Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Ridha kepada Allah dan takdir-Nya termasuk ibadah paling utama dan kedudukan yang tertinggi di sisi Allah. Ridha kepada takdir adalah buah iman kepada Allah dan tawakkal kepada-Nya. Dengan ini maka Allah akan senantiasa membersamai dan menunjuki hamba-Nya.
Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Taghabun: 11)
Kata Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa musibah yang terjadi itu dengan perintah Allah; yaitu berasal dari takdir dan kehendak-Nya.
‘Alqamah Radhiyallahu 'Anhu pernah ditanya tentang ayat ini, ia berkata:
هو الرجل تصيبه المصيبة، فيعلم أنّها من عند الله، فيرضى ويسلّم
“Dia adalah laki-laki yang tertimpa musibah, lalu ia tahu bahwa musibah itu dari sisi Allah kemudian ia ridha dan menerima lapang dada.”
Ridha kepada keputusan Allah akan mendatangkan ketenangan dan ketentraman jiwa. Inilah sumber utama kebagiaan hamba di dunia dan akhirat.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إن عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قوًما ابتلاهم، فمن رضي، فله الرضا، ومن سخط، فله السخط
“Sesungguhnya besarnya pahala sebanding besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai satu kaum maka Allah uji mereka. Siapa yang ridha maka ia mendapat keridhaan Allah. Sebaliknya, siapa marah, maka ia mendapat kemarhan Allah.” (HR. Al-Tirmidzi)
Imam al-Thibi dalam Syarh al-Misykah menjelaskan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, “Siapa yang ridha maka ia mendapat keridhaan Allah”: syarat dan balasan. Dipahami dari sini bahwa ridha Allah Ta’ala didahului dengan ridha hamba. Sedangkan mustahil, seorang hamba akan ridha kepada Allah kecuali setelah Allah ridha kepadanya. Ini sebagaimana firman Allah:
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 8) Mustahil akan didapatkan ridha Allah lalu tidak didapatkan ridha manusia di akhirat.
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam Jaami’ al-‘Ulum wa al-Hikam berkata, “siapa yang sampai kepada derajat ini maka hidupnya, seluruhnya, dalam kenikmatan dan kesenangan.”
Beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS. Al-Nahl: 97)
Sebagian ulama salaf berkata: Al-Hayah al-Thayyibah (kehidupan yang baik): adalah ridha dan qona’ah.
Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ridha adalah pintu Allah yang sangat agung, surga dunia, dan peristirahatannya para ahli ibadah.”
Bergembiralah jika Anda bisa ridha dengan takdir Allah di tengah wabah pendemi Covid-19 ini. Bersyukurlah kepada Allah dengan hati, lisan, dan amalan. Semoga Allah menambahkan keridhaan-Nya kepada kita dengan taufiq kita ridha kepada ketetapan-Nya. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]