View Full Version
Selasa, 03 May 2011

Bolehkah Menyebut Syaikh Usamah bin Ladin Syahid?

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menciptakan surga dan menyediakannya bagi hamba-Nya yang bertakwa. Dia jadikan jalan-jalan untuk menuju ke sana dan sebab-sebab untuk bisa memasukinya. Dan salah satu dari jalan dan sebab tersebut, adalah berjihad di jalan-Nya.

Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah yang tidak nabi dan rasul sesudahnya. Yang telah habiskan hidupnya untuk mendakwahkan Islam dan memperjuangkannya. Menetapkan syariat jihad dan telah mencontohkannya. Semoga juga salam dan shalawat dilimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya serta umatnya yang meniti jalan hidupnya dan terus istiqamah memegang sunnah-sunnahnya.

Pasca diumumkan gugurnya Syaikh Usamah bin Laden di tangan pasukan khusus Amerika oleh Presiden Barack Obama, perbincangan tentang sosok Usamah menjadi Trending Topics di jejaring social semacam Twitter dan facebook. Media elektronik dalam dan luar negeri seperti radio dan televisi juga tak mau kalah dengan mendatangkan narasumber untuk mengomentari sosok pemimpin tertinggi al-Qaidah ini dan juga memberikan analisa gerakan terror pasca gugurnya.

Salah satu tema perbincangan yang tidak kalah hangatnya adalah tentang kesyahidan Syaikh Usamah -satu capaian yang senantiasa beliau cita-citakan dan seharusnya juga dicita-citakan semua kita-. Apakah boleh menyematkan gelar syahid kepada beliau ataukah tidak?

Tentang peran dan aktifitas Syaikh Usamah di dunia jihad Islami tidak perlu diragukan lagi, bahkan bisa dikatakan hidupnya benar-benar diabdikan untuk jihad fi sabilillah. Dan kabar wafanya beliau-pun masih dalam kondisi berjihad dan berada di medan jihad. Apalagi gugurnya Syaikh melalui tangan-tangan jahat para musuh Islam. Dengan pertimbangan dzahir beliau inilah, para aktifis jihad menggelari beliau dengan kesyahidan dan menyematkan gelar syahid padanya. Ucapan ini, bagi mereka tidak dinilai sebagai pemastian kesyahidan di sisi Allah Ta'ala, tapi sebagai pengharapan semoga Allah menerima kesyahidannya.

Di satu sisi, ada sebagian umat Islam yang memandang bahwa gelar syahid yang disematkan kepada seseorang, dalam pembicaraan ini adalah Syaikh Usamah bin Laden, bernilai pemastian akan kesyahidannya di sisi Allah sehingga mendapatkan jaminan surga, karena tidak ada tempat bagi yang mendapatkan syahadah kecuali surga. Jadi menurut kelompok ini, siapa yang memberikan gelar syahid kepada seseorang berarti ia memastikan bahwa dia itu sebagai ahli surga. Karenanya, mereka tidak membolehkan, bahkan dengan keras menentang penyematan gelar syahid kepada seseorang. Kesimpulan pihak kedua ini sejalan dengan prinsip akidah Ahlussunnah, bahwa tidak boleh mempersaksikan seseorang termasuk penghuni al-Jannah (surga) kecuali bagi orang yang memang telah dipersaksikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia adalah penghuni jannah, baik itu persaksian dengan menyebutkan sifat secara umum maupun persaksian terhadap individu tertentu.

Mencari jawaban atas pertentangan dari dua kubu di atas, kami suguhkan penjelasan Syaikh Khalid bin Abdillah al-Mushlih dalam Islamway.com yang menjawab pertanyaan tentang pemberian gelar syahid kepada orang yang terbunuh dalam peperangan dan aksi intifadhah, boleh ataukah tidak?

Syaikh Khalid mengatakan bahwa pendapat jama’ah ulama, tidak boleh seseorang digelari (dipastikan) bahwa dia syahid walaupun nampak tanda-tanda kesyahidan secara dzahir. Karena syahid sangat bergantung dengan niat dan tujuan seseorang dalam amal tersebut, dan tidak ada jalan mengetahuinya dengan pasti kecuali melalui kabar wahyu.

. . . Karena syahid sangat bergantung dengan nait dan tujuan seseorang dalam amal tersebut, dan tidak ada jalan mengetahuinya dengan pasti kecuali melalui kabar wahyu.

Inilah dzahir pendapat Imam al-Bukhari rahimahullaah yang menyebutkan dalam kitabnya, “Bab Laa Yuqaalu Fulan Syahid, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya, Allah lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya.

