View Full Version
Jum'at, 13 Nov 2020

Jakarta Amburadul? Jangan Ngoco Ah!

Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Amburadul! Begitu kata ketua umum PDIP, Megawati dalam menilai Kota Jakarta. Satu alasannya, karena research Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tidak menempatkan Jakarta sebagai tiga besar city of intellectual.

Menurut research UNJ, ada tiga kota yang meraih nilai tertinggi dalam city of intellectual, yaitu Semarang, Solo dan Surabaya. Ketiga kota itu dipimpin oleh Wali Kota dari PDIP.

Kita mulai dari pertanyaan: pertama, apa indikator yang dijadikan dasar untuk merangking city of intellectual? Kedua, apakah indikator city of intelektual sama dengan indikator ketertiban kota? Lanjutan dari pertanyaan kedua ini adalah apakah setiap kota yang tidak masuk tiga besar city of intellectual itu amburadul? Maksudnya, selain kota Semarang, Solo dan Surabaya itu amburadul? Lebih tegas lagi, apakah setiap kota yang kepala daerahnya tidak dipimpin kader PDIP itu amburadul?

Pertanyaan-pertanyaan ini layak muncul. Kenapa? Pertama, masyarakat selama ini mengenal kota pelajar itu Jogjakarta, Bandung dan Malang. Sementara Semarang, Solo dan Surabaya lebih dikenal sebagai kota industri dan perdagangan. Bukan kota pelajar, atau kota pendidikan. Apalagi kota intelektual.

Kedua, ungkapan Megawati ini muncul setelah Jakarta dinobatkan sebagai kota terbaik dunia dalam Sustainable Transport Award (STA) oleh Institute For Transportation and Development Policy (ITDP). Ini yang pertama kali untuk kota di Asia Tenggara.

Satu dari enam anggota peneliti UNJ, Prof. Hafiz Abbas, kebetulan saya berteman baik dengan beliau, telah mengklarifikasi bahwa tidak ada hubungan antara city of intellectual dengan tertib atau amburadulnya sebuah kota. Indikatornya tidak sama. Apalagi kalau kemudian dibawa-bawa ke area politik.

Ada lima Indikator yang dipakai untuk menetapkan city of intellectual. Diantaranya soal biaya hidup yang lebih murah bagi mahasiswa seperti di Solo, lebih aman seperti di Semarang, dan mudah cari kerja seperti di Surabaya.

Meski indikator-indikator ini masih bisa diperdebatkan secara akademik, namun temuan research ini harus kita apresiasi. Yang pasti, indikator-indikator itu tak menunjukkan sama sekali keterkaitannya dengan tertib atau amburadulnya sebuah kota. Penduduk kota bukan hanya mahasiswa. Mahasiswa hanya kelompok kecil masyarakat dan umumnya perantau sementara. Anak kos kosan yang kebutuhannya berbeda dengan umumnya masyarakat. Bagaimana mungkin mereka dianggap mewakili situasi kota?

Dengan ini dapat disimpulkan pertama, mahasiswa tidak merepresentasikan seluruh kelompok sosial perkotaan. Kedua, intelektualitas tidak berbanding lurus dengan situasi dan dinamika sosial. Intinya, ukuran atau indikatornya berbeda.
 
Banyak kalangan yang melihat bahwa penilaian "amburadul" oleh Megawati atas Jakarta ini terkesan emosional dan politis. Diduga, ini buntut dari berbagai penghargaan yang diberikan oleh sejumlah lembaga, baik nasional maupun internasional kepada Pemprov DKI.

Publik paham, Anies punya kans untuk jadi capres terkuat di pilpres 2024. Bagi PDIP, ini ancaman. Ada nuansa ingin selalu menjatuhkan Anies, tapi gagal. Mengapa PDIP tidak melakukan evaluasi dan membuka kemungkinan untuk balik arah dan mendukung Anies? Berpolitik mesti realistis.

Kalau Jakarta amamburadul, berarti lembaga-lembaga itu gak kredibel, karena memberi penghargaan kepada kota yang amburadul. Termasuk BPK yang secara berturut-turut memberi WTP dan KPK yang memberi tiga penghargaan kepada Pemprov DKI. Begitu juga Tom Tom Indeks dan ITDP yang bermarkas di New York USA. Apakah lembaga-lembaga itu perlu disangsikan kredibelitasnya?

Sontak pernyataan nyinyir ketum PDIP mendapat reaksi negatif dari publik. Dipertanyakan, bahkan dibully. Sebab, apa yang diungkapkan ketum PDIP menurut publik dianggap berbanding terbalik dengan fakta yang ada.

Masyarakat perlu obyektif melihat Jakarta. Obyektifitas membutuhkan ukuran-ukuran logis yang diterima oleh rasionalitas yang netral, wajar dan terukur.

Tertib atau amburadulnya kota mesti dilihat dari semua sisi. Diantaranya pertama, soal regulasi. Dalam konteks daerah, ada perda, pergub, kepgub dan ingub. Adakah aturan-aturan tersebut yang tumpang tindih dan over laping? Sepertinya ini tidak terjadi di Pemprov DKI. Tapi, justru terjadi pada UU Omnibus Law Cipta Kerja. Anies tidak ada urusan dengan UU itu. Itu urusan DPR dan presiden, bukan urusan Anies.

Kedua, dari sisi administrasi Jakarta. Apakah amburadul, atau tertib? Bagaimana masyarakat mengurus perizinan, membuat KTP, urus surat kematian, dll. Mudah, atau berbit-belit? Ini bisa jadi ukuran.

Ketiga, lihat infrastrukturnya. Bagaimana pembangunan infrastruktur di Jakarta? Makin semerawut, atau makin rapi? Makin membuat masyarakat nyaman, atau makin menyebabkan hidup gak tenang? Taman berkurang, atau malah nambah? Jalan dan trotoar menyempit, atau makin lebar? Fasilitas umum makin banyak atau makin sedikit?

Keempat, soal transportasi. Apakah pengguna transportasi umum makin banyak, atau makin sedikit? kemacetan bertambah, atau berkurang? Faktanya, terjadi lonjakan jumlah pengguna transportasi umum. Dari 360 ribu penumpang per hari di tahun 2017, sekarang lebih dari satu juta. Kemacetan yang semula berada di peringkat 4 kota termacet di dunia, sekarang peringkat ke 10.

Kelima, terkait situasi sosial. Jakarta makin rusuh karena tawuran sosial dan pelajar, atau makin adem. Ini erat hubungannya dengan pola dan kemampuan komunikasi pemimpinnya. Kalau pemimpinnya suka marah-marah, gebrak meja dan senang memaki, Jakarta dipastikan akan terus gaduh dan makin amburadul. Tapi, kalau pemimpinnya tenang, warganya juga akan ikut tenang.

Keenam, terkait urusan hukum. Jika gubernur dan para pejabat Pemprov DKI suka laporkan para pengkritiknya ke polisi, pasti Jakarta akan gaduh. Tapi, jika gubernurnya tahan kritik, memberi ruang demokrasi dan lahan untuk demonstrasi, potensi kegaduhan bisa ditekan.

Nah, apa yang diungkapkan di atas adalah bagian dari indikator yang bisa anda jadikan dasar  untuk menilai tingkat tertib atau amburadulnya kota Jakarta secara terukur, fair dan obyektif. Kecuali jika anda memang sengaja mencari-cari kesalahan. Kalau itu niatnya, suka-suka andalah. [PurWD/voa-islam.com]

Jakarta, 13 Nopember 2020


latestnews

View Full Version