Tak lama lagi, 25 Desember nanti, sepertiga manusia di muka bumi ini akan merayakan Natal. Hari lahirnya Yesus Kristus alias Nabi Isa AS, yang oleh umat Kristen dianggap sebagai Tuhan. Penuhanan Nabi Isa tentu tidak benar. Ikuti kisah berikut ini, yang kami petik dari berbagai buku dan kitab, di antaranya kitab Ihya Ulumuddin, karya Imam Al-Ghazali:
Kening Ja’far bin Abi Thalib tampak mengkerut. Napasnya satu-satu, dan sedikit tertahan. Ia khawatir kalau-kalau omongan Amr bin Ash, utusan kaum kafir Quraisy untuk mengejar kaum muslimin yang hijrah ke Habasyah, Ethiopia, akan mempengaruhi keputusan Raja Habasyah. Jika raja penganut Nasrani itu terpengaruh, habislah kaum muslimin.
Apalagi sebelumnya, Ja’far bin Abi Thalib mengetahui bahwa Amr bin Ash sempat menyuap beberapa pembesar Habasyah dengan emas dan permata seraya berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang bodoh dari negeri kami yang menyusup ke negeri kalian. Mereka keluar dari agama nenek moyang mereka dan memecah belah agama kaumnya. Maka apabila kami menghadap Raja untuk mengadukan perkara mereka, pengaruhilah Raja agar mau menyerahkan mereka kepada kami tanpa menanyakan agama mereka. Sesungguhnya kami, para pembesar mereka, lebih tahu tentang keadaan mereka dan tentang apa yang mereka yakini saat ini.”
Sementara itu, matahari tepat berada di atas kepala. Angin gurun pasir terus menerbangkan debu-debu, hingga melekat di tubuh kaum muslimin, yang sudah lusuh, karena lelah setelah mengadakan perjalanan jauh untuk mengungsi di negeri yang menurut Rasulullah tidak ada seorang pun yang terzhalimi. Mereka menanti panggilan Raja Najasyi, raja Habasyah itu.
Raja Najasyi sendiri saat itu sedang duduk di singgasananya. Tatapan matanya yang tajam mengarah ke Amr bin Ash. Ia memperhatikan dengan seksama orang yang datang dari Makkah tersebut.
Hasutan Amr bin Ash
Setelah menghaturkan sembah sujud kepadanya, Amr bin Ash menyerahkan kepadanya berbagai macam hadiah yang dibawa dari Makkah seraya menyampaikan salam penghormatan dari para pembesar Makkah, yang diketuai Abu Sufyan.
Setelah itu ia berkata, “Duhai Paduka Raja, sesungguhnya ada beberapa orang bodoh dari negeri kami yang menyusup ke negeri Tuan. Mereka telah meninggalkan agama kami, tetapi tidak masuk ke agama Tuan. Mereka datang dengan agama baru yang kami tidak mengetahuinya secara persis dan begitu juga Tuan. Kami diutus para pembesar kaum kami untuk menemui Tuan agar Tuan berkenan mengembalikan orang-orang ini kepada kami. Karena mereka lebih tahu dengan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka yakini dari agama baru tersebut.”
Kemudian Raja Najasyi memandang ke arah para punggawanya sebagai isyarat meminta pendapat mereka.
Mereka yang telah disuap Amr bin Ash itu pun berkata, “Mereka benar, wahai Baginda. Sesungguhnya kita tidak akan tinggal diam dengan agama baru yang mereka ada-adakan, dan sesungguhnya kaum mereka lebih tahu tentang keadaan mereka dan apa yang mereka ada-adakan daripada kita.”
Namun Raja Najasyi berkata, “Tidak. Demi Tuhan, aku tidak akan menyerahkan mereka sampai aku mendengar apa yang mereka katakan dan tahu apa yang mereka yakini. Maka jika memang benar mereka dalam kejahatan, aku akan menyerahkan mereka kepada kaumnya. Tapi jika mereka ada dalam kebaikan, aku akan melindungi dan berlaku baik kepada mereka selama mereka berada di wilayahku.
