By: Abu Ikrimah Al-Bassam
Ikhwani fillah,
Jangan ragu lagi bahwa Laa Ilaaha Illallaah adalah awal dan akhir hidup kita. Dan di atas dasarnya ridha Allah didapatkan. Namun ikhwani fillah, sungguh kalimat itu adalah berat sekali, sehingga tanpa taufik ilahi banyak sekali manusia yang berguguran dan jatuh semangat di tengah jalan, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjadi munafik.
Ikhwani fillah,
Pada kesempatan ini mari kita renungi perjalanan yang dilalui oleh beberapa Rasul ketika mendakwahkan kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallaah.
Ketika berdakwah tauhid itu, mereka menuai berbagai ancaman dan tuduhan keji. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka, ’Sungguh kami akan mengusir kalian dari negeri kami atau kalian kembali kepada ajaran kami” (Ibrahim 13).
Coba bayangkan, saat para nabi itu mendakwahkan tauhid, yang mereka dapatkan bukannya sambutan dan sanjungan, tapi ancaman dan pengusiran. Alangkah sedihnya seandainya kita hidup di tengah mereka. Pengusiran adalah kata-kata yang mengandung penghinaan terhadap keyakinan. Mereka (para rasul) bukanlah orang hina-dina yang layak diusir. Mereka bukanlah penebar kerusakan, sehingga perlu diusir. Mereka adalah orang-orang terpandang di tengah kaumnya. Tapi saat Laa Ilaaha Illallaah mereka gulirkan, maka ancaman pengusiran yang didapatkan.
Mari kita lihat perjalanan Nabi Syu’aib alaihissalam. Allah berfirman: “Pemuka-pemuka dari kaumnya yang menyombongkan diri berkata: “Sungguh kami akan uji kamu Hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari desa kami atau kamu sekalian mau kembali kepada ajaran kami” (Al-A’raf 88).
...saat para nabi itu mendakwahkan tauhid, yang mereka dapatkan bukannya sambutan dan sanjungan, tapi ancaman dan pengusiran. Pengusiran adalah kata-kata yang mengandung penghinaan terhadap keyakinan...
Jadi, saudaraku, kalau ada orang yang tidak suka dengan apa yang kita pegang, itu lumrah, karena mereka adalah musuh Laa Ilaaha Illallaah. Kalau kita merasa selalu terancam oleh orang-orang musyrik, maka ingatlah bahwa pendahulu kita yaitu para rasul, dan para pendahulu orang-orang musyrik itu adalah musuh para rasul.
Memang, berat sekali rasanya hidup ditengah negeri syirik. Saat pertama Rasulullah SAW menerima wahyu, beliau dibawa oleh istrinya tercinta Khadijah kepada Waraqah ibnu Naufal. Rasulullah SAW menceritakannya maka Waraqah mengabarkan bahwa kalau ada usia sedangkan Rasulullah diusir oleh kaumnnya, dia akan menjadi pembelanya, maka Rasulullah SAW bertanya kaget, ”Apakah mereka akan mengusir saya?” maka Waraqah menjawab: ”Tidak ada seorang pun mendakwahkan apa yang engkau dakwahkan melainkan pasti disakiti dan diusir.”
Dan memang Rasulullah SAW disakiti dan diusir. Kalau kisah perjalanan Rasulullah ini hanya sekedar dibaca seperti membaca buku sejarah, seolah hal yang ringan. Tapi saat menimpa diri sendiri barulah sadar begitu beratnya membawa risalah tauhid Laa Ilaaha Illallaah.
Ikhwani fillah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga mengalami pengusiran dalam dakwahnya. Beliau diusir saat mendakwahkan tauhid ini, namun Allah memenangkan beliau atas musuh-musuhnya.
Dua pilihan: hidup di tengah komunitas musyrik atau hijrah?
Saudaraku, bila hidup ditengah fenomena kemusyrikan terasa berat, maka ada jalan untuk menyelamatkan tauhid kita ini, yaitu hijrah. Tapi kita saat ini bingung dan tidak mengetahui dimana keberadaan Darul Iman. Ada solusi lain dari Rasulullah SAW:
“Orang yang punya dien, diennya tidak bisa selamat kecuali orang yang lari dari lereng gunung ke gunung yang lain.”
Rasulullah bersabda juga: “Hampir tiba saatnya, di mana harta terbaik orang muslim adalah kambing-kambing yang dia gembalakan di lereng-leremg gunung.”
...memisahkan diri dari masyarakat yang syirik adalah pilihan. Namun perlu kesadaran dan kesiapan. ...
