1. Olahraga yang diorganisir macam piala dunia atau olimpiade, sengaja dirancang orang-orang kafir (Zionis) untuk melenakan umat Muslim.
Ini bisa disimak dalam buku Rencana-rencana Zionisme menguasai dunia atau Protocols of Zion poin ke 13 yang diterbitkan Prof. Sergyei Nilus di Rusia tahun 1902. Intinya “Zionisme merencanakan hendak mengundang masyarakat melalui surat-surat kabar waktu itu, untuk mengikuti berbagai lomba yang sudah diprogram. Diharapkan kesenangan baru yang diciptakan itu secara perlahan akan melenakan muslim dari konflik-konflik politik kaum muslimin dengan bangsa Yahudi.”
2. Olahraga yang diorganisir memang telah melenakan umat dari aktivitas yang lebih utama.
Coba hitung, berapa jam lamanya seorang atlet (yang Muslim) latihan biar berprestasi? Trus, penontonnya juga. Berapa jam sehari harus menghabiskan waktu untuk mengikuti pertandingan? Berapa jam pula menyibukkan diri menyimak ulasan-ulasan pengamat olahraga, baik dari mediacetak maupun audovisual? Bandingkan dengan waktu yang dia habiskan untuk ibadah, belajar ilmu Islam, berdakwah atau bahkan jihad. Padahal olahraga hukumnya ‘hanya’ mubah, yang boleh jadi tak berpahala, bahkan bisa menjerumuskan pada hal-hal haram.
3. Olahraga yang diorganisir menyedot dana yang tidak sedikit, diantaranya dari kalangan kaum Muslimin.
Siapa yang diuntungkan dari hasil penjualan tiket masuk pertandingan? Tentu saja penyelenggara. Di sisi lain, kadang penyelenggara menghimpun dana dari hal-hal yang diharamkan. Dulu di Indonesia untuk menghimpun dana diciptakan Porkas, lalu SDSB, dan Damura, yang semuanya nota bene judi.
4. Tingginya prestasi olahraga suatu negara tidak otomatis menjadikan suatu negara menjadi makmur.
Argentina misalnya, bisa dibilang empunya sepak bola dunia. Tapi kini kondisi ekonominya carut marut. Paling-paling yang makmur hanya atlet dan ofisialnya saja. Sebaliknya Kuwait atau Brunei Darusalam, yang prestasi olahraganya bisa dibilang nol, taraf perekonomiannya jauh lebih mapan. Jadi, tak ada gunanya negara menggenjot prestasi olahraga, toh tak berpengaruh pada kesejahteraan rakyat.
5 Adanya pertandingan, menyuburkan perjudian.
Lihat saja pasar-pasar taruhan sekarang lagi rame dengan digelarnya World Cup. Mulai yang omzetnya jutaan dolar, sampai taruhan-taruhan kecil yang nilainya mungkin hanya ribuan perak di warung-warung kopi. Baik di pasar taruhan profesional maupun sekadar iseng, toh namanya tetap perjudian yang haram hukumnya.
“Sesungguhnya minum khamer, berjudi, berkorban untuk berhala…adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan.” (TQS Al-Maidah:90)
6. Klaim bahwa olahraga mampu menjadi pemersatu umat.
sebagaimana pernah dikatakan mantan Presiden AS Bill Clinton dalam pembukaan World Cup 1994, “Sepak bola adalah bahasa universal untuk mempersatukan manusia”, adalah omong kosong. Sebaliknya, pertandingan olahraga malah menjadi sumber perpecahan. Hooligans (supertor) rela berantem demi membela tim kesayangannya. Olahraga juga sering menimbulkan fitnah. Misalnya wasit diteror gara-gara dianggap berat sebelah, atau malah pemainnya yang celaka. Ingat terbunuhnyan Andreas Escobar, pemain Colombia di Piala Dunia 1994 gara-gara gol bunuh dirinya? Lebih dari itu, pertandingan antar negara, bisa memicu semangat nasionalisme (kebangsaan) yang jelas-jelas bisa memecah belah umat. Nah, kita sebagai Muslim, tentu nggak mau dong dilenakan oleh permainan yang ternyata banyak membawa mudharat itu! Iya, kan?!!