View Full Version
Senin, 16 Sep 2019

Natsir, A Hassan, dan Persatuan Islam

 

Oleh:

Artawijaya, wartawan senior

 

BAGI Natsir, A Hassan adalah guru agama yang banyak mempengaruhi pemahamannya tentang Islam. Saat aktif di Persatuan Islam (Persis) Natsir dan A Hassan banyak membuat tulisan yang berisi pembelaan terhadap ajaran Islam yang dilecehkan oleh para misionaris Belanda dan kelompok nasionalis sekular.

Di sebuah gang sempit di Jalan Raya Barat belakang Pegadaian Negeri Bandung itulah Natsir muda pertama kali bertemu A Hassan. Natsir yang saat itu duduk sebagai siswa AMS (Algemene Middelbare School), sekolah setingkat SMA di Bandung, kerap mengunjungi kediaman A Hassan. 

Bersama teman-temannya yang aktif di Jong Islamieten Bond (Perhimpunan Pemuda Islam) itu, Natsir sering menghabiskan waktu berjam-jam dengan A Hassan untuk memperdalam soal-soal agama. Jika Natsir berkunjung, A Hassan dengan senang hati menyambut, meskipun sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Di antara beberapa siswa AMS yang sering bertandang ke rumahnya, Natsir dan Fachroedin Al-Kahirilah yang menarik perhatian A Hassan. Kedua anak muda itu di mata A Hassan adalah sosok yang cerdas. Sebagai anak muda yang belajar di sekolah yang menggunakan sistem Barat, Natsir sangat fasih menguasai beberapa bahasa asing. Sebelum bertemu A Hassan, Natsir banyak membaca literatur Barat yang menulis tentang Islam. Hasil bacaannya itulah yang kemudian hari ia diskusikan dengan A Hassan, terutama menyangkut pandangan orientalis barat tentang Islam.

Meski produk didikan Balanda, A Hassan kagum dengan Natsir yang mempunyai keinginan kuat untuk memperdalam Islam. Tak jarang, Natsir lebih tepat disebut sebagai teman diskusi, ketimbang seorang murid. Lagi pula, A Hassan tak memberikan mentah-mentah ilmu agamanya kepada Natsir. Ia mempersilakan Natsir untuk mengkaji pendapatnya atau berdebat dengan hujjah masing-masing. Tak jarang A Hassan lebih suka memberikan setumpuk buku untuk dipelajari Natsir, ketimbang ‘mendoktrinnya’ secara langsung. Kebanyakan buku yang diberi A Hassan adalah kitab-kitab berbahasa Arab. Inilah yang mendorong Natsir untuk lebih memahami dan memperdalam bahasa Arab.

Pertemuannya dengan A Hassan itulah yang membuat Natsir turut bergabung dalam organisasi Persatuan Islam (Persis). Di rumah A Hassan yang sempit itu, Natsir semakin larut mengikuti pengajian keagamaan yang diselenggarakan aktivis Persis. A Hassan sendiri, meski bukan pendiri Persis, namun namanya cukup terkenal sebagai tokoh Persis yang sangat faqih dalam bidang keislaman. Selain menguasai bidang agama, A Hassan juga dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam dalam membela kemurnian ajaran Islam.

A Hassan, pria keturunan Tamil, India, pertama kali menginjakkan kaki di Bandung pada tahun 1924. Awal kedatanganya ke Kota Kembang itu bukan untuk menjadi guru agama. Ia ditugaskan oleh bibinya untuk mempelajari ilmu tekstil di Bandung, karena hendak dipercaya memimpin perusahaan tenun di Surabaya. Saat pertama kali ke Bandung, A Hassan tinggal di rumah Haji Muhammad Yunus, saudagar asal Minangkabau yang pada 12 September 1923 mendirikan organisasi Persatuan Islam (Persis) bersama H Zamzam.

Karena kemampuannya di bidang agama, pada tahun 1926 A Hassan ditarik menjadi guru agama Persatuan Islam. Ia yang awalnya ingin kembali ke Surabaya untuk memimpin perusahaan tenun, akhirnya memenuhi permintaan Haji Muhammad Yunus dan teman-teman Persis lainnya untuk mengabdi menjadi guru agama. Sejak bergabungnya A Hassan, Persis dikenal sebagai organisasi yang dikenal tegas dalam memerangi takhayul, bid’ah dan khurafat. Anggaran dasar Persis menyatakan organisasi ini dibentuk untuk memajukan Islam dengan landasan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Pada tahun 1926 itu pulalah Natsir yang sangat dekat dengan A Hassan, bergabung menjadi anggota Persis.

