LOYALITAS dalam bahasa Arabnya adalah Al-Wala atau muwaalah yang bermakna al-mahabbah (cinta), an-nushrah (pemberian bantuan), al-mutaba’ah (mengikuti), dan al-muwaafaqah (sikap setuju) sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Atsir dalam An-Nihayah.
Allah melarang orang muslim berwala dengan orang kafir:
“Engkau tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka atau karib kerabatnya…” (QS. Al-Mujadilah 22).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian maka, maka sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al-Ma’idah 51).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya dengan meninggalkan kaum mukminin…” (QS. An Nisa’ 144).
...loyalitas hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang beriman, sedangkan orang kafir hanyalah diberi sikap bara’...
Jadi loyalitas hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang beriman, sedangkan orang kafir hanyalah diberi sikap bara’.
Adapun hukum loyalitas kepada orang-orang kafir adalah haram berdasarkan ijma para ulama yang berlandaskan Al-Qur'an dan As Sunnah. Perlu diperhatikan bahwa bentuk loyalitas ini ada yang mengeluarkan dari Islam dan sering disebut muwaalah kubra (tawalliy), dan ada pula yang “hanya” berupa dosa besar yang tidak mengeluarkan dari Islam dan lebih sering disebut muwaalah shughra.
I. MUWAALAH KUBRA
Muwaalah kubra adalah loyalitas yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ini ada empat macam:
1. Mencintai orang musyrik atau kafir karena alasan keyakinan kafirnya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, maka haram darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah” (HR. Muslim).
Dalam hadits ini orang dianggap muslim bila kufur kepada segala yang diibadahi selain Allah, termasuk di antaranya yaitu ajaran syirik dan kekafiran. Derajat minimal bentuk kufur kepada ajaran syirik adalah membencinya, sedangkan orang-orang di atas tadi justru mencintai ajaran syirik tersebut, sehingga batallah keislaman macam orang ini. (Komunisme, Nasionalisme, demokrasi dan isme-isme sejenisnya, merupakan paham-paham syirik dan kekufuran, ed.)
Contohnya, orang yang mencintai Soekarno karena dia seorang Nasakom, atau mencintai si fulan karena dia seorang pluralis, Pancasilais, Nasionalis, dan lain sebagainya.
...Orang yang bergabung dengan orang-orang musyrik dalam rangka menindas dan membungkam kaum muslimin, maka telah batal keislamannya...
2. Membantu orang-orang musyrik untuk menghancurkan kaum muslimin.
Orang yang bergabung (secara aktif di lapangan ataupun berperan di belakang layar, ed.) dengan orang-orang musyrik dalam rangka menindas dan membungkam kaum muslimin, maka telah batal keislamannya, seperti orang-orang Afghanistan yang bergabung dengan pasukan Salibis pimpinan Amerika Serikat untuk menghancurkan Negara Islam Thaliban, atau Pemerintah Saudi yang telah membantu Amerika Serikat saat menggempur Negara Islam Thaliban, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Barangsiapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka…” (QS. Al-Ma’idah 51).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata saat menyebutkan di antara pembatal keislaman: “Membantu kaum musyrikin untuk menghancurkan kaum muslimin.”
3. Mengikuti kaum musyrikin dalam kemusyrikannya.
Meyakini bahwa suatu perbuatan itu syirik atau kufur belumlah cukup, akan tetapi harus meninggalkannya. Orang yang mengetahui bahwa "demokrasi" itu syirik, akan tetapi karena alasan takut atau yang lainnya (kecuali dipaksa) mengikuti sistem demokrasi dan ia ikut dalam pesta demokrasi, maka dia telah keluar dari Islam. Kebencian terhadap sistem syirik dan para pelakunya serta kecintaannya terhadap tauhid dan kaum muwahhidin tidaklah berarti bila dia mengikuti ajaran syirik tersebut.
“Sesungguhnya orang yang kembali ke belakang mereka setelah jelasnya petunjuk bagi mereka, maka syaitan mempermudah mereka (untuk berbuat dosa) dan memperpanjang angan-angan mereka. Yang sedemikian itu disebabkan sesungguhnya mereka mengatakan kepada orang-orang yang benci terhadap apa yang telah Allah turunkan: ‘kami akan mematuhi kalian dalam sebagian urusan ini’, sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Maka bagaimana keadaannya bila mereka itu diwafatkan oleh malaikat seraya malaikat itu memukuli wajah dan belakang mereka? Yang demikian itu dikarenakan mereka itu telah mengikuti apa yang membuat Allah murka dan mereka membenci apa yang mendatangkan ridhanya, maka Allah hapuskan amalan-amalan mereka” (QS. Muhammad 25-28).
