View Full Version
Senin, 18 Jan 2021

Ibu Risma, Ngono Yo Ngono tapi Ojo Ngono

 

Oleh:

Tony Rosyid || Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

 

BIKIN gaduh aja! Begitulah kesan publik terhadap Risma. Jabatannya mensos, tapi upla uplek di Jakarta cari gelandangan.

Setelah menemui gelandangan di Jl. Thamrin, kini Risma kasih rekomendasi gelandangan jadi pegawai di BUMN. Apakah langkah Risma ini akan menyelesaikan persoalan? Tidak! Yang ada justru muncul persoalan baru.

Pertama, berapa banyak gelandangan yang bisa ditampung di BUMN? Kalau jumlah gelandangan di kota-kota besar jumlahnya jutaan, termasuk di Surabaya, apa akan bisa ditampung di BUMN? Gak mungkin! Di bawah jalan tol Waru-Tanjung Perak Surabaya saja ada 175 gelandangan. Itu baru satu tempat. Di Surabaya, juga kota-kota lain, ada banyak kolong yang jadi tempat tinggal bagi gelandangan. Mau ditampung semuanya di BUMN? Ngayal!

Justru, upaya Risma memberi kerjaan hanya untuk segelintir gelandangan akan dianggap publik sebagai pencitraan belaka.

Kenapa Risma tidak memperbanyak tempat-tempat penampungan di berbagai kota besar. Di tempat-tempat ini, para gelandangan dikumpulkan, dan dilatih skillnya agar bisa bekerja atau usaha. Ini jauh lebih efektif sebagai solusi.

Tapi, gak mudah mengumpulkan mereka dalam satu tempat. Mereka terpencar di berbagai lokasi. Banyak yang gak mau dilokasir. Ini problem klasik yang dihadapi setiap pemda terkait gelandangan. Risma pasti tahu soal ini. Karena itu, gak boleh ada dusta diantara kita.

Kedua, soal skill. Banyak yang punya skill, berpendidikan lagi, tapi susah cari kerja. gak diterima di banyak perusahaan. Karena memang, lapangan kerja makin sempit. Ini gelendangan, sekolahnya entah apa, dan bagaimana juga skillnya, masuk di BUMN. Ingat, bekerja di BUMN itu seksi. Gajinya aduhai.

Tapi keren, Risma bisa memberi rekomendasi ke kementerian BUMN. Apakah Erick Tohir sebagai Menteri BUMN bisa mengakomodir pola Risma yang spontan dan instan ini?

Terakhir, Risma mau bikinin KTP buat para pengemis dan gelandangan. Lagi-lagi, urusan KTP itu urusan dukcapil, dibawah mendagri Tito Karnavian.

Soal e-KTP, ada prosedurnya. Harus jelas asal usul orangnya. Ada teknis mengurusnya. Di RT-RW semua data akan diverifikasi.

Warga mana, sudah punya KTP atau belum, bagaimana dengan KK-nya. Kalau dari desa, mesti ada surat pindah domisili. Prosedur ini dibuat untuk menghindari KTP ganda. Aturan ini ada di kemendagri.

Apalagi, tahun 2018 adalah akhir kemendagri tuntaskan urusan KTP. Kalau sekarang Risma mau bikinin KTP buat para gelandangan, ini jadi tamparan buat mendagri. Seolah urusan KTP ini gak pernah beres.

Akan jauh lebih bijak Risma mendata lebih dahulu para gelandangan di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Verifikasi secara detail identitas mereka. Gali lebih mendalam apa masalahnya. Setelah data-data itu terverifikasi, cari solusi, termasuk menjalin kerjasama lintas kementerian dan pemda.

Semangat boleh, gebrakan juga oke oke aja, kerja cepat itu bagus, tapi gak bisa spontan dan instan. Semua perlu dikerjakan secara sistemik. Ada data dan perencanaan.

Risma itu mensos, bukan presiden. Kalau presiden, bisa perintahkan menteri-menteri lain. Juga sudah ada mekanisme koordinasi yang lazim dengan daerah. Risma mestinya tidak bertindak sebagai presiden. Ingat, gak ada visi menteri, yang ada visi presiden.

Kecuali jika tujuannya untuk persiapan pilgub DKI 2022. Kalau itu targetnya, Risma sungguh gak cerdas. Sebab, langkahnya membuat publik, termasuk warga DKI, malah gak simpati. Buktinya, Forum RT-RW se-DKI malah menuduh Risma bikin gaduh. Artinya, sepak terjang Risma direspon negatif oleh warga DKI. Juga oleh rakyat Indonesia. Ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono!*


latestnews

View Full Version