

TEL AVIV, ISRAEL (voa-islam.com) - Partai menteri ekstrimis Yahudi Israel Itamar Ben Gvir tengah mendorong undang-undang baru untuk membatasi azan di masjid.
Dalam pernyataan yang dirilis pada Ahad (28/12/2025), partai Jewish Power (Kekuatan Yahudi) menyatakan sedang menggarap rancangan undang-undang yang akan melarang azan kecuali jika memperoleh izin dari negara.
Persetujuan izin akan bergantung pada kriteria yang ditetapkan otoritas, termasuk tingkat volume suara, langkah-langkah peredam kebisingan, lokasi masjid, kedekatannya dengan kawasan permukiman, serta dampaknya terhadap warga sekitar.
Draf undang-undang tersebut diajukan oleh Ketua Komite Keamanan Nasional Zvika Fogel dan bertujuan membatasi apa yang ia sebut sebagai “kebisingan yang tidak masuk akal” dari muazin, yakni orang yang mengumandangkan azan.
Warga Palestina yang merupakan warga negara Israel mengecam keras usulan RUU tersebut dan menolak klaim bahwa azan merupakan persoalan kebisingan.
Mereka menilai legislasi itu sebagai manifestasi lain dari dorongan pemerintah Israel untuk menghapus identitas keagamaan dan budaya Palestina.
“Ini bukan soal kebisingan. Azan bukan kebisingan,” kata Khaled Zabarqa, pengacara dan aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Lod, kepada Middle East Eye.
“Azan telah ada selama ratusan tahun dan dikumandangkan setiap hari sejak Israel berdiri. Ia tidak tiba-tiba menjadi masalah kebisingan,” ujarnya.
Menurut Zabarqa, RUU tersebut merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menjudaikan ruang publik di seluruh Israel dan wilayah Palestina yang diduduki dengan menghilangkan simbol-simbol identitas non-Yahudi.
“Azan adalah simbol identitas keagamaan dan nasional warga Palestina di dalam Israel,” katanya.
“Ia mengingatkan mereka, dan dunia, bahwa tanah ini memiliki identitas dengan akar, sejarah, dan peradaban yang mendalam.”
Berdasarkan usulan tersebut, polisi dapat memerintahkan penghentian segera penggunaan pengeras suara jika ketentuan dilanggar. Pelanggaran yang berlanjut memungkinkan aparat menyita peralatan tersebut.
Sanksi yang diatur dalam RUU itu tergolong berat. Pemasangan atau pengoperasian pengeras suara tanpa izin akan dikenai denda 50.000 shekel (sekitar US$15.660). Pelanggaran terhadap ketentuan izin akan dikenai denda 10.000 shekel (sekitar US$3.100).
Dalam nota penjelasannya, partai Jewish Power menyebut kebisingan dari masjid sebagai “bahaya kesehatan” dan mengklaim undang-undang yang ada saat ini tidak menyediakan perangkat yang memadai untuk mengatasi masalah tersebut.
Upaya membatasi atau melarang azan di Israel bukan hal baru.
Pada 2017, RUU serupa yang berupaya melarang penggunaan pengeras suara untuk azan sempat lolos pembacaan pertama di parlemen Israel, Knesset, namun tidak pernah disahkan.
Tahun lalu, Ben Gvir menginstruksikan polisi untuk mencegah masjid menyiarkan azan, dengan alasan azan “mengganggu” warga Yahudi.
Mengomentari draf RUU terbaru, Ben Gvir mengklaim bahwa azan di banyak wilayah merupakan “kebisingan yang tidak masuk akal” yang merugikan kesehatan dan kualitas hidup warga.
“Ini adalah fenomena yang tidak bisa diterima,” katanya, seraya menambahkan bahwa legislasi tersebut akan memberikan kewenangan kepada polisi yang saat ini belum mereka miliki.
Fogel menggemakan pernyataan tersebut.
“Muazin yang menggunakan volume luar biasa keras bukan isu keagamaan,” katanya. “Ini adalah soal kesehatan publik dan kualitas hidup. Warga tidak bisa terus menderita akibat pelanggaran hukum yang sistematis.”
Kamal al-Khatib, mantan wakil pimpinan Gerakan Islam di Israel yang kini dilarang, mengatakan bahwa meskipun telah berulang kali ada upaya membatasi azan di masa lalu, usulan kali ini sangat berbahaya karena berupaya mengukuhkan larangan tersebut dalam undang-undang.
Khatib, yang juga seorang imam di masjid kampung halamannya di Kafr Kanna, menyebut langkah ini sebagai bab baru dalam apa yang ia sebut perang agama terhadap umat Islam di Israel.
“Ini terjadi di tengah gelombang fanatisme agama yang menyapu masyarakat Israel,” ujarnya kepada Middle East Eye.
“Ben Gvir tidak lebih dari salah satu manifestasi fanatisme tersebut. Serangan terhadap masjid—baik dengan membatasi azan, melarangnya sama sekali, atau menjatuhkan denda besar—merupakan konfrontasi langsung dengan keyakinan rakyat kami.”
Ia menegaskan bahwa segala bentuk pembatasan terhadap azan harus ditolak secara mutlak.
“Azan adalah ritus keagamaan yang sudah ada sebelum Ben Gvir dan sebelum [Perdana Menteri Benjamin] Netanyahu, dan ia akan tetap ada setelah mereka, insyaallah,” tambahnya. (MeMo/Ab)