Demi Tuhan, sesungguhnya aku tidak akan melupakan anugerah-Nya kepadaku, sesungguhnya Dia telah mengembalikanku ke negeri asalku dan melindungiku dari tipu daya orang-orang yang tidak suka kepadaku serta menjagaku dari kejahatan mereka.”
Kebenaran Islam
Raja Najasyi kemudian mempersilakan kaum muslimin, yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, untuk berbicara.
Kaum muslimin lalu mengucapkan salam kepada Raja.
Amr bin Ash, yang melihat ke arah kaum muslimin, langsung berseru, “Hai kaum muslimin, mengapa kalian tidak bersujud kepada Raja?”
Ja’far bin Abi Thalib langsung menjawab, “Sesungguhnya kami tidak bersujud kecuali kepada Allah.”
Maka, demi mendengar jawaban itu, Raja merasa kaget, kemudian berkata, “Macam apakah agama kalian ini, sehingga karenanya kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak juga masuk ke dalam agama kami?”
Ja'far bin Ali Thalib pun dengan tegas menjawab, “Wahai Baginda Raja, sesungguhnya kami tidaklah mengada-adakan agama kami, tetapi telah datang kepada kami Muhammad bin Abdullah sebagai utusan Tuhannya dengan membawa agama petunjuk dan agama yang haq dan mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.
Dahulu kami adalah pemeluk agama Jahiliyah, kami menyembah berhala, memutuskan tali silaturahim, memakan bangkai, gemar berbuat kemaksiatan, menyakiti tetangga, dan yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Begitulah gambaran keadaan kami dahulu, hingga Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri yang kami tahu nasab, kejujuran, amanah, dan kesucian dirinya. Beliau menyeru kami kepada Allah untuk menyembah dan meng-Esa-kan-Nya.
Beliau memerintahkan kami menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menyuruh kami meninggalkan apa yang pernah kami sembah yang berupa batu dan arca.
Beliau juga memerintahkan kami untuk berkata jujur, melaksanakan amanah, menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari apa-apa yang diharamkan, dan menghindari pertumpahan darah.
Beliau melarang kami berbuat kemaksiatan, berkata dusta, dan memakan harta anak yatim.
Lalu kami membenarkannya, mengimani risalahnya, dan mengikuti apa yang dibawanya. Kami menyembah Allah, Yang Maha Esa, Yang tiada sekutu bagi-Nya. Kami mengharamkan apa yang Dia haramkan atas kami, dan kami halalkan apa yang Dia halalkan bagi kami.
Akan tetapi setelah itu kaum kami memusuhi dan menyiksa kami, memaksa kami kembali kepada agama mereka, kembali menyembah berhala-berhala, setelah kami menyembah Allah, Yang Maha Esa. Setelah mereka menekan kami, berbuat semena-mena terhadap kami, mempersempit gerak kami dan menghalangi diri kami dari agama kami, kami pun pergi ke negeri Tuan dan tinggal di sini. Kami memilih Tuan daripada yang lain dengan harapan agar kami tidak dizhalimi di sisi Tuan.”
Kemudian Raja Najasyi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu dari apa yang dibawa oleh rasulmu dari Tuhannya?”
Ja'far bin Abi Thalib menjawab,“Ya”
Najasyi berkata lagi, “Kalau begitu bacakanlah untukku!”
Maka kemudian Ja'far membacakan surah Maryam, dan di antara yang dibacanya ialah firman Allah, yang artinya, “Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan, Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa.’
Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’
Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!’
Jibril berkata, ‘Demikianlah . Tuhanmu berfirman: Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.’
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.
Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’
Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu’.” (QS Maryam:16-24).
