View Full Version
Jum'at, 18 Oct 2019

Antara Joker dan Isu Radikalisme

 

Oleh :

Ana Nazahah, Revowriter Aceh

 

 

BARU-BARU ini, netizen dihebohkan dengan film yang menuai kontroversi. Sosok Joker yang jahat yang diperankan oleh Joaquin Phoenix,  dikhawatirkan menginspirasi masyarakat awam yang mentalnya kurang stabil untuk melakukan aksi serupa. 

Joker sendiri berkisah tentang seorang korban bullying, penolakan dan terusir. Luka batin yang dideritanya telah menjadikannya mental illness. Penindasan yang dialaminya telah menjadikannya sosok penindas pula, bahkan lebih gila dan sadis. Film ini menyuguhkan kesan seram, gelap dan menakutkan.

Jika kita berbicara tentang hal- hal yang menakutkan, mungkin tak ubahnya seperti  Islam garis keras atau sering disebut dengan Islam 'radikal' hari ini. Bisa jadi Islam radikal dalam bayangan masyarakat lebih menyeramkan ketimbang joker sendiri. Karena itulah berbagai program deradikalisme terus digencarkan oleh pemerintah.

Seperti yang disampaikan oleh presiden Jokowi baru- baru ini, menyusul setelah tragedi penusukan terhadap menkopolhukam, "Dan pada seluruh masyarakat saya mengajak bersama-sama untuk memerangi radikalisme dan terorisme di tanah air kita. Hanya dengan upaya bersama-sama, terorisme dan radikalisme bisa kita selesaikan dan berantas dari negara yang kita cintai," Kamis (10/10). Dilansir cnnindonesia.com.

Ya, begitulah. Aksi terorisme yang selalu dikaitkan dengan paham radikal, dan radikal dengan Islam. Pertanyaannya, benarkah Islam radikalisme yang memicu tindak kejahatan terorisme?.

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, radikal /ra·di·kal/  secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Bisa dimaknai teguh dalam berprinsip. Sedang isme sendiri bermakna paham atau pemikiran. Jika dikaitkan dengan Islam, maka bisa bermakna "Seseorang yang teguh memperjuangkan dan atau berpegang pada agama Tauhid." 

Maka alangkah mengherankan, jika Muslim dipaksa untuk melawan Islam yang berprinsip. Ini seolah ada pihak yang sengaja menginginkan Muslim phobia pada agamanya sendiri. Bukan tanpa alasan, sudah sangat banyak fakta yang membuktikan semua itu. Dari aksi pembakaran panji Tauhid Oktober tahun lalu, hingga pembatalan kajian UAS di UGM baru- baru ini, masih menyisakan tanya besar, khususnya bagi mayoritas kaum Muslim.

Terkait aksi terorisme yang dilakukan oknum tertentu terhadap Wiranto. Ini jelas tindakan yang tidak bisa ditolerir, pelakunya harus ditindak tegas. Apapun alasannya dia telah melakukan tindak kejahatan yang keji. Sama halnya dengan Joker, apapun alasannya dia adalah pembunuh gila. Meski sebelumnya dia adalah korban kejahatan. 

Di dalam Islam, nyawa seseorang sangat dihargai, non Muslim sekalipun. Siapapun tidak berhak membunuh manusia manapun, tanpa alasan syar'i. Kecuali dalam peperangan, atau diserang musuh dalam rangka melindungi diri. 

Allah SWT menyatakan dalam sebuah firmanNya yang artinya: “Barangsiapa yang membunuh orang lain tanpa sebab yang dibenarkan, atau karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka ia layaknya membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan orang lain, maka ia layaknya telah menghidupkan manusia seluruhnya” ( al- Maidah : 32).

Joker sendiri berubah menjadi pembunuh setelah dia merasa cukup bersabar menjadi baik. Berbagai masalah merudung kehidupannya, sementara batinnya terus memberontak untuk melawan. Kemudian dia mengalami gangguan jiwa, ia berubah menjadi pembunuh yang menikmati setiap kejahatannya, dengan seringai iblis. Sikap seperti ini sungguh tidak layak ditiru Muslim, maka wajar di Indonesia bahkan di negara asalnya film ini penuh kontroversi.

Banyak kalangan, bahkan spikolog khawatir, jika film ini akan memicu trauma bagi penderita bullying, denial dan rasisme. Selanjutnya ditakutkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama. 

Seperti yang terjadi tujuh tahun yang lalu, seorang pria yang mengaku Joker melepaskan tembakan saat pemutaran sekuel film Batman, The Dark Knight Rises di kota Aurora, negara bagian Colorado. Peristiwa ini menyebabkan 12 orang tewas dan 70 orang lainnya mengalami luka-luka. (cnnindonesia.com)

Masih dilansir cnnindonesia.com. Tragedi kematian Heath Ledger beberapa bulan usai memerankan Joker dalam The Dark Knight pada 2008 menjadi kontroversi besar pertama karakter ini usai diangkat ke layar lebar. Banyak rumor yang mengelilingi kematian aktor berumur 28 tahun itu. Dikatakan bahwa Heath Ledger mengalami kesusahan untuk keluar dari karakter Joker sehingga menggunakan obat-obatan terlarang.

Pembantaian di Aurora dan yang terjadi pada Heath Ledger seharusnya bisa menjadi pelajaran, bahwa adegan negatif di dunia peran pun bisa sangat mempengaruhi pemikiran berikut prilaku seseorang. Apalagi jika itu agenda besar bukan kisah fiktif dalam sebuah film. Perang melawan radikalisme dan terorisme, yang secara sistematis dialamatkan pada Islam ini lebih berbahaya. 

Ditakutkan dengan program yang sistematis terstuktur, radikalisme dan teror akan benar- benar terjadi. Siapa yang akan menjadi korban dari fitnah ini? Tentunya syariat Islam dan umat Islam itu sendiri. 

Seperti halnya Joker, kita bisa tanamkan pikiran bahwa ini hanya sekadar tontonan. Namun, pesan yang masuk lewat alam bawah sadar kita, yakinkah hal- hal negatif mampu difilter otak kita? Demikian juga dengan agenda deradikalisas dan melawan terorisme, dengan mendukung program ini, sudahkah kita yakin bahwa kita sedang tidak phobia pada agama kita sendiri? 

Bukan tidak mungkin "Orang jahat berasal dari orang yang terus disakiti," Namun bagi seorang Muslim yang taat, semakin ujian hidup menerpanya, semakin kokoh iman dan taqwanya. Semakin teguh prinsip mereka dalam beragama. Karena yang mereka kejar ridho Allah SWT, bukan pengakuam manusia. Karena itu, selamanya pula mereka tak akan pernah jatuh ke sifat tercela, bersikap rasis dan teroris. Wallahu'alam.*


latestnews

View Full Version