ALEPPO, SURIAH (voa-islam.com) - Dalam salah satu eskalasi paling signifikan sejak gencatan senjata 2020, faksi oposisi Suriah meluncurkan Operasi Pencegahan Agresi, merebut kembali wilayah utama di Aleppo barat dan Idlib timur sambil menimbulkan kerugian besar pada pasukan rezim dan sekutu mereka. Serangan tersebut menandai perubahan kritis dalam keseimbangan kekuatan di Suriah barat laut, dengan implikasi bagi milisi yang didukung Iran, Turki, dan Rusia.
Perolehan Wilayah yang Cepat dan Kemajuan Strategis
Pasukan oposisi berkoordinasi melalui ruang operasi terpadu Fathul Mubin yang melibatkan ribuan pejuang, yang memungkinkan mereka merebut kembali lebih dari puluhan desa dan titik-titik strategis di wilayah seluas 245 kilometer persegi dalam waktu kurang dari 48 jam sejak Rabu (27/11/2024). Perolehan utama meliputi Al-Hota, Urum al-Kubra, Ainjara, Khan al-Asal, dan Resimen ke-46, benteng militer rezim utama di sebelah barat Aleppo.
Perolehan ini telah membawa pasukan oposisi hingga satu kilometer dari kota Aleppo, yang menandai pelanggaran signifikan pertama di garis depan sejak gencatan senjata Maret 2020. Sumber-sumber pro-rezim melaporkan kerugian besar selama pertempuran untuk Resimen ke-46, termasuk kematian lebih dari 15 perwira dan petempur.
Selain ini pejuang oposisi juga berhasil merebut berbagai senjata berat dari militer rezim termasuk puluhan tank berbagai jenis, kendaraan lapis baja, senjata anti-tank,
Iran Menderita Pukulan Besar
Damas Post menyoroti kematian Brigadir Jenderal Keyomarth Pourhashemi, komandan penasihat militer Iran di Aleppo, sebagai akibat utama dari serangan tersebut. Media pemerintah Iran mengonfirmasi kematiannya pada 28 November, dengan pasukan oposisi menargetkan pusat komando dan infrastruktur milisi Iran. Ini menandai kemunduran signifikan bagi Iran, yang pengaruhnya di kawasan itu terus menurun di tengah meningkatnya tekanan regional.
Operasi tersebut tampaknya secara strategis bertepatan dengan gencatan senjata baru-baru ini antara Israel dan Hizbulata di Libanon, yang kemungkinan untuk mencegah Hizbulata mengalihkan pasukannya ke Suriah utara. Analis berpendapat bahwa Iran dan Hizbulata mungkin telah berupaya untuk memposisikan kembali pasukan mereka yang mendukung rezim tersebut jauh dari wilayah perbatasan Israel, sesuai tuntutan Israel yang sudah lama, dan sebaliknya berkonsentrasi pada provinsi Aleppo, Idlib, dan Deir Ezzor.
Posisi Turki dan Perhitungan Regional
Menurut Syria TV, pejabat Turki memandang operasi tersebut sebagai pengingat akan wilayah luas yang sebelumnya dikuasai oleh faksi oposisi, termasuk sebagian besar provinsi Idlib dan sebagian besar pedesaan Aleppo. Seorang pejabat senior Turki mengatakan kepada Middle East Eye bahwa operasi tersebut sejalan dengan batas zona de-eskalasi Idlib 2019 yang disepakati oleh Turki, Rusia, dan Iran. Turki tampaknya menggunakan serangan ini untuk menguji toleransi Rusia terhadap pergeseran teritorial yang terbatas dan untuk menekan Iran agar menghalangi negosiasi Ankara-Damaskus. Sementara itu, tanggapan Rusia sejauh ini tidak terlalu keras dibandingkan dengan eskalasi sebelumnya, meskipun serangan udara di Idlib timur dilanjutkan pada hari Kamis (28/11/2024), yang dilaporkan menyebabkan korban sipil.
Implikasi Kemanusiaan dan Geopolitik
Perolehan teritorial yang cepat oleh oposisi telah membuka jalan bagi kemungkinan kembalinya lebih dari 100.000 warga sipil yang mengungsi ke rumah mereka yang sebelumnya terusir oleh rezim Assad dan sekutunya, sehingga meringankan sebagian penderitaan kemanusiaan di wilayah tersebut. Namun, meningkatnya kekerasan menimbulkan kekhawatiran tentang ketidakstabilan regional yang lebih luas.
Operasi Pencegahan Agresi sedang membentuk kembali dinamika konflik di Suriah barat laut, menantang pengaruh Iran dan rezim sambil menguji batas-batas keterlibatan Turki dan Rusia.
Perkembangan yang sedang berlangsung menunjukkan lanskap yang tidak stabil dan berubah dengan cepat, di mana pertempuran lokal memiliki implikasi geopolitik yang luas. (SNHR)