Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Haram bagi seorang muslim berburuk sangka terhadap orang shalih dan pejuang Islam –dai & mujahid- tanpa dalil dan bukti nyata. Bahkan terhadap muslim yang mastur hall (tidak diketahui status keshalihannya) -yang tidak nampak tanda-tanda kejahatan dan keburukannya- tidak boleh berburuk sangka terhadapnya.
Adapun orang yang terang-terang berbuat jahat dan maksiat serta kemungkaran maka tidak diharamkan berprasangka atau menilai buruk terhadapnya. Sebabnya, ia menampakkan keburukan dirinya secara terang-terangan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang berprasangka buruk terhadap orang baik dari kalangan mukminin dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنْ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Lafadz “Ijtanibuu” adalah kata kerja perintah (Fi’il Amr) yang menuntut wajib dan tidak ditinggalkan. Artinya: jauhilah oleh kalian.
Maksudnya adalah Allah perintahkan orang-orang beriman menjauhi sejauh-jauhnya buruk sangka terhadap ahlil khoir (orang baik) dari kalangan orang beriman. Di mana prasangka ini hanya kecurigaan dan ilusi semata. Tidak didasarkan kepada bukti dan petunjuk yang benar. Akhirnya, menyebabkan timbulnya kecurigaan dan rusaknya hubungan sesama orang beriman.
Kemudian diikuti lafadz (katsiiran: banyak) agar seorang muslim mewaspadai kecurigaannya dan menjauhi yang diharamkan. Tidak melontarkan prasangka kecuali pada sesuatu yang wajib atau mubah.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman banyak berprasangka (buruk). Yakni mencurigai keluarga dan kaum kerabat serta orang lain dengan tuduhan yang buruk yang bukan pada tempatnya. Karena sesungguhnya sebagian dari hal tersebut merupakan hal yang murni dosa, untuk itu hendaklah hal tersebut dijauhi secara keseluruhan sebagai tindakan prefentif.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang su’udzan (prasangka buruk) dalam sabdanya,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah olehmu berperangka karena dia adalah perkataan paling dusta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhuma, ia berkata: Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam thawaf di Ka’bah dan bersabda,
مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ مَالِهِ وَدَمِهِ، وَأَنْ نَظُنَّ بِهِ إِلاَّ خَيْرًا
“Alangkah indahnya kamu, alangkah harumnya baumu, alangkah agungnya dirimu dan alangkah agungnya kehormatanmu. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin, hartanya, darahnya itu lebih agung di sisi Allah darimu, dan kami tidak berprasangka kepadanya kecuali dengan baik.” (HR. Ibnu Majah)
Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berkata, “sebagian sahabatku dari kalangan sahabat rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menulis surat kepadaku:
أَنْ ضَعْ أَمْرَ أخيك على أحْسَنِه، ما لم يأتك ما يغلبك
ولا تظنَّنَّ بكلمة خرجت من امرئ مسلم شرًّا؛ وأنت تجد لها من الخير محملاً
ومَنْ عَرَّضَ نفسَه للتُّهم، فلا يلومنَّ مَنْ أساء به الظنَّ
“Hendaknya engkau menempatkan urusan saudaramu pada posisi yang paling baiknya (tidak berburuk sangka), selama belum datang kepadamu bukti yang mengalahkan prasangka baikmu.
Jangan sekali-kali engkau berprasangka buruk terhadap ucapan seorang muslim, selama engkau masih mendapatkan kemungkinan-kemungkinan yang baik pada ucapannya.
Siapa saja yang melakukan tindakan yang menyebabkan orang curiga janganlah dia menyalahkan orang yang buruk sangka kepadanya.”
Perilaku buruk sangka yang sering terjadi –contohnya- seseorang mengutus seseorang untuk menguntit dan mengawasi gerak gerik umat Islam, mencari kesalahan mereka, dan mencari kekurangan mereka. Sesungguhnya pelaku perbuatan ini sedang berhadapan dengan murka dan hukuman Allah Yang Maha Kuasa.
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengancam mereka yang menyakiti kaum muslimin dengan skandal buruk ini dalam sabdanya,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ! لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai orang yang imannya masih sebatas lisannya dan belum masuk ke hati, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim, janganlah kalian mencari-cari aurat ('aib) mereka. Karena barang siapa yang selalu mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan membongkar kesalahannya, serta barang siapa yang diungkap auratnya oleh Allah, maka Dia akan memperlihatkannya (aibnya) di rumahnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Sesungguhnya prasangka buruk itu menjadi dosa apabila pelakunya mengikutinya dengan ucapan dan perbuatan (action). Selama, pikiran buruk itu tidak diikuti dengan perkataan dan perbuatan maka ia belum tercatat sebagai dosa.
Sufyan al-Tsauri rahimahullah, berkata,
الظن ظنان: أحدهما إثم؛ وهو أن تظنَّ وتتكلَّم به، والآخر ليس بإثم؛ وهو أن تظنَّ ولا تتكلم
“Prasangka itu ada dua: pertama, dosa; yaitu engkau berprasangka (buruk) dna mengucapkannya. Kedua, tidak dosa; yaitu engkau berprasangka buruk dan tidak mengucapkannya.”
Semoga Allah hadirkan dalam diri kita kecintaan dan kasih sayang kepada saudara-saudara seiman sehingga selalu menginginkan kebaikan untuk mereka dan menghindarkan mereka dari keburukan. Senang dengan kebaikan dan kebahabiaan yang mereka dapatkan dan sedih dengan keburukan dan kedukaan yang menimpa mereka. Amiin. [PurWD/voa-islam.com]