Oleh: Badrul Tamam
Dari Ubadah bin Shamith radhiyallaahu 'anhu berkta, Rasululllah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang hak disembah) selain Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah Hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa Isa adalah hamba Allah, rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersaksi pula bahwa) surga adalah benar adanya dan nerakapun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya kedalam surga betapapun amal yang telah diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits ini terdapat beberapa point penting, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ini adalah kalimat yang agung yang membedakan antara iman dan kufur. Dia memiliki petunjuk yang agung dan makna yang besar. Menurut para ulama makna من شهد أن لا إله إلا الله : Siapa yang mengucapkan kalimat ini dengan mengetahui maknanya, mengamalkan tuntutannya yang dzahir maupun yang batin. Hal ini seperti yang diterangkan oleh firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak disembah) melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Dan firman-Nya 'Azza wa Jalla,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“… akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya).” (QS. al-Zukhruf: 86)
Sedangkan mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya dan tidak mengamalkan tuntutannya, maka hal itu tidaklah membawa manfaat baginya, berdasarkan ijma’.
Dan makna Laa Ilaaha Illallaah: Tidak ada yang diibadahi dengan benar kecuali satu tuhan saja, yaitu Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Hal ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".” (QS. Al-Anbiya’: 25)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.” (QS. Al-Nakhl: 36)
Dari sini dapat dipahami, bahwa tidak ada tuhan yang diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Dia semata yang berhak mendapat peribadahan sebagaimana Dia semata yang telah menciptakan dan memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, mengadakan dan menghilangkan, memberikan kebaikan dan menimpakan keburukan, memuliakan dan menghinakan, menunjuki dan menyesatkan, dan bentuk-bentuk macan rububiyah lainnya. Tidak seorangpun yang berserikat dengan-Nya dalam mencipta makhluk-makhluk, dan tidak pula ada yang bersama-Nya dalam mengatur mereka. Dia semata yang memiliki al-asma’ al-husna (nama-nama yang mahaindah) dan sifat-sifat yang mahatinggi. Tidak seorangpun selain-Nya yang memiliki sifat seperti itu dan tidak seorang pun yang menyerupai dia dalam nama-nama dan sifat-sifat tersebut.
Bahwa tidak ada tuhan yang diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Dia semata yang berhak mendapat peribadahan sebagaimana Dia semata yang telah menciptakan dan memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, mengadakan dan menghilangkan, . . .
Begitu juga Dia sendirian yang berhak mendapat peribadahan, tidak ada yang boleh menjadi sekutu-Nya dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj: 62)
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ () عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Mukminun: 91-92)
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maaidah; 73)
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS: Ali Imran: 62)
“Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah." Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudaratan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".” (QS. Al-Ra’d: 16)
Dan ayat-ayat lain yang cukup banyak yang menunjukkan secara tersurat atau tersirat bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala Esa dalam rububiyah, mencipta, memberi rizki dan selainnya, juga Esa dalam Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang Mahaindah dan sempurna, maka Allah Ta’ala Esa dalam ibadah, maka bagaimana pun jua tidak boleh ada ibadah yang ditujukan kepada selain-Nya.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala Esa dalam rububiyah, mencipta, memberi rizki dan selainnya, juga Esa dalam Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang Mahaindah dan sempurna, maka Allah Ta’ala Esa dalam ibadah, . .
Kedua, bahwa seorang hamba tidak bisa melaksanakan hak dari kalimat syahadat ini kecuali dengan merealisasikan syarat-syaratnya, yaitu: ilmu, yakin, qabul, inqiyad, shidiq, ikhlash, dan cinta.
Maksudnya: orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat tidak akan mendapatkan manfaat di dunia dan akhirat dari kalimat ini hanya sebatas mengucapkannya. Tapi haruslah terpenuhi ketujuh syaratnya sebagai berikut:
1. Al-Ilmu. Maksudnya: Mengetahui maknanya, yakni dari masalah nafyun (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Ilmu ini meniadakan kejahilan sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak disembah) melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Utsman radhiyallaahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang meninggal sedangkan dia mengetahui bahwa tiada Illah (yang berhak disembah) kecuali Allah, pasti masuk surga.”
Dari sini dapat dipahami, orang yang mengucapkannya wajib mengetahui apa yang dimaksud dan ditunjukkannya. Sedangkan orang yang mengucapkannya namun jahil terhadap hakikat dan maknanya, maka pengucapannya itu tidaklah mendatangkan manfaat untuknya.