Mengucapkan Kalimah Syahadat
Maka, demi mendengar apa yang dibacakan, Raja Najasyi menangis hingga jenggotnya basah oleh air mata. Demikian juga para pendeta yang hadir saat itu, mereka semua menangis hingga lembaran-lembaran yang mereka bawa basah oleh air mata.
Raja Najasyi melihat ke arah 'Amr bin 'Ash dan kawannya seraya berkata, “Sesungguhnya apa yang telah ia baca dan apa yang dibawa Isa adalah benar-benar keluar dari satu misykat (sumber).”
Kemudian ia berkata kepada keduanya, “Demi Allah, aku sama sekali tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian.”
Kemudian 'Amr bin 'Ash bangkit, pergi, dan diikuti oleh orang-orang yang bersamanya.
'Amr bin 'Ash keluar dalam keadaan murka, kemudian berkata kepada kawannya, “Demi Latta dan Uzza, besok aku akan menemui Najasyi kembali, dan aku akan mengabarkan kepadanya ihwal mereka yang akan membuat mereka musnah.”
Maka kawannya yang lebih sabar dan lebih murah hati berkata, “Janganlah engkau lakukan itu, wahai 'Amr. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita meskipun mereka telah menyelisihi kita.”
Akan tetapi 'Amr tetap bersikeras dan berkata kepada kawannya, “Demi Tuhan, aku akan katakan kepada Raja bahwasanya mereka telah mengatakan sesuatu tentang Isa bin Maryam dan menyembunyikan sesuatu yang lain, bahwasanya mereka menganggap Isa adalah seorang hamba.”
Benar saja. Tatkala datang waktu pagi, 'Amr masuk menghadap Najasyi dan berkata, “Wahai Raja, sungguh mereka telah mengatakan sesuatu di depanmu, tetapi mereka menyembunyikan sesuatu darimu. Sesungguhnya mereka beranggapan bahwasanya Isa bin Maryam hanyalah seorang hamba.”
Maka Najasyi memanggil mereka dan bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja'far bin Abi Thalib menjawab, “Kami mengatakan seperti apa yang telah datang dari Nabi kami, Muhammad SAW.”
Raja bertanya lagi, “Apakah yang ia katakan?”
Ja'far menjawab, “Sesungguhnya Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam yang masih suci.”
Najasyi kemudian berkata, “Demi Allah, Isa tidaklah keluar dari apa yang kalian katakan sedikit pun.”
Maka setelah mendengar perkataan Najasyi yang terakhir, para pendeta dan yang hadir saling berpandangan dan berbisik antara yang satu dan yang lain, mereka mengingkari apa yang telah dikatakan oleh Najasyi.
Maka Najasyi memandangi mereka seraya berkata, “Walaupun kalian mengingkarinya.”
Kemudian ia berkata kepada Ja'far bin Abi Thalib dan yang bersamanya, “Pergilah, sesungguhnya kalian aman di negeriku ini. Barang siapa menyakiti kalian, ia akan merugi; barang siapa menyakiti kalian, ia akan merugi. Sekalipun diberi gunung emas, aku tidak akan menyakiti salah seorang di antara kalian.”
Kemudian ia berkata kepada para pelayannya, “Kembalikan semua hadiah itu kepada 'Amr dan kawannya, karena kita tidaklah membutuhkannya, dan sesungguhnya Allah tidak meminta uang sogokan dariku tatkala Dia mengembalikan kerajaan ini kepadaku sehingga aku perlu mengambil uang sogokan setelah mendapatkan kekuasaan ini. Dan orang-orang tidak perlu patuh karena aku, sehingga aku pun harus patuh karenanya.”
Setelah kejadian itu, para pendeta mengumumkan kepada semua orang bahwasanya Raja telah meninggalkan agamanya dan masuk agama lain. Mereka mengajak masyarakat agar menurunkan Raja dari takhta, sehingga mereka mendirikan perkumpulan dan kemudian memutuskan untuk menurunkan Najasyi dari takhta kerajaan.
