View Full Version
Kamis, 09 Jan 2020

Arogansi China di Natuna

 

Oleh:

Ita Harmi

Pengamat Sosial

 

KEADAAN Indonesia saat ini betul-betul bagaikan makan buah simalakama. Dimakan salah, tidak dimakan pun juga salah. Pasalnya adalah kearoganan yang ditunjukkan oleh China atau yang sekarang ingin kembali disebut sebagai Tiongkok di laut Natuna.

China merasa Natuna Utara adalah bagian laut negaranya menurut klaim mereka atas nine-dash-line maupun konsep traditional fishing right. Jurubicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menyatakan bahwa coast guard atau kapal penjaga pantai China justru sedang menjalankan tugasnya untuk melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan iklan nelayan China (traditional fishing right). 

Indonesia sendiri telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaikan sengketa antara Filipina dan China. Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim China atas nine-dash-line maupun konsep traditional fishing right. 

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan nine-dash-line maupun traditional fishing right yang diklaim oleh China, (RMOL.ID, 2/1/2020). Sehingga China seharusnya tidak keras kepala berhati batu untuk tetap bertahan melaut di lautan Natuna.

Anehnya, pejabat nusantara justru menampakkan sikap yang biasa- biasa saja dalam menanggapinya. Tidak segarang saat menghadapi aksi demo oleh rakyat yang terjadi pasca Pilpres tahun kemarin. Dua kementrian malah mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan malah berkata bahwa China adalah negara sahabat, karenanya tidak mengapa jika kapal mereka mengambil sedikit keuntungan dari kekayaan sumber daya laut Indonesia. Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia bersikap kompak atas hal ini. Dia mengatakan bahwa masalah ini janganlah terlalu dibesar- besarkan.

Pernyataan dua pejabat NKRI tersebut tentu menimbulkan kontroversi ditengah-tengah masyarakat. Mereka malah bersikap defensif daripada ofensif saat kedaulatan NKRI dinodai oleh negara luar.

Banyaknya jumlah pinjaman dana yang digelontorkan oleh China pada Indonesia menjadi indikasi kuat lemahnya pembelaan pihak berwenang dalam menghadapi arogansi negara tirai bambu tersebut. Dalam dunia kapitalisme, sudah menjadi rahasia umum jika rentenir memiliki hak untuk mengambil alih apapun kepunyaan si peminjam jika pembayaran hutang mengalami kendala.

Natuna dengan segala sumber daya alamnya bagaikan intan berlian, memang sangat pas jika dijadikan sebagai tumbal dari hutang yang telah disepakati. Diketahui dari Pelaksana Teknis Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono mengungkapkan bahwa cumi-cumi menjadi komoditas laut dengan potensi hasil paling banyak. Setidaknya ada 23.499 ton potensi cumi-cumi per tahun di Natuna. Untuk komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. 

Pada tahun 2014, tingkat pemanfaatan ikan pelagis hanya mencapai 99.037 atau 37.8% dari total jumlah tangkapan yang dibolehkan. Selebihnya yaitu sebesar 163.343,8 ton/tahun (62.25%) belum dimanfaatkan. Sementara itu, potensi ikan demersal di Kabupaten Natuna mencapai 159.700 ton/tahun, tingkat pemanfaatan pada tahun 2014, hanya sebesar 40.491 ton (25.4% dari potensi lestari). Artinya, masih ada sekitar 119.209 ton/tahun (74.6%) ikan demersal yang belum dimanfaatkan di Kabupaten Natuna. (DetikFinance, 5/01/2020).

Itu semua belum termasuk potensi kekayaan tambang alamnya. Menurut Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam laporan Asia Maritime Transparancy Initiative, Badan Informasi Sumber Daya Alam dan Energi AS mencatat Laut Cina Selatan memiliki 5,3 triliun meter kubik cadangan gas dan 11 miliar barel minyak di sepanjang wilayah Laut Cina Selatan yang disengketakan. Sementara Badan Survei Geologi AS pada 2012 memperkirakan 4,5 triliun meter kubik gas alam cair dan 12 miliar barel minyak di bawah Laut Cina Selatan. (Tempo, 21/07/2019).

Dengan begitu melimpahnya harta karun yang tersimpan di Natuna, siapa yang tidak akan "ngiler" untuk menguasainya. Inilah yang menjadi alasan China merasa perlu untuk meraih sejengkal demi sejengkal wilayah yang jelas-jelas masuk teritorial Indonesia.

