Oleh: Aily Natasya
Di salah satu forum diskusi, ada seorang netizen yang bertanya-tanya. Mengapa orang-orang yang katanya beragama atau dekat dengan Tuhan seringkali lebih banyak menyampaikan dosa ketika tidak melakukan ibadah dibandingkan manfaat atau tujuan dari ibadah tersebut? Seperti contoh, tidak menunaikan sholat lima waktu dapat dosa. Padahal, kan, bisa dibahas soal tujuan sholat atau ganjaran yang akan didapat ketika menunaikan sholat. Karena yang dibahas soal dosa mulu, neraka mulu, kesannya kajian Islam dibuat seolah-oleh seperti forum yang tidak menenangkan dan menyenangkan oleh para penceramah. Mereka fokus menakut-nakuti para jamaah yang hadir.
Pertanyaan gusar dari netizen satu ini jika dijabarkan dengan gambaran lain, dia sedang mempertanyakan ustad-ustad yang ceramah, atau mungkin tokoh-tokoh yang disegani oleh masyarakat. Para dai ini seringkali menasehati kita soal dosa-dosa dibandingkan dengan tujuan atau ganjaran dari ibadah yang wajib dilakukan. Disadari atau tidak, pertanyaan sekaligus pernyataan tersebut sebenarnya merupakan negativity bias.
Negativity bias merupakan bentuk kecenderungan manusia terhadap hal negatif lebih besar dibandingkan dengan hal positif. Contoh sederhana lainnya, kita itu cenderung lebih suka dan tertarik dengan berita perselingkuhan dibandingkan dengan berita orang menikah, kecuali orang yang menikah ini memang yang berpengaruh banget. Tapi tetap saja, berita perselingkuhan selalu membekas lebih lama. Makanya nggak heran kalau berita perselingkuhan nggak pernah sepi dibahas setiap kali itu muncul. Mau siapa pun orangnya, publik figur atau bukan, jika itu soal berita perselingkuhan, pasti ramai dibicarakan di mana-mana.
Kenapa pernyataan tersebut bisa disebut sebagai negativity bias? Karena faktanya, banyak banget penceramah yang isi kajiannya itu tentang nikmat-nikmat dan ganjaran-ganjaran yang akan kita dapatkan ketika menunaikan ibadah. Ada banyak pula kajian yang sangat bisa menenangkan hati para pendengar, nggak nakut-nakutin para jamaah yang hadir dengan dosa dan neraka.
Di Indonesia tidak kurang ustad yang berceramah soal surga, kasih sayang Allah, ganjaran bersedekah dan beramal sholeh, mengobati hati, dan lain sebagainya. Ada banyak sekali pilihan, dari yang paling keras gaya penyampaiannya, hingga yang paling lembut. Dari yang paling serius, bikin pusing pembahasannya, sampai yang paling adem, ayem, tentram. Semua ada. Dan semuanya punya target jamaahnya masing-masing.
Kita tinggal pilih aja mau mendengarkan kajian mana dan yang seperti apa. Kenapa hanya terpaku pada satu topik itu? Apalagi kalau bukan negativity bias itu tadi. Atau mungkin yang bersangkutan kurang referensi dalam menemukan kajian yang tepat, entahlah. Karena nyatanya, pilihan kajian dengan berbagai tema itu memang ada. Tinggal cari tahu dan pilih aja.
Kalau pun seandainya memang membahas soal dosa dan neraka memangnya kenapa? Allah menyebutkan dosa dan neraka di dalam Al-Qur’an juga demi mengingatkan kita bahwa kita punya konsekuensi yang harus kita hadapi jika kita melakukan kesalahan, bukan mau nakut-nakutin kita atau bikin kita merasa nggak nyaman. Orang kita udah dikasih tahu gitu juga masih nggak ada takut-takutnya, lupa mulu. Masak nggak boleh sering-sering diingetin? Karena beribadah kepada Allah itu nggak cuman soal apa yang harus kita lakukan, tapi juga soal apa yang nggak boleh kita lakukan.
Perluas wawasan, pengalaman dan perspektif kita agar tidak salah salah menyimpulkan. Karena kesimpulan yang kita bagikan itu bisa saja mempengaruhi pemikiran orang lain dan menjadi fear mongering bagi orang lain. Jangan sampai karena kesimpulan sempit tersebut, orang-orang jadi ogah mau datang ke kajian. So, ya, semangat belajarnya. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)