View Full Version
Kamis, 12 Dec 2019

Refleksi Akhir Tahun 2019, Cukupkah Hanya Mengganti Rezim?

 

Oleh: Kanti rahmillah, M,Si

Bak gulali, janji manis kampanye Jokowi terus menjadi sorotan. Belum genap 100 hari memimpin bangsa Indonesia, kritikan tajam tak berhenti mengalir pada Istana. Pasalnya, janji manis kampanye tak semanis realisasi. Atas nama proses menuju program terbaiknya, Jokowi seolah ingkar janji. Tak heran demonstrasi menagih janji kerap membanjiri ibu pertiwi.

Janji Jokowi dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan adalah isapan jempol semata. Pertumbuhan ekonomi yag dijanjikan lebih dari 7 persen, nyatanya tak bergerak diangka 5.  Perekonomian lesu, daya beli masyarakat terjun bebas lantaran insentif yang diterima dari pekerjaanya tak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. 

Janji Kesejahteraan

Lebih mengenaskan, Gelombang PHK yang dilakukan sejumlah industri telah melahirkan pengangguran baru. Tingginya biaya produksi dan pajak yang menjerat, telah menggulung pabrik yang bertahan dalam ketidakstabilan rupiah. Begitupun impor pangan yang tak memperhatikan produksi dalam negeri, menyebabkan para petani hengkang dari pekerjaanya. Daripada bertani selalu rugi, lebih baik tanahnya dibiarkan dan mencari pekerjaan baru. Celakanya, pekerjaan baru sungguh sulit di negeri ini. Para petani harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang keberadanya dipermudah oleh sejumlah kebijakan.

Hasilnya, meningkatnya pengangguran akan beriringan dengan tingginya angka kemiskinan. Kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di negeri ini, telah melahirkan 22 juta orang kelaparan  dan 7 juta anak stunting atau gizi buruk. Sungguh memilukan, padahal makanan adalah kebutuhan paling asasi pada manusia. Semakin bertambah kepiluan ini, disaat jutaan orang tak bisa makan sehari tiga kali, bahkan ada yang hanya 2 hari sekali, namun pada saat yang sama, negara menganggarkan 147 triliun untuk pengadaan mobil mewah. Sungguh tak mengenal prioritas.

Kemiskinan pun akan menyuburkan kriminalitas. Kehidupan di alam kapitalisme bak hutan rimba, siapa yang kuat dialah yang mampu bertahan. Tak peduli usahanya merugikan manusia lain, yang penting bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan pun tak dibedakan dengan keinginan, hingga terus menumpuk harta agar segala keinginannya tercapai dan menyentuh kata bahagia versi mereka. Begitulah mayoritas penduduk Indonesia.

Bagaimana dengan yang cacat dan yang tak mempunyai pendidikan juga keterampilan? Siap-siap mereka kalah dan tergilas, karena ekonomi neolib tak pernah mengurusi kemaslahatan rakyat. mereka hanya mengurusi kemaslahatan konglomerat. Jikapun ada kebijakan yang seolah pro rakyat, seperti Kartu Pra Kerja  Jokowi dan Bantuan Tunai Langsung(BLT) di Rezim SBY, yakinlah semua itu adalah kebijakan populis yang mengandung pencitraan.

Jauh panggang dari api, janji kesejahteraan hanyalah lip servise tanpa ada kebijakan yang benar- benar melindungi rakyat. Ini baru berbicara masalaah ekonomi, bagaimana dengan permasalahan kesehatan yang tak kalah amburadulnya? Baru saja dilantik, tariff BPJS meningkat 100 persen disertai dengan semakin buruknya pelayanan. 

Janji Keadilan

Bagaimana dengan janji keadilan? Penyelesaian kasus Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang dijanjikan saat kampanye, nyatanya hingga kini belum selesai. Hukum bak rumah bordil, siapa yang berpengaruh dialah yang memegang kendali. Tajam kebawah, tumpul keatas. Hukum dikangkangi kepentingan politik, lihat saja grasi yang dikeluarkan presiden terhadap para koruptor. Namun untuk Abu Bakar Ba’asir yang ditangkap dengan tuduhan yang tak jelas, tak ada ampun.

Begitupun pasal 28 ayat 2 terkait dengan UU IT. Pasal karet ini telah menjerat manusia-manusia yang lantang menyuarakan kebenaran. Buni Yani, Alfian Tanjung, Asma Dewi dan masih banyak lagi. Namun lihatlah mereka yang merapat pada penguasa, walaupun mereka menista agama, namun hingga kini mereka masih leluasa. Sebut saja Ade Armando, Abu Janda, Sukmawati, Gus muwafik, kesemuannya tak tersentuh hukum walau ketentuan pasal 156a KUHP tentang Pelecehan agama berlaku.

