Oleh: Badrul Tamam
Judi sudah dikenal sejak zaman jahiliyah. Bahkan, orang-ornag Jahiliyah terbiasa melakukannya dan sudah menjadi tradisi mereka. Sebenarnya, masyarakat Jahiliyah memandang kebiasaan judi sebagai aktifitas yang bermasalah, karena dampak buruk yang ditimbulkannya. Karenanya mereka bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang hukumnya,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِر
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi." (QS. Al-Baqarah: 219)
Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar memberitahukan bahwa dalam khamar dan judi terdapat banyak manfaat dan bahayanya. Namun, dosa dan bahayanya jauh lebih besar.
Memang judi bagi sebagian orang bisa menjadi ladang mendapat harta dan menjadi pemuas jiwa. Namun kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar seperti menghambur-hamburkan harta, menghalangi dari dzikir kepada Allah dan shalat, juga menjadi penyebab permusuhan, perkelahian, dan saling membenci. Nafsu berjudi bisa menjadikan seseorang berani menipu, mencuri, korupsi, merampok, dan membunuh orang lain untuk mendapatkan uang guna bermain judi.
Akibat buruknya tidak hanya menimpa pelakunya, berjudi bisa menyebabkan keluarga sengsara karena sering jatah nafkah anak dan istri habis dipertaruhkan di meja judi. Itu sebabnya, banyak pakar mengatagorikan judi sebagai patologi sosial, dan bagi pelakunya dikatagorikan sebagai individu dengan perilaku menyimpang. Karena memiliki mafsadat yang besar, maka Islam mengharamkannya. Dan pastinya, setiap akal sehat akan sepakat untuk lebih mengedepankan sesuatu yang memiliki banyak manfaat dan maslahat serta menjauhi segala hal yang memiliki bahaya yang besar.
Hukum Judi
Judi diharamkan dalam Al-Qur'an dengan lafadz yang sangat sharih (jelas) karena memiliki bahaya dan madharat yang besar serta menjadi jalan Syetan untuk menjauhkan orang dari dzikrullah dan menciptakan permusuhan. Allah Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)." (QS. Al-Maidah: 90-91)
Imam al-Dzahabi dalam al-Kabair menambahkan dalil haramnya berjudi dengan mengategorikannya sebagai memakan harta orang lain dengan cara batil,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil." (QS. Al-Baqarah: 188)
Juga dalam keumuman hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang bersabda: "Sesunguhnya orang-orang yang menguasai harta Allah dengan jalan yang tidak benar, maka pada hari kiamat bagian mereka adalah api neraka." (HR. Bukhari dari Khaulah al-Anshariyyah)
Dan dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengharuskan siapa yang mengajak taruhan agar ia bersedah sebagai kafarahnya,
وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرك فَلْيَتَصَدَّقْ
"Dan Siapa yang berkata kepada kawannya, 'mati, kita bertaruh.' Hendaknya ia bersedekah." (HR. Bukhari dari Abu Hurairah) Menurut Imam al-Khathabi, ia bersedekah dengan harta yang ingin dia jadikan taruhan tadi. Namun ada sebagian pendapat lain dengan shadawh untuk menghapuskan dosa perkataannya tadi. Pendapat kedua inilah yang disepakati Imam Muslim.
Hanya berucap untuk melakukan taruhan yang menjadi bagian utama dan ciri utama perjudian diwajibkan untuk membayar kafarah atau shadakah, bagaimana dengan orang yang telah berbuat tadi? Tentu kesalahan dan dosa yang diperbuatnya lebih besar. Karenanya, Imam al-Dzahabi memasukkan berjudi sebagai salah satu dosa besar, dan menempatkannya pada urutan kedua puluh. (Al-Kabair, Imam alDzahabi dalam Maktabah Syamilah)
Apa itu Judi?
Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'di dalam tafsrinya, Judi adalah setiap kompetisi yang memiliki taruhan dari kedua belah pihak, baik dengan main kartu atau catur. Maka setiap kompetisi dalam bentuk ucapan atau perbuatan dengan mengadakan taruhan masuk di dalamnya, kecuali perlombaan balap kuda, balap unta, dan memanah. Ketiganya dibolehkan karena berfungsi untuk menopang jihad, karenanya diberi keringanan oleh syariat.
