View Full Version
Selasa, 09 Dec 2025

Menggapai Keberkahan dengan Tawakkul yang Benar

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan keluarganya.

Dalam diskursus keislaman kontemporer, konsep Tawakkul (berserah diri kepada Allah) seringkali disalahpahami. Sebagian orang mengartikannya sebagai sikap pasrah total tanpa perlu adanya usaha atau ikhtiar. Pemahaman yang keliru ini dapat melahirkan sikap fatalisme dan kemalasan, yang tentu saja bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang menjunjung tinggi etos kerja dan profesionalisme.

Lantas, bagaimanakah hakikat Tawakkul yang benar menurut pandangan ulama?

Tawakkul Pilar Dien yang Sangat Penting

Syaikh Abdul Razzaq Al-Badr, seorang ulama terkemuka, menjelaskan kedudukan Tawakkul dalam kitabnya Fiqh Al-Asma' Al-Husna. Beliau menegaskan bahwa Tawakkul adalah pilar agama yang sangat penting.

Beliau hafizhahullah berkata:

والتَوكُلُ على اللَّهِ وحدهُ، وتَفويضُ الأمورِ كلها إليهِ والاعتِمادِ عليهِ في جَلبِ النعماءِ ودفعِ الضر والبلاءِ مقامٌ عظيمٌ من مقاماتِ الدينِ الجَليلةِ، وفَريضةٌ عظيمةٌ من فرائضِ اللَّهِ على عبادهِ يجبُ إخلاصُها للَّهِ وحدهُ

"Dan tawakkul (berserah diri) kepada Allah semata, menyerahkan semua urusan kepada-Nya, dan bersandar kepada-Nya dalam meraih nikmat serta menolak bahaya dan bencana, adalah kedudukan yang agung dari kedudukan-kedudukan agama yang mulia, dan merupakan kewajiban yang besar dari kewajiban-kewajiban Allah atas hamba-hamba-Nya yang wajib diikhlaskan hanya kepada Allah semata..." (Syaikh Abdul Razzaq Al-Badr, Fiqh Al-Asma' Al-Husna, Hal: 272)

Dari pernyataan ini, jelas bahwa Tawakkul bukanlah sekadar pilihan spiritual, melainkan sebuah kewajiban (faridhah) yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim. Kewajiban ini harus diikhlaskan hanya kepada Allah, menjadikannya salah satu bentuk ibadah hati yang paling murni.

Hakikat Tawakkul: Amalan Hati yang Murni

Syaikh Abdul Razzaq Al-Badr kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai hakikat Tawakkul. Beliau menekankan bahwa Tawakkul adalah amalan hati ('amalul qalb) dan bentuk penghambaan ('ubudiyyah) yang mendalam.

وحَقيقةُ التوكلِ هو عَمل القلب وعُبوديتهُ اِعتمادًا على اللَّه وثِقةً بهِ واِلتجاءً إليهِ، ورضًا بما يَقضيهِ لهُ، لعلمهِ بكفايتهِ سُبحانهُ وحسن اِختيارهِ لعبدهِ إذا فَوضَ إليهِ أمورهُ

"Dan hakikat tawakkul adalah amalan hati dan penghambaannya, yaitu bersandar kepada Allah, percaya kepada-Nya, berlindung kepada-Nya, dan ridha terhadap apa yang Dia tetapkan baginya, karena pengetahuannya tentang kecukupan-Nya (Allah) dan baiknya pilihan-Nya bagi hamba-Nya jika ia menyerahkan urusannya kepada-Nya..." (Syaikh Abdul Razzaq Al-Badr, Fiqh Al-Asma' Al-Husna, Hal: 272)

Tawakkul sejati berakar pada keyakinan yang kokoh terhadap tiga hal:

1. Kecukupan Allah (Kifayatullah): Meyakini bahwa Allah Maha Mencukupi segala kebutuhan hamba-Nya.

2. Kepercayaan Penuh (Tsiqah): Mempercayai janji dan kekuasaan Allah sepenuhnya.

3. Keridhaan (Ridha): Menerima dengan lapang dada segala ketetapan dan takdir Allah, baik yang terasa menyenangkan maupun tidak.

Inilah inti dari Tawakkul: sebuah kondisi batin yang tenang dan damai karena telah menyerahkan segala hasil akhir kepada Sang Pengatur Semesta.

 

Ikhtiar Maksimal: Syarat Mutlak Tawakkul

Poin paling krusial yang sering terlewatkan adalah penegasan Syaikh Abdul Razzaq Al-Badr mengenai hubungan antara Tawakkul dan usaha. Tawakkul tidak pernah berdiri sendiri tanpa adanya usaha nyata.

Beliau melanjutkan:

مع قيامهِ بالأسبابِ المَأمور بها واِجتهادهِ في تَحصيلها

"...disertai dengan melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan dan bersungguh-sungguh dalam meraihnya." (Syaikh Abdul Razzaq Al-Badr, Fiqh Al-Asma' Al-Husna, Hal: 272)

Kalimat ini menjadi pembeda antara Tawakkul yang syar'i (sesuai syariat) dengan sikap malas yang dibungkus label syariat. Tawakkul yang benar adalah ketika seorang Muslim mengerahkan seluruh daya dan upaya (ikhtiar) yang dimilikinya, melaksanakan semua sebab yang diperintahkan dalam syariat, dan bersungguh-sungguh (ijtihad) dalam prosesnya. Setelah semua usaha maksimal dilakukan, barulah hati berserah diri sepenuhnya kepada Allah untuk hasil akhirnya.

Contoh paling nyata adalah kisah seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat. Ketika ditanya oleh Rasulullah ﷺ, ia menjawab, "Aku telah bertawakkul kepada Allah." Rasulullah ﷺ kemudian bersabda, "Ikatlah untamu, kemudian bertawakkullah." (HR. At-Tirmidzi, dari Anas bin Malik. Dihasankan oleh Al-Albani)

Hadits ini mengajarkan bahwa Tawakkul adalah perpaduan sempurna antara keyakinan hati dan tindakan fisik. Mengikat unta adalah ikhtiar, sedangkan menyerahkan keselamatan unta kepada Allah adalah Tawakkul.

Penutup

Tawakkul sejati adalah sumber kekuatan dan keberkahan. Ia membebaskan hati dari rasa cemas dan khawatir berlebihan terhadap hasil, karena seorang hamba yakin bahwa Allah akan memilihkan yang terbaik baginya.

Dengan memahami hakikat Tawakkul sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Razzaq Al-Badr, seorang Muslim didorong untuk menjadi pribadi yang paling giat, paling profesional, dan paling bersungguh-sungguh dalam urusan dunia dan akhiratnya. Sebab, ia tahu bahwa usahanya adalah bagian dari ibadah, dan hasil akhirnya adalah ketetapan dari Dzat Yang Maha Bijaksana. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version