Oleh: Ameena N
Hari Ulang Tahun Republik Indonesia telah berlalu. Segala persiapan perlombaan hingga perayaan besar-besaran pun digelar secara meriah untuk menyambut peringatan kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus. Ada yang bagi-bagi hadiah, jalan sehat, diskon, dan segala macam pernak-pernik selebrasi lainnya. Sudah seheboh itu merayakan kemerdekaan, namun, apakah benar kalau kita benar-benar sudah merdeka? Ataukah sebenarnya kita hanya menghibur diri karena belum merdeka dengan kemerdekaan palsu ini dengan berusaha merasa merdeka?
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), merdeka memiliki 3 makna yakni, bebas dari belenggu atau pun penjajahan, tidak terkena atau lepas dari berbagai tuntutan, dan tidak terikat atau tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu.
Walau kita sudah pernah bebas dari penjajah dan mendeklarasikan kemerdekaan di tahun 1945, sadarkah kita bahwa kita kini kembali dijajah? Hanya saja kini, penjajah kita bukanlah orang luar, tapi orang kita sendiri, yakni pemerintah kita sendiri. Korupsi, hak tanah, tarikan pajak yang terus naik, APBN dan utang negara kian membengkak, menteri-menteri yang terus-terusan memberikan kebijakan yang tidak masuk akal dan terus merugikan rakyat, BUMN bangkrut, dan masih banyak lagi. Merupakan sebuah ironi di negara ini ketika kita terus disibukkan dengan perayaan kemerdekaan sedangkan diri kita sebenarnya belumlah merdeka.
Sebuah ironi juga, Indonesia adalah negara yang kaya, tapi juga negara yang miskin. Alamnya yang kaya, penduduknya yang miskin. Dari sekian banyaknya kekayaan di negeri ini yang diberikan Allah pada kita, yang kaya dan menikmati semua itu hanya segelintir orang seperti para pejabat dan oligarki.
Jika kita mau mengulik ulang, apa saja yang sudah pemerintah lakukan untuk membuat kita merdeka, kita bisa lihat bahwa pemerintah hanya peduli dengan kemerdekaan dirinya. Lihat saja belakangan ini, banyak sekali aturan yang tidak masuk akal, dicipta, bahkan diterabas demi kepentingan para pejabat itu sendiri.
UKT yang terus naik adalah salah satu bukti bahwa kita belum merdeka. Bagaimana bisa disebut merdeka jika bebas untuk meraih pendidikan saja dipersulit. Kebebasan kita dalam berpendapat juga dibatasi dan selalu berusaha dibungkam dengan melibatkan hukum seakan-akan yang menghukumi adalah orang yang paling taat pada hukum. Padahal jika itu bukan soal dirinya, dia tidak peduli soal hukum.
Di perayaan kemerdekaan tahun ini, pemerintah mengatakan bahwa perayaan kemerdekaan akan diadakan di IKN (Ibu Kota Negara) yang mana biayanya ditaksir sampai miliaran dan dapat membebani keuangan negara. Kendati begitu, perayaan ini harus tetap dirayakan walaupun di luaran sana masih ada banyak sekali rakyat yang kelaparan, banyak sekali sekolah yang tidak layak, guru-guru yang menangis karena gaji yang sangat kecil yang tidak sebanding dengan tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintahan kepada mereka. Belum lagi banyaknya anak muda yang terkena PHK, angka pengangguran naik pesat, jalanan serta jembatan yang harus diperbaiki, dan banyak lagi yang lainnya.
Terlalu banyak permasalahan di negeri ini yang harus diperhatikan dan diperbaiki sehingga perayaan kemerdekaan bukanlah hal yang penting untuk sekarang. Itulah sikap dan pola pikir yang kita butuhkan saat ini. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Entah pemerintahnya, entah rakyatnya, mereka tidak peduli dan pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Mereka bersikap seolah tidak ada yang perlu diperbaiki karena kita semua sudah merdeka dari tahun 1945.
Sungguh sikap yang sangat tidak mencerminkan kemerdekaan itu sendiri! Betapa kecewanya para pejuang yang mengupayakan kemerdekaan dengan darah dan air mata bahkan nyawa andai mereka tahu dan melihat kondisi negeri seperti ini. Pejuang yang hasil perjuangannya cenderung dinikmati para pecundang yang mengaku sebagai pemimpin dan wakil rakyat. Miris! (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google