Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan sahabatnya.
Tauhid secara bahasa menunggalkan sesuatu. Mentauhidkan sesuatu berarti menjadikannya satu atau tunggal. Sedangkan metauhidkan Allah berarti menunggalkan Allah atau menjadikan-Nya satu-satunya.
Adapun tauhid secara istilah syar’i adalah menunggalkan Allah Ta’ala semata dalam ibadah. Artinya beribadah hanya kepada Allah semata. Berarti, muwahhid (orang yang beratuhid) adalah orang yang menyatakan diri siap ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya.
Tauhid istilah lain dari aqidah islamiyah atau iman. Orang yang bertauhid adalah yang beriman dan berakidah Islamiyah yang meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan pencipta alam raya yang berhak untuk diibadahi. Segala sesuatu yang dipertuhankan selain-Nya adalah batil. ‘Tuhan-tuhan’ yang disembah selain Allah itu akan berlepas diri dari penyembahnya dan ingkar atas penuhanan tersebut.
Sedangkan tauhid atau iman seseorang itu adakalanya sempurna, bertambah, dan berkurang. Maka orang yang telah beriman atau bertauhid, -adakalanya-, malas beribadah dan masih bermaksiat.
Seorang muwahhid yang malas mengerjakan sebagaian kewajibannya sebagai orang beriman dihukumi sebagai naqishul iman (orang yang berkurang kesempurnaan imannya). Demikian pula jika ia kerjakan sebagian maksiat maka imannya berkurang.
Ini keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Seperti orang yang sengaja meninggalkan sebagian puasa Ramadhan tanpa udzur; ia telah bermaksiat kepada Allah dengan dosa besar yang mengurangi dan melemahkan iman. Bahkan sebagian ulama sudah mengafirkannya dengan sebab perbuatan itu.
Pendapat lebih kuat bahwa dia tidak dikafirkan selama masih meyakini kewajibannya. Demikian pula dosa-dosa besar yang kadarnya di bawah Syirik dan kufur ; seperti durhaka ke orang tua, memutus silaturahim, berzina, mencuri, mabuk-mabukan, dan dosa besar lainnya. Pelaku-pelaku dosa tersebut dihukumi sebagai orang yang lemah iman.
Adapun dosa meninggalkan shalat dengan sengaja mendapat perhatian lebih serius di antara para ulama. Siapa meninggalkannya dengan sengaja karena malas maka sebagian ulama menghukuminya telah keluar dari Islam; walau masih meyakini kewajibannya. Ini didasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian (yang membedakan) antara kami dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa yang sengaja meninggalkannya maka ia telah menjadi kafir.” (HR. Ahmad dan Ahlussunan)
Hadits lain yang serupa,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya pembatas antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir)
Maknanya, yang menghalanginya dari menjadi kafir adalah selama dia tidak meninggalkan shalat. Maka apabila ia meninggalkannya, tidak ada pembatas antara dia dan kesyirikan, bahkan ia telah masuk ke dalamnya. (Keterangan tambahan dari Syarah Muslim li al-Nawawi)
[Baca: Peringatan Bagi yang Suka Meninggalkan Shalat]
Dan masih banyak lagi dalil-dali dari Al-Qur'an dan sunnah yang dijadikan landasan mengaafirkan orang yang meninggalkan sebagaian shalat fardhu dengan sengaja karena malas.
Diakui pula, sebagian ulama lain berpandangan bahwa orang tersebut belum dikeluarkan dari Islam selama masih mengakui kewajibannya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]