Kabinet baru sibuk mengurusi Radikalisme. Dalam pidato pelantikan menteri barunya, Jokowi meminta dengan khusus Menko Polhukam dan mentri Agama untuk menangani masalah radikalisme. Akhirnya, diawal kepengurusannya, Mahmud Md sibuk mengurusi pancasila dan Mentri agama sibuk memantau masjid, majlis ta’lim sampai Paud/TK, khawatir terpapar radikalisme katanya. 

Nyatanya, radikalisme hanya dijadikan kambing hitam atas bopengnya kepengurusan negri ini. Gurita korupsi semakin menjadi. Penjarahan Sumber Daya Alam yang dilakukan asing adalah legal dimata hukum Indonesia. Akhirnya, sumber pendanaan APBN sebesar-besarnya dari pajak. Kembali rakyat yang harus menanggung. Infrastruktur yang massif dilakukan, nyatanya hanya untuk kepentingan korporasi bukan kepentingan rakyat. Buktinya, jalan tol masif dilakukan, namun bangunan sekolah dan jembatan yang hampir ambruk di Desa tak terperhatikan.

Demokrasi Biang Keladi

Dari kegaduhan yang amat brutal di akhir tahun ini, satu hal yang pasti yaitu semua adalah akibat rezim yang tak berfungsi sebagai pelindung rakyat. Mereka lebih takut pada para cukong-cukong yang telah menghidupi mereka daripada Allah SWT. Syahwat dunia telah membutakan mata dan nurani mereka.

Mengapa negeri ini terus menerus memproduksi penguasa yang lalim? Sudah bosan rasanya mendengar anggota dewan korupsi, terlibat narkoba dan seabrek tingkah mereka yang merugikan negara. Belum ditambah pemimpin yang kebijakannya malah merugikan rakyat. Subsidi dicabut. Kebijakan impor saat panen. Diam-diam menaikan tarif dasar listrik. Mengimpor tenaga kerja asing, padahal rakyat masih banyak yang nganggur. Akhirnya kemiskinan, kelaparan, gizi buruk menjadi tontonan sehari-hari. 

Mengapa para pemangku kebijakan seringnya menelorkan kebijakan yang mendzolimi umat? Karena sistem domokrasi yang dianut negeri ini terus memproduksi pemimpin bervisi materi. Faktanya, yang bisa menyalonkan diri menjadi DPD, DPR, apalagi Presiden haruslah Dia yang mempunyai dana besar. Akhirnya, mereka mencari sponsor kesana kesini. Para pengusaha yang punya dana, akan mencari calon mana yang kira-kira menguntungkannya.

Memang uang tak bisa membeli kepercayaan. Tapi uang bisa menciptakan politik pencitraan. Disodorkanlah oleh banyak media, si calon berdedikasi. Setelah menang, program pertama kembalikan modal dan penuhi keinginan sang pemberi makan. Setelah itu sejahterakan partai dan keluarganya. Bagaimana dengan rakyat? 

Belum lagi kepentingan partai yang mengusungnya, jadilah politik transaksional. Orang-orang yang pintar, cerdas dan bermoral, tersingkir. Mereka adalah kaum minoritas yang akan menghambat lajunya gurita korupsi. Demokrasi Ibarat kolam kotor, sehingga siapa saja yang berusaha membersihkannya dari dalam, secara otomatis akan terkena kotoran tresebut. 

Sesungguhnya, demokrasi itu sebuah sistem rusak dan merusak. Mari berpikir out of the box. Masih ada sistem pemerintahan lainnya. Sistem yang langsung dibuat oleh sang pencipta, sistem pemerintahan yang dapat menerapkan syariat Islam dengan Kaffah.

Oleh karena itu, jika kita tak menginginkan Indonesia menemui akhir nestapanya, maka tak cukup hanya sekadar ganti rezim. Karena rezim buruk yang selalu menghantui negeri ini adalah produk dari sistem demokrasi. Jadi, harus pula diganti sistemnya dengan sistem yang sesuai fitrah manusia yang berasal dari Allah semata. Semoga tahun ini adalah tahun terakhir masa kelam negeri ini. Mari songsong kemenangan dalam meraih keberkahan dengan menerapkan syariat Islam secara Kaffah. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version