Bila saja orang yang mengikuti apa yang membuat murka Allah telah divonis murtad oleh-Nya, maka apa gerangan dengan banyak orang sekarang di mana sang atasan membuat undang-undang yang kafir terus si bawahan melaksanakannya dan mengatakan kepada masyarakat “Kami hanya menjalankan tugas.”
Terhadap orang yang taat dalam sebagian kekafiran, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan vonis murtad. Lantas ada apa gerangan banyak pegawai bawahan menyatakan kepada atasannya “Kami akan laksanakan semua aturan,” padahal sang atasan menerapkan hukum thaghut?
Para aparat keamanan saat menghancurkan dan membekuk para mujahidin ada yang beralasan “Kami hanya mengikuti aturan yang ada.” Mereka yang menjadi pelindung sistem thaghut beralasan “Kami hanya mengikuti prosedur yang ada.”
Anak sekolah mengikuti pelajaran falsafah syirik dengan alasan mengikuti proses pembelajaran dan berkata: “Karena jika tidak (ikut), maka kami tidak akan lulus.”
4. Menampakkan sikap setuju dengan kekufuran atau kemusyrikan
Orang yang di hadapan thaghut menampakkan sikap setuju terhadap kekafiran dengan alasan basa-basi atau takut atau ingin dunia, maka dia kafir (kecuali bila dipaksa) meskipun meyakini batilnya hal itu, membencinya, dan membenci para pelakunya serta cinta dengan tauhid dan para muwahhid.
Seperti orang yang ingin membuat lembaga yang diakui thaghut, sedangkan thaghut mensyaratkan adanya mata pelajaran falsafah syirik lalu mereka menerima syarat itu, maka hukumannya sama saja. Dalilnya sama dengan dalil di atas (QS. Muhammad 25-28).
Bahkan bila dia berjanji dusta untuk memenuhi syarat itu terhadap thaghut, tetap hukumnya sama saja. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah engkau tidak melihat orang-orang munafiq, di mana mereka mengatakan kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari kalangan Ahlul Kitab: “Bila kalian diusir, sungguh kami akan keluar bersama kalian dan kami tidak mentaati seorang pun selama-lamanya dalam hal yang merugikan kalian, dan bila kalian diperangi, maka sungguh kami akan membantu kalian”, sedangkan Allah bersaksi sesungguhnya mereka benar-benar dusta.” (QS. Al-Hasyr 11)
Orang-orang munafik di dalam Islam dihukumi muslim secara dhahir. Dalam ayat ini mereka berjanji untuk membantu orang-orang Yahudi dalam memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah memvonis mereka kafir padahal janji mereka itu dusta, maka apa gerangan dengan janji yang jujur. Begitu pula dengan orang yang menampakkan sikap setuju dengan demokrasi dan yang lainnya…
II. MUWAALAH SHUGHRA
Muwaalah Shughra adalah sikap loyalitas yang tidak mengeluarkan dari Islam.
Definisinya adalah: Setiap perbuatan yang menyebabkan penghormatan dan penghargaan terhadap orang-orang kafir dengan syarat (tetap, ed). membenci mereka, memusuhi mereka, dan mengafirkan mereka, serta tidak tawalliy kepada mereka. Adapun contoh-contohnya adalah sebagai berikut:
Berkunjung untuk mendakwahi mereka bukan termasuk muwaalah shughra, akan tetapi dianjurkan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menziarahi Abu Thalib untuk mendakwahinya, dan beliau juga menjenguk anak seorang Yahudi yang sakit untuk beliau dakwahi.
Bila orang kafir mengucapkan salam, maka cukup dijawab “wa’alaikum.” Mengucapkan “Assalamu’ala manit taba’al huda” kepada orang kafir dibolehkan. Menyambut uluran tangan orang kafir boleh saja, sedangkan amanah, hutang, janji, dan jual beli harus ditunaikan meskipun terhadap orang kafir harbiy sekalipun.
[Abu Hamzah/voa-islam.com]