View Full Version
Senin, 27 Feb 2017

Dewan Dakwah Rilis Fatwa Larangan Shalatkan Jenazah bagi Pendukung Ahok

 

 

JAKARTA (voa-islam.com)--Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengeluarkan fatwa larangan menshalatkan jenazah pendukung Gubernur Kafir DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai bentuk sanksi sosial.

Fatwa Nomor: 06/B-MAFATIHA/II/1438/2017 itu diberi judul "Sanksi Agama bagi Pendukung Penista Agama dan Pemilih Calon Pemimpin Non-Muslim.

Fatwa tersebut keluar berbarengan maraknya pemasangan spanduk di masjid-masjid di Jakarta, menolak menyolatkan jenazah pendikung Ahok.

"Pentingnya sanksi hukum sebagai pembelajaran sosial, tujuan kemaslahatan umum, memenuhi rasa keadilan, tanggungjawab pelaku perbuatan, menumbuhkan efek jera dan perwujudan ketaatan terhadap syariat," kata Dr Zain An-Najah, Ketua Pusat Kajian DDII, dalam lembar fatwanya, disahkan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 25 Pebruari 2017, pada Haflah 1/2 abad Dewan Dakwah.

Diantara latar belakang lainnya fatwa tersebut dikeluarkan, ialah menimbang bahwa kemunafikan adalah jalan terburuk kehidupan, perusak iman, merontokkan tatanan ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan). 

"Munafik adalah adik kandung kekufuran dan kemusyrikan, musuh bersama semua agama," kata Ustadz Zain.

Serta, lanjutnya, menimbang pentingnya kesatuan dan penyatuan shaf (tauhidus shufuf) kaum muslimin dalam bingkai perjuangan Islam dan Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah naungan baldah thayyibah wa rabbun ghafur;

Apalagi, pemilihan pasangan pemimpin dalam semua tingkatan adalah bagian dari jihad politik, di mana hak pilih dan hak suara semestinya disalurkan pada calon terbaik menurut timbangan al-Quran dan as-Sunnah;

"Menimbang gencarnya upaya sistemik golongan lain melancarkan politik pecah-belah untuk melemahkan kekuatan ummat Islam dengan menghalalkan segala cara," tegas Ustadz Zain.


Landasan Syar'i

Dewan dakwah juga membeberkan sejumlah landasan dalil dari Al-Quran dan hadist Nabi SAW, diantaranya;

Firman Allah سبحانه وتعالى: surah Ali Imran:152 tentang sumber kekalahan kaum muslimin. Surah Hud: 15-16: tentang akibat buruk orang yang memilih kepentingan duniawi sebagai orientasi perjuangannya. Surah at-Taubah:113-114: tentang larangan bagi Nabi saw dan kaum mu'minin memintakan ampun kepada Allah terhadap orang musyrik. Surah at-Taubah: 80, 84: tentang ditolaknya pertobatan orang munafik dan larangan al-Quran menyolati dan mendoakan jenazah orang munafik.

Kedua, Hadits Nabi صلى الله عليه وسلم :

1. Hadits Abdurrahman bin Jubeir bin Nufeir (ra) yang bertanya pada Ayahnya, “kaifa antum
idzā kharaja fiyhā dā'iyāni, bagaimana sikapmu jika sudah tampil da'i standar 
ganda (1) Dā'in ilā kitābillāh, dan (2) wa
dā'in ilā sulthānillāh. Pertanyaannya; “ilā ayyumā tujībūn”, da'i mana yang perlu kami dengar.  Ayahnya: “ilā kitābillāh qāla idzan tuhlikuw.” da'i yang mengajak pada kitabullah, jika tidak pasti kalian celaka (Imam Ibnu Abi Hatim, 'Ilalu al-Hadits, Juz 2:424);

2. Hadits Muhajir Ummu Qais (orang yang hijrah karena mengejar wanita). Hadits Qatilul-Himar, yaitu  sahabat ikut jihad perang karena mengejar ghanimah, ia diseruduk keledai. Hadits Tsalatsatu Dananir, orang yang ikut perang dengan mengajukan bagiannya sebelum
berangkat;

3. Hadits Abu Hurairah (ra) :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  تعس عبد الدينار وعبد الدرهم وعبد الخميصة إن أعطى رضى وإن لم يعط سخط تعس وانتكس وإذا شيك فلا انتقش  (البخارى، وابن ماجه عن أبى هريرة)
“Celakalah hamba dinar, hamba
dirham, hamba pakaian. Jika diberi ia senang, jika tidak diberi ia marah. Celakalah ia dan tersungkurlah ia. Apabila tertusuk duri semoga tidak bisa mencabutnya." Shahih Bukhari  (2730, 4135);

4. Hadits Anas bin Malik (ra): “setiap ada jenazah yang mau disholatkan, Nabi saw selalu bertanya: “hal ‘alaa shahibikum daynun, apakah Sahabat kalian ini tersangkut hutang-piutang.”

• Sahabat lain berkata: “huwa ‘alayya, hutangnya aku yang bayar.” Jika tidak, Nabi bersabda: “shalluw ‘alaa shahibikum”, sholati sahabat kalian itu.

