View Full Version
Kamis, 20 Jun 2013

Penjelasan Ustadz Aman Abdurrahman atas Syarat Kekafiran pada Remisi

VOA-ISLAM.COM - Terkait syarat-syarat dapat remisi dan Pembebasan Bersyarat (PB) pada masa sekarang dengan aturan barunya yang mengharuskan pernyataan kekafiran dan mengikuti program kekafiran selama di sijn (penjara, red.) Ibnu Taimiyyah berkata:

ويقول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في نفس المسألة: تأملت المذاهب فوجدت الإكراه يختلف باختلاف المكره. فليس المعتبر في كلمات الكفر كالإكراه المعتبر في الهبة ونحوها. فإن الإمام أحمد قد نص في غير موضع على أن الإكراه على الكفر لا يكون إلا بالتعذيب من ضرب أو قيد ولا يكون الكلام إكراها، وقد نص على أن المرأة لو وهبت زوجها صداقها بمسكنه فلها أن ترجع، على أنها لا تهب له إلا إذا خافت أن يطلقها أو يسيء عشرتها فجعل خوف الطلاق أو سوء العشرة إكراها

ومثل هذا لا يكون إكراها على الكفر، فإن الأسير إذا خشي الكفار أن لا يزوجوه أو أن يحولوا بينه وبين امرأته لم يبح له التكلم بكلمة الكفر

وقد يعظم الأمر وينحسر الإعذار بالتقية حتى لا يعذر بها كما في حال المكره على الكفر مع الدوام على ذلك لا في حالة عارضة. ولهذا لما سئل

"Sesungguhnya tawanan bila mengkhawatirkan orang orang kafir tidak menikahkannya atau menghalanginya dari (bertemu) dengan isterinya, maka hal itu tidak membolehkannya untuk mengucapkan kekafiran. Dan masalahnya bisa menjadi lebih besar dan pengudzuran dengan sebab taqiyyah (ikrah) menjadi lenyap sehingga tidak menjadi diudzur dengan sebabnya, seperti pada keadaan orang yang dipaksa terhadap kekafiran disertai  terus menerus di atas kekafiran itu, bukan pada kondisi yang muncul mendadak.

Oleh sebab itu tatkala Al Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang seseorang yang ditawan terus ditawarkan kekafiran terhadapnya dan dia dipaksa terhadapnya, apakah boleh dia murtad? Maka beliau membencinya dengan sangat dan berkata:

  الإمام أحمد رحمه الله عن الرجل يؤسر فيعرض على الكفر ويكره عليه أله أن يرتد؟ فكرهه كراهة شديدة، وقال: ما يشبه هذا عندي الذي أنزلت فيهم الآية من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أولئك كانـوا يرادون على الكلمة ثم يتركون يعملون ما شاؤوا، وهؤلاء يريدونهم على الإقامة على الكفر وترك دينهم

"Menurut saya orang ini tidak serupa dengan (keadaan) para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mana ayat itu (An-Nahl: 106, pent.) turun berkaitan dengan mereka, di mana para sahabat itu dipaksa untuk mengucapkan suatu ucapan (kekafiran) kemudian mereka dilepaskan melakukan apa yang mereka suka, sedangkan orang orang itu dipaksa orang orang kafir untuk menetap di atas kekafiran dan meninggalkan dien mereka."  Selesai perkataan beliau rahimahullah.

Seandainya orang yang ditawan thaghut itu saat habis tanda tangan kekafiran itu langsung dipulangkan, mungkin bisa berdalil dengan kisah Ammar, tapi masalahnya sekarang adalah thaghut itu sejak awal meminta orang-orang untuk terus-menerus ikut dalam kegiatan kekafiran selama di sijn (penjara) kemudian setelah itu ada janji kemudahan dan keringan. Maka ini serupa dengan tawanan yang disebutkan Al-Imam Ahmad itu yang dipaksa untuk menetap di atas kekafiran.

Jumhur ulama memandang bahwa sijn (penjara, red.) itu bukan ikrah (bentuk paksaan, red) untuk mengucapkan kekafiran, sedangkan sebagian ulama menganggap sijn adalah ikrah. Dan pendapat jumhur adalah yang rajih karena berdasarkan dalil yang kuat. Ini berkaitan dengan pengucapan kekafiran yang sekali, terus orangnya dilepaskan, bukan tentang orang yang dipaksa untuk tetap terus menerus ikut program kekafiran selama di sijn.

Dan berkaitan dengan pengucapan sekali kekafiran lalu dilepas (bebas, red.) yang diperselisihkan ulama adalah perihal apakah itu dianggap ikrah yang mu'tabar dalam kekafiran atau bukan. Maka bagaimana dengan pelakunya seandainya di hari kiamat di saat Allah memutuskan perselisihan ulama itu ternyata kebenaran yang Allah putuskan itu di pihak ulama yang mengatakan bahwa itu bukan ikrah yang mu'tabar dan berarti pelakunya kafir di hadapan Allah. Maka bagaimana dengan nasib orang yang merasa di dunia dia diudzur tapi ternyata di akhirat dia itu kafir? Di sana dia tidak bisa kembali ke dunia.

 

(Aman Abdurrahman)


latestnews

View Full Version