Masuknya A Hassan, Natsir dan beberapa aktivis JIB dalam keanggotaan Persis membuat gerak organisasi ini terus berkibar. Pada bulan Maret 1929 yang bertepatan dengan Ramadhan 1347, di rumah A Hassan, para aktivis Persis mendirikan Komite Pembela Islam, sebuah lembaga didirikan untuk mengkonter gerakan zending Kristen yang banyak menerbitkan buki-buku, brosur dan ceramah-ceramah yang mencemooh Islam. Sebagai seorang intelektual, A Hassan dan Natsir membantah pelecehan yang dilakukan para misionaris itu lewat tulisan yang ia sebarkan lewat Majalah Pembela Islam, majalah yang didirikan oleh komite ini.

Majalah Pembela Islam awalnya didirikan untuk mengkonter ceramah seorang pendeta Kristen Protestan A. C Christoffels yang berjudul “Muhammmed als profeet” (Muhammad Sebagai Nabi). Ceramah itu diberikan Christoffels pada tahun 1929 kepada murid-murid AMS Bandung, termasuk Natsir, yang diwajibkan oleh guru-guru di AMS untuk ikut hadir mendengarkan ceramah yang disampaikan di gereja itu. Natsir yang sudah aktif di Persis, merasa tak nyaman dengan ocehan Pendeta Christoffels yang menganggap Nabi Muhammad saw tal lebih hanya sebagai jalan yang dianggap membukakan kebenaran Kristus yang sebenarnya. Christoffels juga menghina Nabi saw sebagai orang yang mempunyai nafsu seksual yang besar. Intisari ceramah itu kemudian disebarkan lewat surat kabar berbahasa Belanda Algemeen Indisch Dagblad (AID).

Karena itu, atas nama Komite Pembela Islam bantahan terhadap tulisan Pendeta Christoffels dibuat. A Hassan menyerahkan kepada Natsir untuk menulis bantahan itu, karena bantahan yang akan dibuat ditulis dalam bahasa Belanda. “Tuan Natsir yang akan menulis jawaban itu, bukan? Maka tuanlah yang harus menyusunnya. Lagi pula, bantahan ditulis dalam bahasa Belanda. Saya tidak bisa bahasa Belanda,” ujar A Hassan sambil memberikan setumpuk bahan bacaan kepada Natsir. Begitulah cara A Hassan mendidik Natsir. Meski ia sendiri bisa menulis bantahan itu, dan meminta Natsir untuk menerjemahkannya dalam bahasa Belanda, namun A Hassan lebih memberikan kesempatan kepada muridnya untuk bisa membantah isi tulisan pendeta tersebut. A Hassan tak ingin menonjolkan dirinya sendiri.

Alhasil, bantahan itu dikirim ke Surat Kabar AID. Tulisan atas nama Komite Pembela Islam itu kemudian dibantah oleh Pendeta Christoffels dalam edisi selanjutnya. Komite kemudian meminta Natsir untuk membuat bantahan kedua. Tapi sayang, kali ini AID tidak berkenan memuatnya. Karena kecewa, akhirnya Natsir dan kawan-kawan di komite  membuat Majalah Pembela Islam. Tulisan Natsir berjudul Muhammad als profeet  yang berisi bantahan terhadap pendeta Christoffels dimuat dalam majalah ini.

Pada tahun 1931, umat Islam digemparkan oleh tulisan seorang pendeta Ordo Jesuit J.J Ten Berge yang menulis dua artikel berisi penghinaan terhadap al-Quran. Tulisan yang dimuat di Jurnal Studien menyebut al-Quran sebagai koleksi dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalahpahami. Laporan mengenai kontroversi tulisan ini dimuat di kalangan pers berbahasa Melayu yang terbit di Batavia.

