View Full Version
Jum'at, 09 Sep 2022

Berjumpa Allah dengan Jiwa yang Tenang

 

Oleh:

KH. Bachtiar Nasir

 

DUNIA ini hanyalah ruang ujian. Ruang cobaan yang berisi berbagai persoalan yang harus kita selesaikan. Yang berhasil lulus di antara kita adalah orang-orang yang benar menjawab dan memiliki banyak bekal dalam mempersiapkan perjumpaannya dengan Allah Swt. Lalu, apakah sebenarnya bekal terbaik menghadap Allah Swt?

Allah Ta’ala berfirman dalam Qs. Al-Fajr ayat 27-30:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”

Pada ayat di atas, ada jiwa dari manusia yang mendapatkan panggilan kehormatan dari Allah Swt. Jiwa itu adalah jiwa yang tenang atau an-nafsul muthmainnah. Jiwa yang Allah panggil karena hati mereka yang selalu rida kepada Allah dan Allah pun meridai mereka.

Mencapai jiwa yang tenang ini tidaklah mudah. Ada beberapa tingkatan jiwa manusia yang digolongkan oleh para ulama yaitu:

1. Jiwa yang buruk dan dikuasai oleh amarah atau yang dikenal dengan an-nafsul amarah bissu’.

2. Jiwa yang labil atau dikenal dengan an-nafsul lawamah. Yaitu jiwa yang selalu menghinakan dirinya sendiri. Tidak punya pendirian dalam kebenaran dan tidak istiqomah. Pagi beriman, di malam hari kembali kafir.

3. Jiwa yang sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jiwa ini dikenal sebagai an-nafsul mulhimah atau an-nafsul malhamah. Yaitu jiwa yang sudah bisa membedakan mana yang fujur (buruk) dan mana yang takwa. Tahu dimana lingkungan jahat dan dimana lingkungan yang takwa. Mana yang harus dijauhi dan mana yang harus didekati; atau bahkan ditekuni. Jiwa seperti ini adalah jiwa yang sudah mengerti kemana akan berjalan dalam kehidupan.

4. Tingkat selanjutnya barulah yang disebut sebagai an-nafsul muthmainnah yaitu jiwa yang pada hari kiamat tenang batin dan jiwanya. Tidak ada rasa takut dan tenang menghadapi berbagai kejadian di Yaumul Hisab yang mengerikan. Karena, imannya yang lurus dan amalannya yang salih sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya.

Ini adalah empat level jiwa yang harus kita bina setiap waktu. Agar bila masih di bawah, bisa naik ke peringkat yang lebih tinggi dan bila sudah berada dalam kategori jiwa yang tenang, bisa tetap bertahan hingga ajal menjemput. Ini adalah pembinaan sumber daya manusia (SDM) yang seharusnya kita lakukan. Bukan pembinaan yang melulu berorientasi kepada dunia yang semu. Dunia yang fana ini, yang kelak akan musnah.

Orang-orang yang berhasil membina jiwa mereka hingga sampai pada level an-nafsul muthmainnah adalah jiwa yang telah menerima nikmat karena yakin dan percaya kepada pemberian Allah Swt. Saat mereka masih di dunia, mereka juga percaya dengan rahmat-rahmat yang Allah Ta'ala berikan.

Hidup di dunia ini sejatinya akan menjadi sederhana dan tenang untuk dijalani, bila kita meyakini tiga hal:

1. Ada perintah yang harus dijalankan, ada larangan yang harus ditinggalkan, dan ada takdir yang harus diridai. Karena itu, sangat penting untuk meyakini bahwa hidup ini hanya menjalani perintah Allah Swt. Menjauhi setiap larangan-Nya dan rida terhadap semua takdir-takdir-Nya. Baik atau buruk, tugas kita hanyalah mengikutinya saja.

2. Yakini setiap janji baik Allah. Sehingga kita tidak tergoda untuk mengikuti selain Allah Ta'ala. Setiap kali harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak sesuai harapan, kita pun masih memiliki pegangan bahwa janji baik Allah pasti akan terwujud, meski waktunya tidaklah datang seperti yang kita harapkan.

3. Takuti setiap larangan Allah Swt. Ini akan membuat kita terjaga dari godaan kemaksiatan, kesenangan dunia yang melenakan, atau bahkan menahan kita dari melakukan hal yang mendzalimi diri sendiri manakala musibah atau ujian datang.

Itulah mengapa ketika kita tertimpa musibah, maka kita dituntun untuk mengucapkan kalimat istirja. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Al- Baqarah ayat 156:

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun."

An-Nawawi menggambarkan makna kalimat istirja sesungguhnya adalah termasuk di antara sunah-sunah yang harus diucapkan manusia ketika tertimpa musibah. Besar atau kecil musibah yang menimpa, maka bila seorang muslim mengucapkan kalimat ini, hatinya akan tenang. Tidak akan tertimpa depresi, tidak akan stres, apalagi histeria. Semua karena hatinya sudah tahu betul bahwa apapun yang ada padanya adalah milik Allah Ta’ala. Maka, semuanya akan kembali kepada Allah; Pemiliknya.

“Aku yakin, aku percaya bahwa kami sesunggunya akan kembali kepada Allah. Dimulai dengan kematian, lalu dibangkitkan dari kubur, maka diriku sejatinya akan kembali kepada Allah. Karena itu, kuserahkan diri dan pasrah terhadap apa pun; hingga segalanya akan kembali kepada Allah.”

Inilah prosedur seorang muslim menghadapi musibah.

Maka, ketika baik atau buruk kenyataan yang dihadapi, kembalilah kepada Allah Ta'ala dengan rida. Walau rasa yang awalnya mengemuka mungkin tidak mengenakkan, tapi akhirnya pasti ada sesuatu yang baik untuk kita jalani.

Menurut Abdul Qadir Djaelani dalam kitabnya, di balik setiap musibah adalah momen kebangkitan ruh dan hidupnya ruh dari tidur panjangnya; menuju kebenaran dan kekuatan. Dengan pijakan ini, kita akan memahami bahwa semakin besar ujian dan tekanan, maka semakin sadar dan terbuka mata batin ini bahwa tidak ada manfaat yang datang kecuali dari Allah Swt. Dan, tidak ada bahaya yang datang kecuali berdasarkan kehendak Allah Swt semata. Oleh karena itu, mari kita senantiasa berusaha untuk kembali kepada Allah Ta’ala. Mengais rida Allah dan melatih diri untuk rida terhadap apa pun yang dikehendaki-Nya terjadi atas diri kita. Inilah yang disebut sebagai orang-orang yang dikaruniai mardhiyah yaitu mereka yang telah berada dalam naungan rida Allah Ta’ala.

Hingga kelak di hari kiamat, Allah Ar-rahiim akan memanggil kita sebagai golongan hamba-Nya yang saleh dan Dia memanggil kita untuk memasuki surga-Nya yang abadi.

Kini adalah waktunya untuk berusaha mencapai itu semua. Waktunya untuk berlatih menjadi an-nafsul muthmainnah. Mari, berbekalah dari sekarang. Latihan mati sebelum mati, supaya tidak kaget ketika mati. Belajar mati sebelum mati, sehingga menyadari pastinya kematian dan kita berbekal menuju kematian. Dan, matilah sebelum mati sehingga kita tidak terlalu bersedih ditinggal yang mati dan belajar menjadi lebih saleh dari kematian.*


latestnews

View Full Version