Larangan ini dikuatkan oleh riwayat Muslim, dari hadits Ibnu Abbas, ia berkata: Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu menyampaikan kepadaku, ia berkata: “Pada saat hari Khaibar, ada beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menghadap dan berkata, “Si Fulan Syahid, Si fulan Syahid,” sehingga mereka melewati seseorang dan mereka berkata: “Si fulan syahid.” Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ اذْهَبْ فَنَادِ فِي النَّاسِ أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ قَالَ فَخَرَجْتُ فَنَادَيْتُ أَلَا إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ

Sekali-kali tidak! Sungguh saya melihatnya berada di neraka karena satu kain burdah atau ‘aba-ah yang ditilepnya.” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Wahai Ibnu Khatab, sampaikan kepada manusia bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang-orang beriman.” Umar berkata: “Lalu aku keluar dan menyampaikan, “Ketahuilah, sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang beriman”.” (HR. Muslim)

Hadits lain yang menguatkannya adalah yang dikeluarkan Imam Ahmad dari hadits Umar bin Khathab saat beliau berkhutbah, beliau radhiyallahu 'anhu berkata,

تَقُولُونَ فِي مَغَازِيكُمْ فُلَانٌ شَهِيدٌ وَمَاتَ فَلَانٌ شَهِيدًا وَلَعَلَّهُ قَدْ يَكُونُ قَدْ أَوْقَرَ رَاحِلَتَهُ أَلَا لَا تَقُولُوا ذَلِكُمْ وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيدٌ

"Kalian mengatakan dalam peperangan yang kalian ikuti bahwa fulan telah syahid, kalian juga mengatakan fulan meninggal sebagai syahid, padahal bisa jadi ia berbuat curang ketika berjihad. Janganlah kalian mengucapkan hal itu, namun katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah, ”Barangsiapa yang wafat atau terbunuh ketika berjihad di jalan Allah, maka dia syahid”.” (HR. Ahmad no. 342 dan dihassankan Ibnul Hajar dalam al-Fath: 6/90, dari jalur Abul ‘Ajfa’)

Pendapat yang Membolehkan

Ada juga beberapa ulama yang berpendapat bolehnya menyematkan gelar “Syahid” kepada orang yang melaksanakan sebab yang menghantarkan kepada kesyahidan secara dzahir, kecuali jika nampak sesuatu yang menghalangi dari disematkannya sifat tersebut seperti berbuat curang (menilep) ghanimah. Karena prosedur ini sesuai dengan ketentuan hukum di dunia yang dilihat dari dzahirnya. Sedangkan gelar-gelar syar’i ini disematkan kepada seseorang sebatas dzahirnya. Adapun yang berlaku dengan hukum di akhrirat, maka ilmunya ada pada Allah Ta’ala.

Bukti yang menguatkannya adalah pengakuan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terhadap para sahabatnya radhiyallahu 'anhum saat mengatakan; “Fulan syahid” karena sesuai dengan kondisi dzahir dari para korban tersebut. Maka ketika mereka mengatakannya (menyematkan gelar itu) kepada orang yang tidak layak karena pada dirinya ada sesuatu yang menghalangi, maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam meniadakan dan mengingkarinya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sekali-kali tidak! Sungguh saya melihatnya berada di neraka karena satu burdah atau ‘aba-ah yang ditilepnya.” Dan inilah yang nampak dari perkataan Umar radhiyallahu 'anhu ketika mengingkari gelar tersebut karena adanya penghalang untuk disematkan gelar syahid kepada seseorang.

Maka, tidak apa-apa mengatakan “dia syahid,” kepada seseorang yang melaksanakan satu sebab dari sebab-sebab kesyahidan, sesuai dengan kondisi dzahirnya . . .

Maka, tidak apa-apa mengatakan “dia syahid,” kepada seseorang yang melaksanakan satu sebab dari sebab-sebab kesyahidan, sesuai dengan kondisi dzahirnya, -dan Allah-lah yang Mahatahu tentang hal-hal yang bersifat rahasia-. Dan satu hal perlu diingat, bahwa tidak boleh menyematkan nama syar’i ini kepada orang yang melaksanakan sebab kesyahidan tapi juga mengerjakan sesuatu yang menghalanginya dari mendapatkan kesyahidan. Apalagi gelar ini diberikan kepada orang yang tidak melakukan upaya yang menghantarkan kepada kesyahidan, maka lebih tidak layak lagi. Wallahu Ta’ala a’lam. [PurWD/voa-islam]

Tulisan Terkait:

1. Jihad Tak Akan Berhenti dengan Kematian Usamah bin Ladin

2. Jika Para Syuhada Tidak Mati, di Manakah Arwah Mereka?

3. Menyebut, ''Si Fulan Syahid'', Bolehkah?

4. Bolehkah Menyebut Syaikh Usamah Syahid?


latestnews

View Full Version