Sedangkan orang yang mengucapkannya namun jahil terhadap hakikat dan maknanya, maka pengucapannya itu tidaklah mendatangkan manfaat untuknya.
2. Al-Yaqin. Maksudnya: Orang yang mengucapkan kalimat syahadat ini harus yakin dengan makna yang dimau dengan keyakinan yang mantap yang menghilangkan keraguan. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Terdapat dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنْ الْجَنَّةِ
“Aku bersaksi tiada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah, tidaklah seorang hamba bertemu Allah dengan keduanya tanpa ragu-ragu akan terhalang dari surga.” HR. Muslim)
Supaya orang yang mengucapkannya bisa masuk surga, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjadikan syarat agar dalam mengucapkannya tidak ragu terhadapnya dan hatinya meyakininya dengan penuh.
3. Al-Qabul. Maksudnya: Hati dan lisannya menerimanya. Ayat-ayat yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak yang semuanya menunjukkan bahwa kalimat tauhid tersebut tidak mendatangkan manfaat kecuali bagi orang yang menerimanya untuk mengucapkannya. Dari sini Allah menceritakan tentang orang kafir terdahulu,
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ () قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ () فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi Peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Al-Zukhruf: 23-25)
Kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallaah tidak mendatangkan manfaat kecuali bagi orang yang menerimanya untuk mengucapkannya.
4. Al-Inqiyad (tunduk dan patuh) terhadap tuntutannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan. . .” (QS. Al-Nisa’: 125)
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)
Makna Yuslim Wahjahu: dia menyerahkan diri dan tunduk dengan banyak berbuat baik dan bertauhid. Sedangkan orang yang tidak menyerahkan diri dan tidak tunduk kepada Allah, maka dia tidak termasuk berpegang teguh dengan tali yang kuat (Laa Ilaaha Illallaah).
Sedangkan orang yang tidak menyerahkan diri dan tidak tunduk kepada Allah, maka dia tidak termasuk berpegang teguh dengan tali yang kuat (Laa Ilaaha Illallaah).
Dalam sebuah hadits, “Tidaklah beriman salah seorang kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaranku).” (HR. Thabrani). Ini merupakan bentuk kesempurnaan inqiyad (ketundukan).
5. Al-Shidqu (jujur) yang meniadakan dusta. Yaitu mengucapkannya dengan jujur dari dalam hatinya. Hatinya sesuai dengan lisannya dan lisan sesuai dengan hatinya. Allah ta’ala berfirman dalam masalah tersebut,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ () وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3)
Allah menceritakan tentang kondisi orang-orang munafikin,
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Mu’adz bin jabal radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tak seorang pun bersaksi Laa Ilaaha Illallaah dan Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Allah mengharamkan neraka untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Syarat untuk selamat dari neraka setelah mengucapkan kalimat ini haruslah mengucapkannya dengan jujur dari hatinya. Sebatas menggucapkan dengan lisan tidaklah memberikan manfaat tanpa kesesuaian hati.
Syarat untuk selamat dari neraka setelah mengucapkan kalimat ini haruslah mengucapkannya dengan jujur dari hatinya.
Sebatas menggucapkan dengan lisan tidaklah memberikan manfaat tanpa kesesuaian hati.
6. Ikhlas. Yaitu membersihkan amal shalih dengan niat dari berbagai noda syirik. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ketahuilah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Al-Zumar: 3)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Zumar: 2)
Dalam shahih Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang paling berbahagia mendapatkan syafaatku pada hari kiamat adalah dia yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah ikhlash dari hatinya atau dirinya.”
Dari 'Itban bin Malik radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka menyentuh orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah karena semata-mata mencari wajah Allah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
7. Al-Mahabbah (cinta). Maksudnya mencintai kalimat ini dan apa saja yang ditunjukkannya, dituntutnya, dan orang-orang yang menggucapkannya, mengamalkan dan berpegang teguh dengannya, serta membenci semua hal yang bertentangan dengannya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. (Al Baqoroh: 165)
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal, apabila ketiganya ada pada diri seseorang maka ia akan bisa merasakan manisnya Iman; Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, dia mencintai seseorang hanya karena Allah, dia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Wallahu a'lam....
[PurWD/voa-islam.com]
Tulisan Terkait:
1. Tiada Tauhid Tanpa Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
2. Perbedaan Ahli Tauhid Dengan Musyrik
3. Syarat Kalimat Tauhid ''Laa Ilaaha Illallaah''