan islamisasi modernitas dan modernisasi (pemahaman, PR) Islam. Sementara itu, Djayadi Hanan dalam bukunya Gerakan Pelajar Islam, PII memiliki tujuan keagamaan sekaligus kebangsaan.    

Keanggotaan PII dan sumber daya manusia yang mengisi strukturnya berasal dari generasi pelajar, biasanya dimulai dari sekolah menengah pertama sampai bangku kuliah. Meski demikian, di dalam PII dikenal adanya kader tunas, yang berasal dari pelajar di tingkat sekolah dasar. 

Setelah 76 tahun PII berdiri, kita perlu memikirkan ulang tantangan serius yang menjadi musuh bersama. Hal ini penting dilakukan supaya gerakan PII menjadi kontekstual, relevan serta terarah.

Di antara tantangan terberat generasi muda, khususnya pelajar hari ini yang perlu dipikirkan adalah ancaman krisis iklim. Kenapa demikian? saya pernah menulis mengenai soal ini di Harian Republika (Jumat, 22 Juli 2022), Pikiran Rakyat (Jumat, 16 September 2022), dan beberapa sumber lain. Dampak krisis iklim penting dilihat terhadap generasi muda. 

Akhir Februari 2022 lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis Laporan Penilaian Keenam (Assessment Report 6) yang wajib menjadi perhatian semua pihak. Laporan ini peringatan penting mengenai bahaya dampak krisis iklim yang harus dihadapi manusia. Dalam dua dekade mendatang, terjadi peningkatan temperatur global 1,5 derajat celcius. Akibatnya, muncul gelombang panas, banjir bandang berintensitas tinggi, kekeringan ekstrem.

Di Indonesia, krisis iklim memaksa lebih dari 34 persen orang hidup dengan kelangkaan air pada 2050. Produksi beras menurun enam persen dan jagung menurun 14 persen dari total produksi saat ini. Kenaikan temperatur, juga menempatkan Indonesia sebagai negara paling menderita secara global dengan naiknya permukaan laut. Sekitar 20 juta orang di Indonesia saat ini tinggal di wilayah yang rentan banjir rob.

Tingginya produksi emisi akan meningkatkan dua kali lipat jumah orang terdampak rob pada akhir abad ini. Di sektor perikanan, peningkatan suhu memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis serta mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen.

Krisis iklim akan sangat berdampak pada generasi muda pada masa yang akan datang. Save the Children (2021) memperkirakan anak-anak Indonesia yang lahir pada 2020 berisiko menghadapi tiga kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, dua kali lebih banyak mengalami kekeringan, dan tiga kali lebih banyak gagal panen. Krisis iklim akan membuat jutaan anak-anak jatuh dalam kemiskinan jangka panjang. 

Sementara itu, Unicef memperkirakan sekitar 25 juta anak akan mengalami kekurangan gizi akibat krisis iklim dan 100 juta anak lainnya akan menderita kekuraangan pangan. Dalam pada itu, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), mencatat anak-anak yang lahir pada 2016 akan berusia 34 tahun pada tahun 2050. Pada tahun tersebut, akan terjadi peningkatan suhu bumi, kenaikan air laut, dan peningkatan cuaca yang ekstrim. 

Keresahan generasi muda dan Keadilan Antargenerasi

Generasi muda, paling resah dengan situasi buruk planet bumi. Pada Januari 2021, UNDP menggelar survei global, People's Climate Vote. Ini survei opini publik terbesar tentang krisis iklim yang dilakukan di 50 negara, mencakup 1,2 juta responden.

Di antara poin pentingnya, kaum muda di bawah 18 tahun percaya krisis iklim merupakan darurat global. Hampir 70 persen anak di bawah 18 tahun mengatakan demikian dibandingkan 65 persen dari usia 18-35, lalu 66 persen berusia 36-59, dan 58 persen di atas 60 tahun. Sebanyak 59 persen yang menyebut krisis iklim sebagai darurat global mengatakan, dunia harus segera melakukan segala hal yang diperlukan.

Kenapa anak-anak muda begitu resah dengan krisis iklim? Di antara jawabannya, karena pada masa yang akan datang, mereka akan mewarisi bumi yang rusak akibat pembangunan yang dipilih oleh generasi saat ini yang memegang kepemimpinan politik, baik di tingkat global maupun nasional.

Dengan demikian, pilihan pembangunan dan pengelolaan terhadap beragam sumber daya alam oleh generasi saat ini, akan memberikan dampak yang sangat panjang dan luas bagi generasi masa depan. Daya dukung dan daya tampung planet bumi sangat penting dipertimbangkan tak hanya untuk generasi hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Inilah yang dinamakan dengan keadilan antargenerasi.

Keadilan antargenerasi, paling tidak, mengadung dua makna berikut, yaitu: pertama, setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang berkualitas dan mewariskannya pula pada generasi selanjutnya sehingga generasi ini memiliki kesempatan yang setara dalam kualitas fisik, ekologi, ekonomi dan sosial; dan kedua, generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbarui.

Keadilan antargenerasi adalah diskursus yang usianya belum panjang. Perbincangan mengenai hal ini dapat dilacak dalam sejumlah dokumen internasional seperti Deklarasi Rio de Janeiro 1992. Salah satu maknanya adalah generasi saat ini tidak boleh mewariskan sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbarui untuk generasi selanjutnya.