Bentuk judi yang paling terkenal di masyarakat jahiliyah adalah sepuluh orang berserikat membeli seekor unta dengan saham yang sama. Kemudian dilakukan undian. Dari situ, tujuh orang dari mereka mendapat bagian yang berbeda-beda menurut tradisi mereka, dan tiga orang lainnya tidak mendapatkan apa-apa alias kalah. (sebagaimana yang disebutkan Imam Malik dalam al-Muwatha' dari Dawud bin Husain yang mendengar langsung keterangan ini dari Sa'id bin Musayyib)
Sedangkan bentuk perjudian di abad modern ini jauh lebih beragam, namun intinya satu, di sana ada sesuatu yang menjadi turahannya. Di antara bentuknya adalah:
1. Apa yang dikenal dengan yanasib (undian) dalam berbagai bentuk. Yang paling sederhana di antaranya adalah dengan membeli nomor-nomor yang telah disediakan, kemudian nomor-nomor itu diundi. Pemenang pertama mendapat hadiah yang amat menggiurkan. Lalu, pemenang kedua, ketiga dan demikian seterusnya dengan jumlah hadiah yang berbeda-beda. Ini semua adalah haram, meski mereka berdalih untuk kepentingan sosial.
2. Membeli suatu barang yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dirahasiakan atau memberinya kupon ketika membeli barang, lalu kupon-kupon itu diundi untuk menentukan pemenangnya.
3. Termasuk bentuk perjudian di zaman kita saat ini adalah asuransi jiwa, kendaraan, barang-barang, kebakaran atau asuransi secara umum, asuransi kerusakan, dan bentuk-bentuk asuransi lainnya. Bahkan sebagian artis penyanyi mengasuransikan suara mereka. Ini semua hukumnya haram. (Tentang hukum asuransi dan solusinya menurut Islam. Lihat majalah Al Buhuts Al-Islamiyah; edisi 17, 19, 20.Terbitan Ar Ri’asatul Ammah Li Idarotil Buhutsil Ilmiyah.)
Demikianlah, dan semua bentuk taruhan masuk ke dalam kategori judi. Pada saat ini bahkan telah ada klub khusus judi (kasino) yang di dalamnya ada alat judi khusus yang disebut rolet khusus untuk permainan dosa besar tersebut.
Juga termasuk judi, taruhan yang diadakan saat berlangsung pertandingan sepak bola, tinju atau semacamnya. Demikian pula dengan bentuk-bentuk permainan yang ada di beberapa toko mainan dan pusat hiburan, sebagian besar mengandung unsur judi, seperti apa yang mereka namakan lippers.
Adapun berbagai pertandingan yang kita kenal sekarang, maka ada tiga macam:
1. Untuk maksud syiar Islam, maka hal ini di bolehkan, baik dengan menggunakan hadiah atau tidak. Seperti pertandingan pacuan kuda dan memanah. Termasuk dalam kategori ini -menurut pendapat yang kuat– berbagai macam perlombaan dalam ilmu agama, seperti menghafal Al-Qur’an.
2. Perlombaan dalam sesuatu yang hukumnya mubah, seperti pertandingan sepak bola dan lomba lari, dengan cacatan, tidak melanggar hal-hal yang diharamkan seperti meninggalkan shalat, membuka aurat dan sebagainya. Semua hal ini hukumnya ja’iz (boleh) dengan syarat tanpa menggunakan hadiah.
3. Perlombaan dalam sesuatu yang diharamkan atau sarana kepada perbuatan yang diharamkan, seperti lomba ratu kecantikan atau tinju. Juga masuk ke dalam kategori ini menyelenggarakan sabung ayam, adu kambing atau yang semacamnya. (Lihat: Muharramat Istahana Bihan Naas, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid)
Melokalisasi Judi
Melegalkan judi dengan membuat lokalisasi tempat perjudian berarti mengizinkan dan mengabsahkan perbuatan judi sehingga tidak boleh diingkari dan dihentikan. Hal ini bermakna mempersilahkan orang yang ingin berjudi untuk datang ke tempat tersebut karena di sana judi diperbolehkan dan dilegalkan. Berarti, judi yang diharamkan dalam Islam dihalalkan oleh sebagian pihak dalam bentuk peraturan atau undang-undang. Sedangkan siapa yang berani menghalalkan apa yang diharamkan Allah, maka dia memposisikan dirinya sebagai tuhan. Dosa orang tersebut lebih berat daripada orang yang mentaati hukumnya.
Para ulama telah menerangkan bahwa menghalalkan apa yang Allah haramkan atau sebaliknya termasuk kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dosa ini jauh lebih berat daripada dosa orang yang melakukan keharaman.
