View Full Version
Rabu, 15 Mar 2017

Bahsul Masail Markaz Aswaja Jawa Timur Haramkan Pilih Pemimpin Kafir

 

MALANG (voa-islam.com)--Merespon banyaknya pertanyaaan dari masyarakat tentang hukum memilih pemimpin kafir, Markaz Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) Jawa Timur merasa terpanggil untuk mengadakan kajian ilmiah.

Markaz Aswaja mendasari pada sabda Rasulullah SAW bahwanya “Akan datang kepada masyarakat masa-masa penuh kedustaan. Pendusta dianggap jujur dan orang jujur dianggap pendusta, pengkhianat dianggap amanat, dan orang amanat dianggap pengkhianat.” (HR. Ibnu Majah 4036 dan dishahihkan dalam Shahih al-Jami’).

"Hadits ini mengingatkan, bahwa saat ini telah bermunculan kelompok pendusta agama yang mengatasnamakan komunitas Islam, lantas mengajak umat Islam untuk memilih pemimpin kafir," kata Markaz Aswaja Jawa Timur dalam pernyataannya,  Malang, Selasa, 14 Maret 2017.

Berdasarkan pengkajian dari dalil Qur'an, sunnah, dan perkataan ulama Salaf hukum umat Islam memilih pemimpin kafir kesimpulannya adalah haram.

Penjelasannya adalah perintah al-Quran yang menyatakan;

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin kalian, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (QS. Al Maidah: 51).

Imam Alqadli Iyadl mengatakan: Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada oranng kafir. Termasuk ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan. (Syarah Sahih Muslim, an-Nawawi, 6/315).

Al-Hafidz Ibnu Hajar bahkan lebih tegas mengatakan: "Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang mereka lakukan. Dengan kesepakatan para ulama, wajib kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu, maka dia mendapat pahala, dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa, dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu", (Fathul Bari, 13/123).

Sementara itu, terkait status pembela dan pemilih pemimpin kafir  Markaz Aswaja mengungkap dasar-dasar pertimbangannya yaitu, tafsir Imam Ibnu Katsir tentang QS. An-Nisa: 138-139 mengatakan: 

“Kemudian Allah mensifati, bahwa (kaum munafiq) adalah mereka yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin/pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman. Artinya, mereka sejatinya satu barisan dengan orang-orang kafir. Mereka memberikan loyalitas dan kasih sayangnya kepada orang-orang kafir. Lalu jika bertemu sesama mereka, orang-orang munafik itu berkata, ‘Sesungguhnya kami bersama kalian, sesungguhnya kami hanya mengolok-olok orang-orang beriman dengan penampilan kami yang seolah-olah sejalan dengan mereka.’ 

Berikutnya Allah Ta’ala mengingkari bentuk loyalitas mereka (orang-orang munafik) kepada orang-orang kafir dengan firmannya, “Apakah mereka (orang-orang munafik) mencari kekuatan di sisi orang-orang kafir?”. (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, II/436).

"Kesimpulanya para pembela pemimpin kafir itu status hukumnya munafik," ungkap Markaz Aswaja.

"Sedangkan pemilih pemimpin kafir yang hanya karena tergiur uang sogokan dapat digolongkan sebagai Fasik," sambungnya.


Markaz Aswaja juga mengkaji hukum menyalati kaum munafik dna fasik. Di antara pertimbangannya adalah dalil Quran yaitu;

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri untuk mendoakan di kuburnya.” (QS. Attaubah, 84) dst, berkata: Maka sejak turunnya ayat itu Rasulullah SAW tidak pernah menyalati jenazah orang munafiq, dan tidak pernah berdiri di atas kuburannya hingga beliau SAW wafat. (HR. Bukhari).

Imam Ghazali berkata: “Bahwa Shahabat Hudzaifah RA itu memiliki keahlian khusus untuk mengetahui status orang munafiq. Karena itu Khalifah Umar bin Khatthab tidak bersedia menyalati jenazah orang (yang belum jelas statusnya) hingga Shahabat Hudzaifah yang menyalatinya, karena Khalifah Umar khawatir jenazah itu adalah orang munafiq. (Kitab Ihya Ulumiddin, juz 1, hal 129).

Imam Nawawi mengatakan: “Dari Imam Malik dan yang lainnya berpendapat, bahwa hendaknya seorang imam tidak menyalati jenazah orang yang mati karena dihukum had (pelaku dosa besar). Demikian juga para pemuka agama sepatutnya tidak menyalati orang-orang fasiq, sebagai bentuk teguran (peringatan) bagi mereka”. (Syarah Muslim oleh al-Imam an-Nawawi: VII/ 47-48).

"Kesimpulannya, menyalati jenazah kaum munafik sesuai larangan Alquran itu hukumnya Haram. Sedangkan jenazah kaum fasik (pelaku dosa besar), Tidak Layak Dishalati oleh para ulama dan tokoh masyarakat, namun tetap dishalati oleh orang awam,"pungkas Markaz Aswaja Jatim

Di antara tokoh dan asatidz yang terlibat dalam musyawarah bahtsul masail Markaz Aswaja Jawa Timur adalah Ustadz. Muhsin Baits (Jember), Ust. Faiz Nashir (Jember), Ust. A. Faishal Ali Suyuthi. S.Pd (Malang), Ust. Abdul Aziz Hasbullah (Jember), Ust. Abdurrochman Baidhoi, S.Pd.I (Jember), Ust. Junaidi (Pamekasan), Ust. M. Kholil Mukhtar, S.Pd (Lumajang), Ust. Ach. Mahrus, S.Pd.I (Pamekasan), Ust. Itsbat Ubaidillah (Pamekasan), Ust. Nashiruddin Muzhhar (Probolinggo), Ust.  Muhammad Fahim (Jember), Ust. Malthufullah Muyasir, SE (Lumajang), Ustadz Muhammad Sufyan (Probolinggo).

Adapun tim pentashih dalam bahtsul masail adalah KH. Luthfi Bashori (Malang), KH. Idrus Ramli (Jember), KH. Muhammad Bahri Asrowi (Pamekasan), Ustadz Muhammad Fad’aq (Jakarta). * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version