Di dalam kajian keislaman, keadilan antargenerasi dapat ditemukan dalam istilah al-‘adalatu bayna al-ajyal.  Meski demikian, narasi ini belum mendapatkan ruang pembahasan yang memadai. Pada titik inilah, terdapat ruang yang sangat besar untuk memproduksi narasi keadilan antargenerasi dengan tiga pertimbangan berikut:

Pertama, Islam sangat mendorong keadilan antar generasi. Pesan Al-Qur’an kepada kita untuk khawatir jika meninggalkan keturunan yang lemah (Q.S. al-Nisa [4]: 9) adalah isyarat penting mengenai keadilan antargenerasi. Kata “lemah” dapat dimaknai sebagai suatu kondisi dimana daya dukung dan daya tampung planet bumi sudah hilang sehingga menyebabkan lahirnya generasi yang lemah kualitasnya akibat ketiadaan sumber daya alam yang memadai untuk menopang kehidupan mereka. 

Lebih jauh, Al-Qur’an menyebut kata “anak” dengan berbagai konteksnya sebanyak 71 kali, dan menyebut kata “keturunan” sebanyak 33 kali. Penyebutan kata ‘anak’ dan ‘keturunan’ yang jumlahnya lebih dari 100 kali, menunjukkan betapa Islam sangat serius memerintahkan kita berpikir dan bertindak untuk mewujudkan keadilan antargenerasi. 

Kedua, Nabi Muhammad SAW, dalam haditsnya menegaskan untuk menanam pohon meskipun kiamat akan datang esok hari. “Jika kiamat akan datang esok,” kata Nabi, “sedangkan di tanganmu ada benih, maka tanamlah benih itu sebelum kiamat terjadi.” Pesan menanam dalam hadits ini sangat relevan dengan konsep keadilan antar generasi, dimana keadilan dan keberlanjutan planet bumi merupakan kunci penting di dalamnya. 

Ketiga, Selain Al-Qur’an dan Hadits, akar-akar gagasan keadilan antargenerasi dapat ditemukan dalam konsep maqashid al-Syari’ah. Konsep ini menyebut bahwa syariah diturunkan untuk menjaga lima hal primer: (dharuriyatul khamsah) dalam kehidupan manusia, yaitu kehidupan (nafs), agama (din), harta kekayaan (mal), pemikiran (aql), dan keturunan (nasl).

Kini, perlindungan lingkungan (hifzhul bi’ah) telah dimasukkan sebagai salah satu poin penting dalam maqashid al-syari’ah. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah mengalami pengembangan dari lima hal yang primer (dharuriyatul khamsah) menjadi enam hal yang primer (dharuriyatus sittah).

Maqashid al-Syari’ah adalah konsep yang berorientasi pada perlindungan kehidupan generasi yang akan datang, apalagi di dalamnya terdapat dua konsep perlindungan yaitu melindungi keturunan (hifzhul nasl) dan melindungi lingkungan hidup (hifzhul bi’ah).

Tugas Generasi Muda 

Dengan jumlah generasi muda sekitar 172 juta jiwa, gerakan iklim di Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagai bagian terpenting dari kelompok generasi muda, pelajar, dalam hal ini PII, wajib terlibat aktif bahkan menjadi inisiator dan aktor utama wacana dan aksi keadilan iklim ini.

PII wajib menghayati pesan Al-Qur’an yang menyebut kata bumi (al-ardh) lebih dari 450 kali. Banyaknya penyebutan ini mengindikasikan, keadilan sekaligus keberlanjutan planet bumi dengan beragam kehidupannya yang ada di dalamnya adalah misi penting ajaran Islam. Lebih jauh, terkait dengan penguasaan serta pengelolaan beragam sumber daya alam, Al-Qur’an selalu menggunakan kata-kata ‘kalian’ (antum atau kum) sebagai subjek pengelola bumi. Maknanya, sumber daya alam tidak boleh dikuasasi dan dikelola hanya oleh kelompok tertentu saja, melainkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, Al-Qur’an banyak mengulang larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Larangan tersebut mengindikasikan pentingnya menjaga bumi untuk generasi yang akan datang. Kata fasad yang disebut lebih dari 50 kali, digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan krisis yang memiliki dimensi lahir dan batin. Para ulama mendefinisikan fasad sebagai satu situasi dimana keseimbangan telah hilang dalam kehidupan (khuruj al-sya’i ‘an al-‘itidal). Dimensi lahir fasad adalah hancurnya beragam ekosistem penting, sedangkan dimensi batinnya adalah kerusakan itu disebabkan oleh rusaknya hati dan pikiran manusia dalam mengelola sumber daya alam.

Lebih jauh, PII wajib tergabung dalam gerakan keadilan iklim global, diantaranya dengan gerakan Friday for Future yang diinisasi oleh Greta Thunberg. Gerakan ini telah diikuti oleh lebih dari empat juta orang pelajar di lebih dari 125 negara. Tuntutannya, mendesak pemimpin dunia mengambil tindakan segera untuk mencegah krisis iklim serta mengubah sistem yang menyebabkan krisis iklim. Di Indonesia, gerakan ini juga telah dibentuk. Lebih jauh, PII perlu menjadi inisator atau terhubung dengan gerakan keadilan iklim di Indonesia. 

Pada masa yang akan datang, gerakan keadilan iklim wajib dijadikan prioritas oleh PII untuk merespon empat hal berikut, yaitu: pertama, miskinnya perspektif keadilan iklim dalam diskursus keagamaan. Sampai hari ini, tak banyak para tokoh agama yang mengulas krisis iklim dalam karya-karya mereka; kedua, kuatnya dominasi dan hegemoni negara-negara industri dan perusahaan trans nasional, sebagai agen dari kapitalisme global, yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang; dan ketiga, masih kuatnya paradigma ekonomi pertumbuhan dalam pembangunan nasional yang mendorong beragam praktik eksploitasi sumber daya alam; keempat, masifnya dampak buruk krisis iklim bagi generasi muda. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version