View Full Version
Jum'at, 15 Aug 2014

Jahiliyah Anggap Syawal Bulan Sial, Islam Jadikan Syawal Bulan Mulia

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Syawal adalah bulan kesepuluh dari penanggalan Qomariyah atau kalender hijriyah. Hari pertamanya kaum muslimin merayakan idul fitri. Kedatangannya menjadi akhir dari pelaksanaan puasa Ramadhan.

Makna Syawal: Kullu maa irtafa’a (setiap yang meninggi/terangkat). Ibnul ‘Allan asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang.”(Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin).

Ibnul Mandzur berkata, "Syawal adalah salah satu nama bulan yang sudah ma'ruf, yakni nama bulan setelah bulan Ramadhan, dan merupakan awal dari bulan-bulan haji." Ada juga yang berpendapat, jika dikatakan Tasywiil Labnil Ibil (syawwalnya susu onta), berarti susu onta yang tinggal sedikit atau berkurang. Begitu juga onta yang berada dalam keadaan panas dan kehausan."

Ada juga yang mengatakan, dinamakan bulan syawal dari kata syalat an-Naqah bi Dzanabiha [arab: شالت الناقةُ بذنَبِها], artinya onta betina menaikkan ekornya. (Lisan Al-Arab, 11/374).

Bulan syawal adalah masa di mana onta betina tidak mau dikawini para pejantan. Ketika didekati pejantan, onta betina mengangkat ekornya. Keadaan ini menyebabkan munculnya keyakinan sial di tengah masyarakat jahiliyah terhadap bulan syawal. Sehingga mereka menjadikan bulan syawal sebagai bulan pantangan untuk menikah. Ketika islam datang, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam justru menikahi istri beliau di bulan syawal. Untuk membantah anggapan sial masyarakat jahiliyah.

Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata,

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahiku pada bulan Syawwal dan berkumpul denganku pada bulan Syawwal, maka siapa di antara isteri-isteri beliau yang lebih beruntung dariku?” (HR. Muslim no. 2551, Al-Tirmidzi no. 1013, Al-Nasai no. 3184, Ahmad no. 23137 –dinukil dari Maktabah Syamilah-)

Ringkasnya, bangsa Arab jahiliyah menganggap bulan Syawal sebagai bulan yang di dalamnya banyak kesialan. Siapa menikah atau menikahkan anak perempuannya maka pernikahan tersebut tidak akan langgeng.

Imam Ibnu Katsir berkata, "Berkumpulnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha pada bulan Syawal menjadi bantahan akan keraguan sebagian orang yang membenci untuk menikah/berkumpul (dengan pasangannya) di antara dua hari raya, takut/khawatir keduanya akan bercerai. Dan ini tidak ada kaitannya." (al-Bidayah wa al-Nihayah: 3/253)

Tujuan 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyampaikan hadits di atas, -beliau dinikahi dan digauli oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada bulan Syawal-, sebagai bantahan tradisi bangsa jahiliyah dan keyakinan orang awam pada saat ini yang tidak suka menikah, menikahkan, dan berkumpul pada bulan syawal. Ini merupakan keyakinan batil yang tak berdasar. Bahkan, termasuk warisan jahiliyah. Dimana mereka meramal kesialan menikah pada bulan tersebut karena nama Syawwaal berasal dari kata al-Isyalah wa al-raf'u (mengangkat : onta betina yang mengangkat ekornya karena tidak mau dikawin). (Lihat Syarh Muslim atas hadits di atas, no. 2551)

Syawal dalam Islam

Syawal dalam Islam termasuk bulan mulia. Bulan pertama dari bulan-bulan haji (Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzulhijjah). Di dalamnya disyariatkan puasa enam hari. Hukumnya sunnah, namun memiliki keutamaan agung dan pahala yang besar.

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjanjikan pahala puasa setahun penuh bagi siapa yang mengerjakannya seusai mengerjakan shiyam Ramadhan. Pelaksanaannya bisa berurutan atau terputus-putus. Bisa dikerjakan di awal bulan setelah tanggal 1-nya, dipertengahan bulan, atau di bagian akhirnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim dan lainnya)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama menjelaskan maksud seperti berpuasa setahun penuh, karena satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Ramadhan senilai sepuluh bulan, sedangkan enam hari senilai dua bulan.”

Para ulama menjelaskan, puasa enam hari ini menjadi bukti rasa syukkur seorang shaim kepada Rabb-nya karena telah memberinya taufiq mengerjakan shiyam Ramadhan. Ini pun menjadi bukti bahwa dirinya adalah orang yang gemar menjalankan ketaatan. Karena sesungguhnya ketaatan tidak memiliki musim tertentu, jika berlalu Ramadhan lalu ia kembali malas dan bermaksiat. Tetapi ketaatan itu berkesinambungan. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version