Oleh: Ust. Dr. Abdurrahman muhammad
Banyak orang yang bertanya-tanya mengenai hikmah di balik peristiwa gempa yang menghantam dunia. Gempa yang biasanya menyapu dan menghancurkan sarana infrastruktur, menjatuhkan korban ribuan bahkan puluhan ribu manusia. Apa sebenarnya hikmah dari kejadian gempa yang dahsyat seperti gempa tektonik dan tsunami yang melanda propinsi NAD dan Sumut dan menyapu seluruh pesisir kawasan Asia.
Kita sama sekali tidak bermaksud menolak ketentuan (takdir) Allah. Akan tetapi kita hanya ingin mengetahui hikmah yang ada di balik peristiwa ini? Kemudian apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi trajedi bencana ini?
Manusia di dunia ini selalu harus menghadapi berbagai bencana. Kadang-kadang bencana terjadi sebagai pembalasan illahi atas dosa dan kejahatan individu dan atau masyarakat yang menyimpang dari ketentuan Allah SWT, seperti badai banjir yang menghantam kaum Nabi Nuh a.s. Kadang-kadang juga terjadi sebagai cobaan untuk menguji hamba-hamba Allah yang mukmin. Bencana bagi orang-orang beriman bertujuan untuk memperbaiki diri mereka. Perbaikan diri ni terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, bagaimana sikap orang yang diuji dengan bencana?
Kedua, peran apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak tertimpa bencana?
Sebelum kita mulai membahas secara lebih terperinci kedua hal di atas, kami ingin jelaskan beberapa hal berikut yang menyangkut hikmah bencana secara global dulu:
1. Dalam kehidupannya, manusia selalu merubah sikap dan tingkah lakunya antara kebaikan dan keburukan, sesuai manfaat atau mudarat yang diperolehnya, serta dipengaruhi hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan. Itu merupakan hal yang biasa dan alami, atau konsekuensi atas tugas al khilafah fil ardli (mewarisi bumi) yang diserahkan oleh Allah kepadanya dan dicipatakannya pula dari tanah bumi itu sendiri untuk menjadi seorang khalifah (pewris dan penguasa yang memiliki keturunan sebagai manusia).
Manusia diciptakan di dunia ini untuk mencurahkan tenaga, bekerja, berjuanag dan bersusah payah, serta membangun bumi, dan hidup diatasnya untuk sementara waktu saja; maka umur manusia telah dibatasi dengan ajal dan sudah menjadi sunnatullah agar sesantiasa menguji manusia dengan berbagai macam cobaan dan ujian atau musibah dan bencana yang membuat manusia sengsara, sebagaimana firman-Nya:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي كَبَد
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad (90): 4).
يَا أيُّهَا الإنْسَانُ إنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدحًا فَمُلاقِيهِ
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berjuang, beribadah, berjihad dsb) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu (kebali kepada-Nya dengan membawa amal perbuatanmu), maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6)
Adapun kehidupan yang tidak terdapat kesengsaraan sedikitpun di dalamnya, itu adalah kehidupan di surga nanti. Di dalam surga itu manusia tidak akan menemukan kesengsaraan, penderitaan, kesedihan, kesakitan, penganiayaan, tipu daya dan lain sebagainya; ia akan bebas dari segala bentuk penderitaan dan kejahatan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak surat al-Qur`an.
2. Allah SWT adalah Sang Pencipta dan pemilik segala sesuatu. Dia-lah Yang Maha menghidupkan dan mematikan, Yang Maha memberi (rezki, kesehatan, keturunan, keberhasilan, kemenagan dan lain-lain) dan Maha mencegahnya kapan saja Dia kehendaki. Dia akan berbuat sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Allah SWT berfirman:
لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, sedang merekalah yang akan ditanya (dihisab tentang segala sesuatu yang mereka lakukan di dunia)” (QS. Al-Anbiya: 23).
Meski demikian, dalam setiap keputusan dan tindakan-Nya Allah SWT selalu bijaksana dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing. Allah mensifati diri-Nya sendiri di dalam nash-nash al-Qur`an sebagai Dzat yang bijaksana (Hakiim), ahli (Khabiir), mengetahui (‘Aliim), dan berkehendak (Muriid). Kebijaksanaan-Nya terdapat dalam perintahnya yang bersifat takwini (penciptaan) dan tasyri’I (pembuatan hukum) bagi semua makhluk yang hidup di dunia ini. Allah berfirman kepada para Malaikat mengenai hikmah di balik penciptaan Adam:
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (bahwa Adam dan banyak keturunannya tidak akan membuat kerusakan di bumi melainkan akan melakukan banyak perbaikan dan beribadah kepada Allah)". (QS. Al-Baqarah: 30).
Allah juga berfirman mengenai kewajiban berjihad fi sabilillah bagi seluruh kaum muslimin:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّو شَيْئًا وَهُوْ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang (berjihad demi tegaknya Islam), padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci (karena menelan banyak korban). Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui (mana yang lebih baik atau buruk untukmu), sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
3. Meskipun Allah telah menundukkan kepada anak cucu Adam (manusia) segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi (matahari, bulan, siang, malam, air hujan, air laut, air sungai dan lain-lain), serta memberikan segala kenikmatan kepada mereka secara zahir (jelas dan dapat diketahui) dan batin (sembunyi dan tidak dapat diketahui); maka pada sebagian benda yang ada di alam ini yang ditundukkan kepada manusia ada yang memiliki kekuatan yang amat dahsyat dan potensi yang sangat besar, sehingga secara lahiriah dapat membahayakan manusia yang mengakibatkan terjadinya bencana alam (gempa, banjir, badai, glombang tsunami, wabah penyakit dan lain-lain).
Akan tetapi sebenarnya pada setiap bencana itu terdapat hikmah yang tidak diketahui oleh sebagian orang. Karena Allah adalah Dzat yang Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang bersumber dari-Nya pasti memiliki hikmah. Tidak ada sesuatupun yang berasal dari Allah SWT yang terjadi sia-sia tanpa ada hikmah apapun.
Begitupula dengan hidayah (petunjuk untuk jalan hidup) dari Allah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Petunjuk itu mereka berikan kepada kaumnya masing-masing dan diberikan oleh Khatamun-Nabiyyin Nabi Muhammad saw. Kepada seluruh umat manusia agar mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Sebagaimana firman-Nya:
فَإمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدَى فَمِن اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku (Syari’at-KU), ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123).
Akan tetapi pada sebagian petunjuk tersebut ada beberapa hal yang terlihat secara kasatmata seperti hal yang menjadi beban dan memberatkan. Padahal sebenarnya ia adalah demi kebaikan dan kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti kewajiban berjihad yang dijelaskan dengan tegas hikmahnya dalam firman Allah SWT:
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الأرْضُ
“Seandainya Allah tidak mencegah (keganasan, kejahatan, kekejaman, pembantaian dan peperangan yang dilakukan) sebahagian manusia dengan (perlawanan dan pencegahan) sebagaian yang lain, pasti rusaklah (ancurlah) bumi ini.” (QS. Al-Baqarah: 251) .