Imperialisme atau penjajahan memang menjadi cara baru bagi dunia kapitalisme untuk menaklukan dan menguasai daerah tertentu. Dulu mereka memakai cara kekerasan dengan kontak fisik. Sekarang mereka lebih lihai lagi. Pinjaman hutang menjadi cara yang halus tanpa disadari oleh negara peminjam bahwa ia dalam kondisi terjajah.

Dalam menghadapi situasi ini, seharusnya Indonesia membela apa yang menjadi hak negaranya. Sifat politik internasional Indonesia yang bebas aktif harusnya tidak membuat Indonesia menjadi lemah karena hutang. Sebab perkara hutang dan harga diri negara, dalam hal ini adalah kedaulatan wilayah NKRI, berada pada sisi yang berlainan, tidak dapat di campur aduk. Indonesia harusnya membela dan berani mempertahankan tiap jengkal tanahnya dari rongrongan penjajah.

Dalam pandangan Islam, pemenuhan kebutuhan rakyat oleh negara dibiayai dari berbagai jenis sumber. Sumber yang utama tentu saja didapatkan dari pengolahan kekayaan sumber daya alam yang terkandung didalam negeri. Kemudian dari pengumpulan zakat, jizyah, ghanimah, kharaj, dan sebagainya. Sumber-sumber tersebut sudah memiliki saluran tersendiri dalam penggunaannya.

Jika kas negara mengalami defisit, bukan hutang pada negara asing yang diambil sebagai jalan keluar, akan tetapi negara berhak memungut pajak hanya kepada warga negara yang memiliki harta kekayaan berlimpah. Dengan demikian, negara tidak harus berhutang pada luar negeri dengan menggadaikan kedaulatan wilayahnya sendiri. Lebih dari itu, marwah negara juga akan lebih tinggi dimata negara asing, sehingga mereka tidak dengan seenaknya meremehkan kekuatan negara kaum muslim.

Adapun satu-satunya cara dalam menghadapi negara asing yang berani secara terang-terangan merongrong wilayah kedaulatan negara adalah dengan cara berperang. Apalagi jika negara asing tersebut juga memusuhi Islam dan telah membunuh kaum muslim. Sebagaimana yang terjadi di Uyghur, pihak China telah menumpahkan darah kaum muslim disana. Mereka termasuk pada golongan  kafir harbi muharibah fi'lan (yaitu negara kafir yang de facto tengah memerangi kaum Muslim), maka Daulah (negara) tidak dibolehkan melakukan interaksi apapun kecuali jihad fi sabilillah. Tidak diperkenankan membuka hubungan diplomatik, hubungan dagang, atau perjanjian lainnya. Warga negara kafir harbi muharibah fi 'lan tidak memperoleh jaminan keamanan kecuali jika mereka datang ke Daulah Islamiyah untuk mendengarkan Kalamullah.

Firman Allah Swt:

"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya." ( at-Taubah [9]: 6).

Pengecualian lainnya adalah jika orang itu datang untuk menjadi warga negara Daulah (menjadi kafir dzimmi). Firman Allah Swt:

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka tidak memmmngharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk." (TQS. at-Taubah [9]: 29).

Pada masa akhir kekhilafahan Utsmaniyyah di Turki, Sultan Abdul Hamid II pernah melakukan kerjasama proyek rel kereta api yang rencananya dibangun sampai ke Makkah untuk kepentingan kaum muslim saat musim haji dan urusan dagang. Dalam proyek tersebut, Inggris dijadikan sebagai mitra kerja pembangunan rel kereta. Namun Sultan segera mengetahui rencana busuk Inggris yang ingin menghancurkan daulah masa itu.

Maka dengan segera pula Sultan Abdul Hamid II mengusir para pekerja negara asing tersebut demi menyelamatkan keutuhan wilayahnya. Tak hanya itu, pernah suatu kali, seorang Theodore Herzl, penggagas pembentukan negara Israel, dengan lancangnya meminta tanah Palestina untuk dijadikan tanah milik Yahudi. Dengan tegas dan penuh amarah Sultan Abdul Hamid mentah-mentah menolak permintaannya tersebut, kemudian mengusir Theodore Herzl dan melarangnya untuk kembali memasuki wilayah daulah.

Begitulah seharusnya sikap yang diambil oleh seorang pemimpin terhadap negara asing yang mencoba merusak keamanan negaranya. Kepemimpinan yang didasarkan pada rasa takut akan Allah Ta'ala tentu akan amanah dalam mengurus rakyat dan negaranya.Wallahu a'lam bishawab.*


latestnews

View Full Version