View Full Version
Sabtu, 07 Dec 2019

Beras dan Telur Ayam: Dibuang Sayang, Dimusnahkan Jangan!

 

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Beras harus segera menjadi tepung. Kalimat ini bukan peribahasa tetapi solusi yang diungkap oleh Budi Waseso, selaku direktur Bulog. Sesuai Permentan no 38 tahun 2018, beras hanya memiliki jangka waktu minimal empat bulan untuk disimpan di gudang Bulog. Dan saat ini, ada 2,3 juta ton beras disimpan di gudang Bulog, dengan 100.000 ton beras memiliki durasi penyimpanan lebih dari empat bulan dan 20 ribu ton diantaranya sudah setahun lebih mendiami gudang Bulog. Maka langkah yang ditempuh adalah membuangnya, melelangnya dengan harga murah, dan langkah itu akan menghabiskan uang negara sebesar 160 miliar.

Sebelum beras, kebijakan 7 juta telur ayam pedaging juga harus dimusnahkan di tiap pekan bulan Desember ini, dengan target 28 telur ayam dimusnahkan hingga akhir bulan. Pemusnahan 1,3 juta telur ayam siap tetas sudah dilakukan bulan juni lalu. Alasan pemusnahannya adalah dalam rangka menjaga kestabilan harga daging ayam di pasar, setelah sebelumnya peternak dirugikan karena turunnya harga daging ayam.

Tak Ada Distribusi dalam Ekonomi Kapitalis

Kedua bahan pangan favorit masyarakat Indonesia ini terpaksa harus dibuang dan dimusnahkan karena melimpahnya pasokan. Kalau beras, melimpahnya pasokan Cadangan Beras Pemerintah, dan untuk ayam pasokannya melimpah di pasar. Dan penyebab overloadnya jumlah mereka adalah karena overload impor keduanya.

Untuk beras, di tahun 2018 menteri perdagangan Enggartiasto Lukita memutuskan untuk impor 2,25 juta ton beras, sementara yang terdistribusikan hanya 100 ribu ton. Begitupun dengan ayam. Di tahun 2017, Indonesia mengimpor 670 ribu indukan ayam, dampaknya sampai sekarang jumlah daging ayam melimpah, harga menjadi turun, dan merugilah para peternak lokal.

Ironinya, di tengah kebijakan membuang dan memusnahkan kedua bahan pangan tersebut, ada 22 juta orang di Indonesia yang hidup kelaparan dan 27,67% anak dalam menderita stunting. Sepertinya pemerintah belum pernah menghayati peribahasa "Bagai ayam mati di lumbung padi".

Pemerintah mengabaikan nasib rakyatnya yang kelaparan, dan bisa menghantarkannya kepada kematian, padahal mereka sebenarnya tengah hidup dalam melimpahnya bahan pangan. Nampaknya pemerintah tengah menghayati prinsip ekonomi kapitalis, yang telah menjadi sumber masalah kegagalan negara menyejahterakan rakyatnya, bahwa peningkatan produksi adalah jalan untuk memenuhi kebutuhan.

Peningkatan produksi dalam arti meningkatkan jumlah dan pasokan barang telah dilakukan, tetapi mengapa masih ada rakyat yang kelaparan? Karena dalam sistem kapitalis, tidak ada konsep distribusi. Tak ada ceritanya bahan pangan telah terdistribusi dengan baik kepada setiap jiwa penduduk. Dan sebagai pengurus rakyat, pemerintah seharusnya memperhatikan dan mengurusi kebutuhan pangan rakyatnya, bukan sekadar mengamankan pasokan jumlahnya. Lebih jauh lagi pemerintah harus memikirkan dan menetapkan kebijakan agar masyarakat bisa terpenuhi kebutuhannya.

Pemerintah juga telah memilih liberalisasi ekonomi dengan membuka kran impor sebesar-besarnya dan menganggapnya sebagai solusi jitu. Walaupun kebijakan yang lahir dengan orientasi liberalisasi, menunjukkan kegagalannya dalam menyejahterahkan rakyat. Sangat terlhat jelas keberpihakannya hanya kepada pengusaha bukan rakyat. Di satu sisi, pengusaha yang memenangkan tender impor beras dan pengusaha kartel meraup keuntungan sebesar-sebesarnya dari kebijakan impor. Di sisi yang lain, rakyat dibiarkan tetap kelaparan.

Mencari Solusi Hakiki

Bila sistem kapitalis gagal menyejahterahkan manusia karena tidak memiliki konsep distribusi dalam sistem ekonominya, Islam memposisikan distribusi sebagai suatu hal yang utama dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Bukan semata-mata karena memiliki uang manusia bisa memenuhi kebutuhannya, namun ada lima jalan yang diberikan oleh Islam untuk itu.

Pertama adalah dengan bekerja yang disyariatkan Allah.

Kedua dengan pewarisan.

Ketiga karena kebutuhan untuk menyambung hidup.

Keempat, pemberian harta negara untuk rakyat.

Kelima adalah harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan kompensasi harta dan tenaga.

Dan tentu saja, praktek pendistribusian bahan pangan dalam Islam ini dijalankan beriringan dengan penerapan sistem yang lain, di bawah kepengurusan negara. Negara berkewajiban memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan untuk setiap jiwa. Negara dalam hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau. Dalam kisah yang mahsyur, sebagai kepala negara yang memiliki tanggung jawab atas kebutuhan rakyatnya, Khalifah Umar bin Khattab memanggul sendiri karung tepung yang akan diberikan kepada keluarga yang kelaparan.

Negara yang menerapkan syariah kaffah dan berorientasi menuai berkah ini akan berdiri sebagai negara yang berdaulat. Sebagai pengurus urusan rakyat, tidak ada yang bisa mengintervensi kebijakannya baik itu dari pengusaha yang hanya beorientasi keuntungan materi maupun organisasi dunia yang beorientasi penjajahan. Masalahnya satu, maukah manusia pengelola negara ini untuk mengambil solusi hakiki yang telah terbukti ini? Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version