Setelah mendengar itu, Raja menulis surat kepada Ja'far dan para sahabatnya mengabarkan hal tersebut, kemudian menyiapkan sebuah perahu bagi mereka dan berkata, “Naiklah kalian dan bersiaplah terhadap apa yang akan terjadi. Jika aku kalah, pergilah ke tempat yang kalian inginkan; tapi jika aku menang, tetaplah di tempat kalian berada.”
Kemudian ia mengambil sehelai kertas dari kulit rusa dan menuliskan di atasnya:
Aku bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang patut disembah selain Allah, dan aku bersaksi pula bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul terakhir-Nya. Aku juga bersaksi bahwasanya Isa adalah hamba dan rasul-Nya, ruh dan kalimat-Nya yang ia tiupkan kepada Maryam.
Kemudian ia menggantungkan kertas tersebut di atas dadanya dan pergi menemui rakyatnya.
Tatkala sampai di depan mereka, ia menyeru dan berkata, “Wahai rakyat Habasyah, apa yang kalian lihat pada diriku?”
Mereka menjawab, “Engkau adalah raja yang bijaksana.”
Raja bertanya lagi, “Maka apakah yang kalian tidak suka dariku?”
Mereka menjawab, “Sungguh engkau telah meninggalkan agama kami dan mengatakan bahwasanya Isa adalah seorang hamba.”
Najasyi berkata, “Apa yang kalian katakan tentang Isa?”
Mereka menjawab, “Ia adalah anak Allah.”
Maka kemudian Najasyi meletakkan tangannya di atas sehelai kertas yang tergantung di dadanya seraya berkata, “Aku bersaksi bahwasanya Isa tidaklah lebih dari sesuatu ini.” (Yang ia maksud adalah apa yang tertulis di kertas tersebut).
Maka mereka gembira dan pergi meninggalkan Raja dalam keadaan ridha.
Hubungan Semakin Baik
Nabi SAW mendengar apa yang terjadi antara Najasyi dan rakyatnya, dan perihal perlindungannya terhadap orang-orang Islam yang berhijrah ke negerinya sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Beliau merasa gembira terhadap kabar tentang kecondonganya kepada Islam dan keyakinannya terhadap kebenaran Al-Quran. Kemudian hubungan antara Najasyi dan Nabi SAW semakin baik dan erat.
Pada bulan pertama tahun ke-7 H Rasulullah SAW pun mengirimi Najasyi sebuah surat yang berisi perihal keadaan Ja’far bin Abi Thalib dan kaum muslimin yang mengungsi. Surat itu disampaikan oleh 'Amr bin Umayyah Adh-Dhumari.
Raja Najasyi sangat menghormati surat dari Rasulullah tersebut. Ia menempelkannya pada keningnya, lalu ia turun dari singgasananya sebagai bentuk ketundukannya terhadap apa yang datang padanya.
Isi surat itu sebagai berikut:
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Dari Muhammad Rasulullah SAW kepada Najasyi Ash-ham, raja Habasyah.
Salam sejahtera bagimu. Aku memuji engkau kepada Allah, Yang Mahasuci lagi Perkasa, dan aku bersaksi bahwa Isa AS adalah ruh Allah dan kalimah-Nya yang ditiupkan kepada Maryam, seorang perawan suci, bersih, dan terjaga.
Mariam mengandung Isa AS, kemudian Allah menciptakan Isa AS dari ruh-Nya, dan ditiupkan-Nya ruh itu (ke dalam jasadnya) sebagaimana Adam AS yang diciptakan Allah langsung dengan Tangan-Nya dan ditiupkan-Nya ruh (ke dalam tubuhnya).
Kini aku mengajak engkau untuk menyembah Allah, Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan terus-menerus menaati-Nya serta mengikuti aku. Juga engkau mempercayaiku dan ajaran-ajaran yang diturunkan-Nya kepadaku bahwa aku adalah utusan-Nya.