Ya, memang memisahkan diri dari masyarakat yang syirik adalah pilihan. Namun perlu kesadaran dan kesiapan. Kita harus ringankan beban materi yang bisa menjadi penghalang untuk gapai kehidupan di pengasingan. Apakah kita hidup dengan suasana kembali ke alam. Apakah para akhwat sudah siap? Jawabannya: Harus siap demi keselamatan dien kita ini. Cobalah pikirkan dan renungi baik-baik.
Kalau itu tidak kita jalani, artinya kita harus berupanya keras menampakkan tauhid ini di tengah masyarakat dan itu artinya siap dengan resiko pengusiran dan berpindah-pindah. Ini juga perlu kesiapan dan ringannya beban materi yang dibawa pindah.
Kalau kita bertahan hidup ditengah masyarakat syirik, minimal kita mnghindari berbagai kemusyrikan dan kekufuran yang ada. Ini pun sulit dan berat setengah mati.
Lihat saja realita yang ada. Banyak orang ya ng sudah paham dan mengerti akan tauhid, tapi mereka masih rela menyekolahkan anaknya di lembaga yang menjadikan materi kekufuran sebagai materi wajib dan menentukan kelulusan. Ujung-ujungnya dari alasan yang mereka lontarkan adalah khawatir masa depan anak-anaknya. Seolah rizki itu dijamin dengan ijazah. Mana tauhid tawakkal mereka kepada Allah? Rizki itu ditangan Allah melalui sebab ikhtiar kerja keras. Ini yang sudah mengerti tauhid, maka apa gerangan dengan yang tidak?
“Siapa yang dijauhkan dari api nereka dan dimasukan kedalam syurga, maka dia telah beruntung. Dan kehidupan dunia ini tidak lain adalah perhiasan yang menipu” (Qs. Ali Imran 185).
Selain itu, di tengah-tengah masyarakat syirik, kita diwajibkan menampakkan penyelisihan atas setiap ajaran mereka yang menyimpang. Meskipun hal ini sangat berat sekali, tapi itulah yang harus kita tempuh, karena di situlah pintu surga yang harus kita buka.
Salah satu resiko dakwah adalah tuduhan jahat dari musuh Allah
Ikhwani fillah,
Apabila dalam dakwah tauhid kita banyak ditentang, dicela dan dituduh sesat, maka janganlah kita patah semangat. Janganlah bersedih hati, karena kita tidak sendiri. Sebelum kita sudah banyak orang-orang muwahhidun dituduh sesat, gila, bodoh, nyeleneh, dan segudang tuduhan lainnya.
...Memegang tauhid ini bagaikan memegang bara api. Bila dipegang sangat panas, tapi bila tidak dipegang bara itu, maka nanti di akhirat kitalah yang menjadi bara api...
Jangan hiraukan tuduhan orang-orang yang sesat lagi dengki, karena sesungguhnya para nabi juga dituduh dengan tuduhan yang sama. Orang-orang kafir berkata tentang Rasulullah SAW: “Apakah kami harus tinggalkan ilah-ilah kami karena (ajakan) penyair gila” (Ash-shaaffat 36).
Beliau dituduh sebagai tukang syair lagi gila, tidak waras. Mereka juga menuduh beliau sebagai pesihir lagi pendusta: “Dan orang-orang kafir berkata, ”(orang) ini adalah tukang sihir lagi pembual” (Shad 4).
Mereka menuduh nabi Nuh AS sebagai orang sesat: “Para pembesar dari kaumnya mengatakan,”Sesungguhnya kami menilai kamu dalam kesesatan yang nyata” (Al-A’raf 60)
Mereka menuduh Hud AS sebagai orang bodoh lagi dungu: “Para pembesar yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami melihat kamu ini dalam kebodohan dan sesungguhnya kami mengira kamu ini tergolong orang-orang yang dusta” (Al-A’raf 66).
Tak kuasa diri ini menceritakan kepedihan orang-orang pendahulu kita saat memegang tauhid ini. Namun yang harus diingat adalah bahwa tidak mungkin keadaan itu selalu sempit selama-lamanya, pasti setelahnya ada kemudahan yang sudah menanti.
Memegang tauhid ini bagaikan memegang bara api. Bila dipegang sangat panas, tapi bila tidak dipegang bara itu, maka nanti di akhirat kitalah yang menjadi bara api. Tapi tetaplah bersabar. Sabar itu pahit rasanya, tapi manis buah akibatnya.
Surga sudah rindu memanggil calon penghuninya, dan bidadari menanti penyuntingnya, sedang maharnya adalah tauhid ini. Wallahu a’lamu bish-shawab. [voa-islam.com]