• HR Thabarani, al-Ausath, hadits hasan;

"Mafhum mukhalafahnya: orang yang tidak bayar hutang saja, tidak disholatkan; apalagi yang tingkat kesalahannya berada di atasnya," jelas Dewan Dakwah.

(c) Asbab Nuzul surah at-Taubah:84

• Ba‘da Tabuk; Syawal 9 H. Abdullah bin Ubay bin Salul, 1 dari 11 tokoh inisiator masjid Dhirar, wafat (Qs.9:107).  Puteranya, Abdullah –tutur Nafi‘ dari jalur Ibnu Umar (ra)-menemui Nabi saw (1) minta baju  Nabi buat kain kafan Ayahnya, dikasi..fa’a‘thaahu.. tsumma sa’alahu an yushalliya ‘alayh, (2) Minta disholatkan langsung oleh Nabi saw. Lalu Umar (ra) berdiri, menarik baju Nabi, “an yushalliya ‘alayh; engkau mau menyolatinya wahai Rasulullah. Nabi pun menyolatkannya. Namun, ketika dibibir kuburan, saat Nabi saw hendak mendoakannya, turun malaikat Jibril dengan at-Taubah:84.” As-Shahihah Syeikh Albani, Juz 3:123;

(d) Sirah Sahabat radhiyallahu'anhum:

• Umar bin Khatthab dan Hudzaifah  Ibnul Yaman (ra), tidak mau menyolati mayat munafik. Zaid bin Wahab meriwayatkan: “seorang dari kaum munafik, meninggal dunia. Hudzaifah Ibnul Yaman (ra) tidak ikut terlihat menyolati jenazah. Umar (ra) bertanya: “lima la tushalli”, Amanil qaumu huwa? Jawab Hudzaifah: “na‘am.” Umar: “Billaahi minhum anaa?”, demi Allah, termasukkah aku dari mereka.  Hudzaifah: “laa, wa lan akhbar bihi ba‘daka.” Setelah ini, aku tidak akan bocorkan daftar mereka.”

• Kitab as-Sunnah, Abu Bakar bin al-Khalal (Juz 4:111);

(e) Fatwa Ahlul-'Ilmi:

1. Fatwa Abu Ishaq as-Syirazi rahimahullah, Kitab al-Muhadzzab (Juz 1:250) tentang larangan menyolati jenazah munafik nyata.

2. Fatwa Penyusun Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Juz 21:41): "Nabi saw tidak menyolati jenazah munafik setelah turunnya surah at-Taubah: 84, dan tidak mendoakannya di kuburan. Mayat Munafik tidak boleh disholatkan oleh jamaah yang mengetahui bahwa orang itu benar-benar munafik sewaktu hidupnya. Bagi jamaah yang tidak mengetahuinya, boleh menyolatkan jenazah orang itu, seperti dilakukan oleh Hudzaifah Ibnul Yaman dan Umar bin Khatthab rafhiyallahu 'anhuma.

3. Fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah, Grand Mufti Saudi Arabia di zamannya:

• SOAL: “jika mayat itu sudah dikenal sebagai munafik, apakah perlu disholat-jenazahkan?

• JAWAB:

• “Jika kemunafikannya sudah terang benderang, laa yushalli ‘alayh; maka ia tidak disholatkan. Berdasarkan firman Allah, at-Taubah:84.
• Jika tanda kemunafikannya, samar. Ia tetap disholatkan. (www.binbaz.org.sa).


Putusan Fatwa

Menimbang hal-hal tadi di atas, maka, Dewan Dakwah memutuskan dan menetapkan bahwa;

Pertama, Orang yang dengan sadar memilih pasangan calon Pemimpin dari agama selain Islam dalam suatu pemilihan di semua tingkatan pemilu, termasuk  munafik nyata (nifaq 'amali/nifaq jahran);

Kedua, Jenazah munafik nyata tidak boleh disholatkan oleh jamaah yang mengetahui kemunafikannya. Bagi orang yang tidak mengetahuinya, boleh menyolatkan;

Ketiga, Larangan menyolatkan jenazah munafik nyata tersebut berlaku bagi semua kaum muslimin, khususnya imam sholat, tokoh dan orang-orang shalih. Adapun mayatnya hanya diurus oleh keluarga yang ditinggal dan kalangan terbatas dari sanak keluarganya;

Keempat, Sebagai upaya pembelajaran dan efek jera, kami mendorong gerakan masjid-masjid di tanah-air untuk tidak menyolatkan jenazah para pendukung penista agama secara khusus dan para pemilih pasangan calon pemimpin non-muslim secara umum;

"Kelima, menyerukan kepada segenap kaum muslimin/mat untuk tidak memperdulikan seruan, pendapat dan pemikiran yang nyeleneh dari pihak-pihak tertentu yang bertentangan secara diametral dengan al-Quran-Sunnah," pungkas Ustadz Zain.

Fatwa tersebut juga ditandatangani oleh  Drs. H. Syamsul Bahri Ismaiel, MH, selaku  Sekretaris Pusat Kajian DDII. * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version