Aku telah mengutus kepadamu saudara sepupuku yang bernama Ja’far bersama serombongan kaum muslimin. Layanilah mereka sebaik-baiknya dan tinggalkanlah kesombongan. Aku mengajak engkau dan seluruh tentaramu kepada (agama) Allah. Sungguh telah aku sampaikan risalah dan nasihatku, maka terimalah ajakan dan nasihatku ini.
Salam sejahtera bagi siapa saja yang mengikuti hidayah.
Setelah menerima surat dari Nabi SAW, Raja Najasyi menulis surat balasan kepada beliau:
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Untuk Muhammad Rasulullah SAW dari Najasyi Asham bin Abjar
Salam sejahtera. Rahmat dan keberkahan dari Allah semoga tercurah kepada engkau, wahai Nabi Allah.
Tidak ada Tuhan selain Dia, yang telah memberikan petunjuk kepada aku untuk masuk Islam.
Wahai Rasulullah, suratmu telah sampai kepadaku, yang di dalamnya engkau telah menerangkan perkara Isa. Demi Tuhan, Pemelihara langit dan bumi, sesungguhnya Isa tidak lebih dari apa yang telah engkau terangkan dalam suratmu. Aku telah mengetahui ihwal utusan yang engkau hantarkan kepada kami. Dan mengenai saudara sepupumu serta teman-temannya, aku telah melayani mereka dengan pelayanan yang baik. Oleh karena itu aku bersaksi bahwasanya engkau adalah utusan Allah yang benar dan dibenarkan, dan aku berbai’at kepadamu, juga kepada sepupumu, dan aku masuk Islam di tangannya semata-mata karena Allah, Penguasa alam semesta.
Wahai Nabi Allah, aku juga telah mengutus kepada engkau Ariha bin Ash-Ham bin Abjar, karena sesungguhnya aku tidak berkuasa kecuali pada diriku sendiri. Tetapi jika engkau menyuruhku untuk datang sendiri kepadamu, pasti aku bersedia, wahai Rasul Allah, karena sesungguhnya aku bersaksi bahwa segala yang engkau katakan itu adalah benar.
Demikianlah kisah Raja Najasyi dari Habasyah, Ethiopia, yang kemudian beriman kepada Rasulullah SAW. Apa yang diceritakan Rasulullah adalah benar, sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Isa AS. Tidak lebih dan tidak kurang.
Raja Najasyi sendiri adalah pengikut ajaran Nabi Isa AS yang taat, yang keyakinannya terhindar dari tipu daya manusia yang telah mengubah ajaran asli Nabi Isa AS.
Kisah Nabi Isa AS yang disampaikan Rasulullah SAW tidak lepas dari wahyu Allah SWT, yang kemudian menjadi bagian dari ayat-ayat Al-Quran. Nabi Isa disebut-sebut Al-Quran sebanyak 24 kali. Ini lebih banyak dibanding Nabi Muhammad sendiri, yang hanya disebut Al-Quran secara langsung sebanyak empat kali.
Penyebutan ini tentu saja dengan alasan.
Pertama, menurut beberapa tafsir Al-Quran, itu karena kedudukan Nabi Isa AS sangat tinggi dalam Islam.
Kedua, adanya keterkaitan antara ajaran Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Kedua-duanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT. Hanya saja, di kemudian hari, orang-orang sesat menyelewengkan peninggalan Nabi Isa dan menggantinya dengan agama yang mereka karang sendiri.
Di dalam Al-Quran, Nabi Isa disebut dengan empat panggilan: Isa, Isa putra Mariam, putra Mariam, dan Al-Masih. Kisah kelahirannya yang merupakan mukjizat dari Allah SWT pun selalu menjadi pembicaraan sepanjang masa. (wiyah/voa-islam.com)