Komite Pembela Islam tak tinggal diam. Mereka kemudian memuat tulisan Natsir berjudul Qur’an an Evangelie di Majalah Pembela Islam dan menyebarkannya dalam bentuk brosur. Situasi kian memanas, karena Persis meminta Residen Bandung dan Jaksa Agung untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Sejarawan Belanda, Karel Steenbrink, yang meneliti tentang politik kolonial Belanda terhadap Islam mengatakan, yang menggerakkan perlawanan terhadap misionaris Belanda yang melecehkan Islam ini adalah seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun, yang bernama Mohammad Natsir.”Sejak 1930 dan seterusnya ia (Natsir, red) membuktikan diri sebagai pengamat yang cerdas dan kritis mengenai politik kolonial terhadap Islam di dalam sejumlah artikel dan Majalah Pembela Islam,” ujar Steen brink dalam buku ”Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam (1596-1942).”

Tak hanya Ten Berge, Natsir juga terus mengkritisi fitnah dan cemoohan para misionaris Belanda seperti Hendrik Kreamer dan Boetzelar. Natsir juga mengeritik sikap pemerintah kolonial yang bertindak tidak adil dalam menangani reaksi umat Islam terhadap tulisan-tulisan yang sangat menghina itu. Jika umat Islam menulis bantahan terhadap tulisan para misionaris itu, maka mereka akan mencap umat Islam sebagai penebar kebencian.Sedangkan para misionaris Belanda yang menghina Islam sama sekali tak tersentuh hukum. 

Nama Pembela Islam sendiri kian menjulang karena artikel-artikelnya yang berisi pembelaan terhadap ajaran-ajaran Islam. Selain A Hassan dan Natsir, nama-nama seperti Haji Agus Salim dan Hamka juga pernah menulis di media ini. Setelah Pembela Islam  A Hassan juga membuat majalah pengganti bernama Al-Lisan yang juga dijadikan media advokasi bagi umat Islam. 

Tak hanya kalangan misionaris Kristen yang menjadi sasaran kritik Natsir dan Persis. Namun juga kalangan yang mengusung paham kebangsaan seperti Seokarno. Polemik antara Soekarno dengan A Hassan dan Natsir juga dimuat dalam Majalah Pembela Islam. Polemik dengan Soekarno utamanya tentang agama dan negara. Soekarno yang terbius paham sekular Mustafa Kemal Attaturk mengatakan agama mesti dipisahkan dari negara. Sedangkan A Hassan dan Natsir menyatakan agama tak bisa dipisahkan dari negara, karena Islam adalah ajaran yang cakap dan cukup untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. A Hassan dan Natsir berpendapat hukum Islam harus tegak di tempat kaum muslimin tinggal. Sementara Soekarno menyatakan, hukum suatu negara harus disesuaikan dengan corak dan keadaan negara setempat. 

Sebelumnya, hubungan Soekarno dan A Hassan sangat terjalin erat. Saat Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung, A Hassan dan aktvis Persis lainnya rajin membesuk, memberikan makanan dan buku-buku bacaan. Begitupun saat Soekarno dibuang ke sebuah pulau terpencil di Ende, Nusa Tenggara Timur, A Hassan tak pernah berhenti memberikan buku-buku hasil tulisannya kepada Soekarno. Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi  Soekarno menulis bab tersendiri berjudul Surat-Surat dari Ende. Dalam bab ini Soekarno menceritakan rasa terimakasihnya karena A Hassan sering mengirimkan buku-buku bacaan keislaman dan kacang mede kesukaannya. Kepada A Hassan Soekarno juga menyatakan kekagumannya terhadap Natsir yang disebutnya sebagai ”mubaligh bermutu” dari Persis.

Selain menerbitkan majalah, brosur dan buku-buku keislaman. Pada tahun 1936 Natsir dan A Hassan terlibat mendirikan Pesantren di Bandung. A Hassan menjadi kepala pesantren itu, sedangkan Natsir menjadi penasihat pendidikan dan guru di lembaga tersebut. Saat pesantren itu ditutup pada masa Jepang, Natsir juga memberikan andil kepada A Hassan untuk mendirikan Pesantren Persis di Bangil Jawa Timur. Hubungan murid dan guru itu berakhir dipisahkan oleh ajal yang menakdirkan A Hassan lebih dulu berpulang keharibaan-Nya pada 1958. Sementara setelah itu, gerak perjuangan Natsir di medan dakwah terus menderu.*


latestnews

View Full Version