Allah Ta'ala telah mengingkari orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu dalam masalah agama yang berasal dari dirinya sendiri tanpa ada argumentasi dari Allah. Dia berfirman,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah." (QS. Al-Nahl: 116)
Allah mencela Yahudi dan Nashrani atas perilaku mereka yang mempertuhankan para tokoh agama mereka, bukan dengan bersujud kepada mereka tapi dengan mentaati keputusan mereka yang bertentangan dengan hukum Allah.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." (QS. Al Taubah: 31)
Kalau orang-orang yang mentaati mereka dalam ketetapan yang bertentangan dengan hukum Allah disebut telah menuhankan mereka, maka orang yang membuat hukum tersebut memposisikan dirinya sebagai tuhan. Dan ini jauh lebih kurang ajar dan lebih besar dosanya karena mengambil apa yang hanya menjadi haknya Allah semata.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Siapa yang berhukum dengan ketetapan Injil yang tidak disebutkan oleh Nash (Al-Qur'an), padahal dia hidup di bawah syariat Islam, maka dia telah kafir, musyrik, keluar dari Islam." (Al Ihkaam fii Ushuul al Ahkaam: 5/153)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Sesuatu yang sudah maklum dalam prinsip agama Islam dan kesepakatan seluruh kaum muslimin, bahwa orang yang memperbolehkan (membenarkan) untuk mengikuti selain agama Islam atau mengikuti selain syariat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia telah kafir." (Majmu' Fatawa: 28/524)
Beliau berkata lagi, "Dan kapan saja seseorang berani menghalalkan keharaman yang telah disepakati atau mengharamkan masalah halal yang sudah disepakati atau merubah syari'at yang sudah disepakati, maka dia telah kafir berdasarkan kesepakatan fuqaha'." (Majmu' Fatawa: 3/267)
"Dan kapan saja seseorang berani menghalalkan keharaman yang telah disepakati atau mengharamkan masalah halal yang sudah disepakati atau merubah syari'at yang sudah disepakati, maka dia telah kafir berdasarkan kesepakatan fuqaha'." (Majmu' Fatawa: 3/267)
Syaikh Abdul Lathif bin Abdul Rahman Aalu Syaikh rahimahullah berkata, "Siapa yang berhukum kepada selain kitabullah dan sunnah Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam, setelah diberi tahu, maka dia telah kafir. Allah Ta'ala berfirman (artinya); "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."; "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendak . ." (al Durar al Sunniyyah: 8/241)
Abdullah bin Humaid rahimahullah berkata, "Siapa yang menerbitkan syari'at (undang-undang) umum yang harus ditaati manusia yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia telah keluar dari agama (Islam) menjadi kafir." (Ahammiyah al Jihaad : 196)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Syaikh rahimahullah berkata, "Di antara bentuk syirik akbar (besar) yang tercela adalah menetapkan undang-undang yang dipadankan dengan apa yang dibawa turun oleh Ruhul Amin kepada hati Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam supaya menjadi pemberi peringatan dengan lisan Arab yang jelas, untuk menghukumi seluruh manusia dengannya, dan kembali kepadanya jika terjadi pertentangan; berarti telah menentang dan menyelisihi firman Allah 'Azza wa Jalla, "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Qs. Al Nisa': 59)
"Siapa yang menerbitkan syari'at (undang-undang) umum yang harus ditaati manusia yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia telah keluar dari agama (Islam) menjadi kafir." (Ahammiyah al Jihaad : 196)
Maka, dalam masalah judi, seseorang yang bermain judi dengan meyakini bahwa judi itu haram maka dia melakukan dosa besar yang tidak sampai mengeluarkannya dari Islam. Namun, siapa yang melegalkan perjudian dan menghalalkannya maka orang tersebut telah keluar dari Islam, statusnya bukan lagi sebagai muslim dan mukmin.
Maka upaya segelintir orang yang menginginkan aktivitas perjudian dapat dilegalkan di Indonesia dengan cara dilokalisasi bukan persoalan kecil dalam timbangan Islam. Itu persoalan besar dan berbahaya yang bisa membatalkan syahadat pelakunya. Apalagi tujuannya agar bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara dan untuk menarik berbagai wisatawan asing sehingga bisa menjadi salah satu bentuk devisa. (Seperti yang diucapkan Fathat Abbas dalam sidang perdana UU Penertiban Perjudian di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu 21/4/10).
Upaya segelintir orang yang menginginkan aktivitas perjudian dapat dilegalkan di Indonesia dengan cara dilokalisasi bukan persoalan kecil dalam timbangan Islam. Itu persoalan besar dan berbahaya yang bisa membatalkan syahadat pelakunya.
Sekaligus juga pernyataan seorang tokoh organisasi terbesar di negeri ini yang mendukung diadakannya lokalisasi perjudian dengan menyatakan dosa bagi pelaku judi di dalam negeri dosanya satu sedangkan yang berjudi di luar negeri adalah dua adalah pernyataan yang salah besar. Karenanya tepat sekali keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tetap tidak setuju kalau judi dilokalisasi walau di pulau terpencil. Apapun alasannya, MUI menegaskan bahwa judi diharamkan. Wallahu a'lam
(PurWD/voa-islam.com)