View Full Version
Rabu, 16 Jun 2021

RUU KUP, Beban Baru Rakyat atau Sumber Pemasukan Pokok?

 
Oleh:
 
Anita Irmawati || Pemerhati Kebijakan Publik
 
 
 
DRAF Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) tentang pengenaan pajak yang diatur dalam Pasal 4A menjadi kontroversi. Bagaimana tidak? Saat situasi masih pandemi dengan teganya membuat wacana pajak atas kebutuhan pokok masyarakat.
 
Dalam draf tersebut, pemerintah berencana untuk memberlakukan pajak bagi kebutuhan pokok dan sejumlah layanan jasa seperti jasa pelayanan kesehatan, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat dan air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan uang logam dan jasa pengiriman uang dengan wesel, (PikiranRakyat.com, 10/06/21).
 
Namun, pemberlakuan pajak bagi kebutuhan pokok menjadi sasaran amuk utama. Lantaran, hal ini akan berimbas langsung terhadap masyarakat. Setidaknya terdapat 13 bahan pokok yang akan dikenakan PPN seperti beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi. Semuanya merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
 
Pengenaan pajak terhadap kebutuhan pokok tentu saja berimbas pada beban baru bagi masyarakat. Apalagi, memperhitungkan situasi pandemi yang mengguncang ekonomi. Mengapa wacana pajak sembako menjadi opsi? Padahal, peran negara adalah menjamin kebutuhan masyarakat agar terpenuhi. Bukan membebani.
 
 
Peran Krusial Pajak dalam Sumber Pemasukan Negara
 
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara adalah semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri.
 
Dilansir dari Kemenkeu.go.id (8/1/20), realisasi penerimaan negara penghujung 2019, menerangkan bahwa realisasi pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.545,3 triliun (86,5% dari target APBN tahun 2019),  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp405 triliun (107,1% dari target APBN tahun 2019) dan hibah sebesar Rp6,8 triliun.
 
Tentu saja secara kasat mata, pajak merupakan sumber utama dalam pemasukan negara. Berdasarkan data tersebut, penghujung 2019 (sebelum pandemi melanda Indonesia) pajak menjadi penyumbang 80% pemasukan negara yang bersifat krusial
 
Pemberlakuan pajak terhadap kebutuhan pokok bisa jadi sebagai lampu merah pemasukan negara dalam bahaya. Akibat sektor pemasukan lainnya tak bisa menutupi pengeluaran karena pandemi yang membatasi interaksi.
 
 
Sumber Pemasukan Pokok Sejati
 
Berbanding terbalik dengan hutang luar negeri yang menggunung tinggi. Bank Indonesia (BI) melaporkan, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal I-2021 sebesar 415,6 miliar dollar AS atau setara Rp 5.943,1 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dollar AS), (Kompas.com, 21/05/21).
 
Tentu saja hal ini menjadi PR besar dalam menjalakan roda pemerintahan. Pemasukan berkurang tetapi pengeluaran dan hutang luar negeri membengkak semakin tinggi? Mengapa bisa terjadi?
 
Seharusnya, pemerintah mampu menghitung dan memprioritaskan pengeluaran di saat pandemi. Sepertinya memprioritaskan anggaran kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat. Dan menunda beberapa pembangunan infrastruktur dan pos pengeluaran yang membengkak lainnya. Termasuk membabat habis penyalahgunaan keuangan seperti korupsi.
 
Begitupula dengan pos-pos pemasukan negara yang seharusnya tidak mengandalkan pajak dan hutang luar negeri sebagai sumber utama pemasukan negara. Karena Indonesia merupakan negara yang kaya secara sumber daya alam. Seharusnya hal ini merupakan pendapat utama dari pemerintah. Berapa banyak tambang emas, tambang migas, dan tambang-tambang lainnya yang dimiliki Indonesia? Sudah pasti hal ini mampu menutupi pengeluaran negara.
 
Pun dengan ketergantungan pajak yang melenakan. Hingga penyalahgunaan anggaran yang berujung korupsi para penjabat tinggi. Inilah yang seharusnya dibenahi. Bukan membebani rakyat dengan pajak kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu, pajak sembako adalah kedzaliman akibat kelalaian dalam pengaturan keuangan.*

latestnews

View Full Version